LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Mengkeramatkan Mutis demi Menjaga Warisan Leluhur - Leko NTT

Mengkeramatkan Mutis demi Menjaga Warisan Leluhur

 

Masyarakat adat Mollo berdiri setengah lingkaran untuk melakukan ritual penolakan status kawasan gunung Mutis menjadi taman nasional, pada 28 Januari 2024 (AM)

 

"Kalau mau menolak taman nasional, kita harus punya fondasi yang kuat, karena itu saya mengumpulkan para tua adat untuk berdiskusi bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan penolakan, setelah berdialog kami memutuskan untuk melakukan ritual,” kata Aleta Baun.

Perubahan status kawasan Mutis Timau menuai polemik di antara masyarakat adat di kawasan Mutis-Timau. Melalui Surat Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 946 Tahun 2004 kawansan Mutis-Timau berubah fungsi dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional

Keputusan tersebut disahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada 8 September 2024. Sontak keputusan ini menuai kontraversi dari masyarakat adat. Di berbagai belahan wilayah pegunungan Mutis-Timau bergejolak seruan penolakan. Pada umumnya masyarakat adat menolak perubahan status. Mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses perubahan status. Apalagi mereka khawatir status baru kawasan tersebut dapat merusak bentangan alam, tradisi dan situs-situs bersejarah yang ada di dalam kawasan Mutis.

Siang itu belasan orang tetua adat wilayah Mollo terlihat sedang mengobrol sembari melantai di dalam aula, Selasa 28 Januari 2025. Langit lagi mendung. Hujan antara datang dan pergi. Cuaca yang tidak bersahabat tidak menyurutkan niat para tetua adat Mollo untuk berkumpul di Fatunausus. Mereka sedang mematangkan rencana ritual pengkeramatan kawasan gunung Mutis, sekaligus ikrar menolak status taman nasional. Beberapa orang tetua adat bahkan telah berkumpul di Fatunausus sejak tiga hari sebelumnya.

Diskusi berjalan alot. Mereka masih bergumul menentukan wilayah mana saja yang akan menjadi titik ritual. Bahan dan perelengkapan yang dibutuhkan pun sedang dipastikan kelengkapannya. Dua orang tua bertukar pendapat. Sementara seorang ibu dengan tekun mencatat hasil diskusi yang sedang berlangsung. Setelah melalui perundingan akhirnya ditetapkan bahwa ritual akan berlangsung di empat tempat, berturut-turut; Fatunausus, Naemetan, Baopan, Bukit di dalam kawasan Mutis, dan terakhir pintu masuk kawasan Mutis. Menurut kepercayaan orang Mollo tempat-tempat tersebut merupakan pintu menuju gunung Mutis.

Keputusan diskusi sudah bulat. Ritual harus dilangsungkan. Sembari menunggu hujan benar-benar reda, Aleta meletakan sebilah parang di lantai, mulutnya melantunkan beberapa syair adat, lalu ia menginstruksikan pada dua orang pemuda untuk menyiapkan empat dahan beringin. Mereka lalu bergegas mencari bahan dalam ritual nanti. Empat dahan beringin ini nantinya akan ditanam di pintu masuk kawasan gunung Mutis. Penanaman pohon ini sebagai monumen peringatan bahwasanya warga adat Mollo telah melakukan ritual penolakan terhadat status baru kawasan gunung tersebut.


Ritus demi ritus di bawah langit yang mendung

Butir-butir hujan masih jatuh tetes demi tetes. Langit di atas bukit Nausus masih gelap. Di bawah selimut kabut, para tetua adat dalam balutan sarung Mollo bergegas menuju tempat ritual. Tempat prosesi pertama tak jauh dari lokasi pertemuan. Hanya seratusan meter terdapat tumpukan batu yang dikeramatkan, tempat orang Mollo biasanya melakukan ritual.

Di bawah rintik hujan, Usif Oematan melantunkan syair adat memohon restu yang kuasa. Mulutnya bergerak cepat melantunkan kata demi kata dalam bahasa Meto. Seketika situasi hening. Ia memohonkan perlindungan yang kuasa pada kawasan Mutis yang telah menjadi sumber penghidupan. Kini, ancaman datang, mereka berharap Uis Neno (Red: Tuhan dalam bahasa Atoni Pah Meto red) melindungi Mutis dari tangan-tangan serakah.

Ujud telah usai didaraskan. Masyarakat adat yang hadir lalu berdoa bersama. Suasana kian khidmat. Tahapan ritual berlanjut pada pengorbanan hewan. Seorang Meo (red: panglima perang) mengeluarkan pisau dari kantongnya, ia lalu menusukan pisau tepat di jantung kambing. Darah mengucur membasahi dahan kayu beringin dan bebatuan tempat ritual.

Dari Fatunausus, rombongan bergerak menuju lokasi ritual kedua. Sebagaimana kesepakatan di antara para tetua, tempat ritual berikutnya adalah sebuah bukit batu. Namanya Naemetan. Tempat ini adalah salah satu gerbang Mutis. Bagi orang Mollo, Bukit-bukit di sepanjang perjalanan menuju gunung Mutis, diyakini punya hubungan dengan gunung Mutis dan sejarah perjalanan hidup orang Mollo.

Tiba di tempat tujuan, rombongan membentuk barisan setengah lingkaran. Tetua adat yang bertugas segera merapalkan doa. Wajah peserta yang hadir penuh harap. Semoga niat melindungi warisan leluhur dapat direstui. Seusai merapalkan permohonan, ia mengambil yam putih yang telah disediakan. Kemudian tetua yang bertugas, menusukan pisaunya tepat ke jantung ayam. Darah yang mengucur diteteskan ke tanah sebagai pengantar permohonan pada leluhur dan yang kuasa. Sesudah mempersembahkan hewan korban, sebotol sopi diguyurkan ke tanah.

Ritual selesai. Rombongan bergerak ke lokasi ritual selanjutnya, Baopan. Tempat ini merupakan sebuah sungai kecil, yang berhulu dari gunung Mutis. Di tempat ini pula seekor ayam dikorbankan, dan dan sebotol sopi diguyurkan ke tanah dan aliran air yang mengalir sebagai simbol harapan agar permohonan mereka direstui oleh leluhur.

Ritual mesti terus berlanjut. Rombongan berarak menuju lokasi berikutnya di dalam kawasan pegunungan Mutis. Tempat ini merupakan sebuah bukit kecil di bawah rindangnya pepohonan Amupu. Hari hampir gelap. Semangat tetap menyala. Tiba di tujuan rombongan segera membentuk barisan setengah lingkaran. Tetua adat yang bertugas, segera berkoordinasi dengan tetua adat yang lainnya.

Setelah persiapan selesai mereka lalu melangsungkan ritual adat. Mantra adat dilafalkan. Tekad sudah bulat. Menolak penetapan status gunung Mutis menjadi Taman Nasional. Sesudah tuturan syair adat, seekor babi disembelih sebagai korban. Dari sini peserta bergerak ke tempat terakhir di pintu masuk kawasan. Di tempat ini mereka menanam empat batang pohon beringin. Penanaman ini sebagai simbol bahwa masyarakat adat mengecam keras upaya untuk mencaplok kawasan mutis. (Lekontt/AM)

Related Posts:

0 Response to "Mengkeramatkan Mutis demi Menjaga Warisan Leluhur"

Posting Komentar