LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for Juli 2024

Duit dan Politik Elektoral di Amerika Latin


Oleh: Ivo Mateus Goncalvez*
Poster para pemimpin negara Amerika Latin. Sumber Foto:berdikari.com

LekoNTT-Kadang saya berkhayal sedang berada di Bolivia, Venezuela atau Nicaragua!

Di negara-negara yang saya sebutkan di atas, penggorganisasian masa rakyat benar-benar terjadi. Kesadaran politik mereka benar-benar dipupuk lewat pendidikan politik jangka panjang. Kesadaran masa rakyat tidak bisa digantikan dengan segepok uang, atau praktik money politic menjelang dan pada saat pemilu.

Saat President Bolivia, Evo Morales, yang merupakan pengorganisir petani coca terpilih menjadi Presiden. Ia melewati proses yang panjang, dia dipilih oleh sekitar 66% suku Indian di Bolivia—yang merupakan jumlah suku asli paling banyak di dunia— saya bisa pastikan bahwa saat itu penduduk Bolivia benar-benar membutuhkan perubahan setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan oligarki yang korup. 

Bukan terpilih karena ‘duit’ yang dibagikan oleh Morales untuk membeli bilik-bilik suara. Karena memang si Morales ini bukan konglomerat kaya, dia hanya penggorganisir petani coca. Dia kemudian membentuk partai gerakan untuk sosialisme, dan terpilih menjadi Presiden pada tahun 2006.

Setelah kekuasaan berada dalam gengaman, Morales pun melakukan perubahan besar-besaran. Ia menasionalisasi perusahaan minyak dan gas dengan tujuan untuk meningkatkan program kesejahteraan sosial, mengkaji ulang kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan Brazil dan Amerika untuk memberikan porsi pendapatan yang lebih besar kepada rakyat dan pemerintah Bolivia.

Hak-hak masyarakat adat diakui di dalam konstitusi, serta melegalkan coca yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat adat Bolivia. Sebagai pengemar berat coca tea, saya cukup lega dengan keputusan yang terakhir.

Morales tidak pernah menjanjikan duit untuk memenangkan pemilu, tetapi hal pertama yang dia lakukan adalah memupuk kepercayaan di tengah-tengah masa rakyat. Ia tidak sepenuhnya menjanjikan surga dalam setiap kampanyenya, tetapi mengajak rakyat untuk berpikir tentang sesuatu yang realistis.

Memikirkan apa yang bisa dicapai lewat kerja-kerja kolektif berdasarkan realitas obyektif di Bolivia. Setelah kepercayaan rakyat berhasil direbut, Morales dan rakyat Bolivia bahu-membahu dalam mengawal kemenangan bersama ini, melalui proyek-proyek pembebasan.

Pasca perang dingin, negara-negara Latin Amerika diperintah oleh rezim-rezim otoriter birokrat yang dikenal dengan Caudillo. Para jenderal ini sepenuhnya tidak percaya pada kemampuan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Di samping itu, mereka pun skeptis akan kehebatan para politisi dalam menciptakan stabilitas sosial, politik dan ekonomi.

Pasca perang dunia pertama dan ke dua, rezim militer di Amerika Latin mulai menggalakan Industri Substitusi Import (ISI). Industri tersebut mendirikan fasilitas produksi untuk memproduksi kebutuhan pokok yang sebelumnya diimpor.

Kebijakan ini kemudian mendapatkan kritik pedas, karena bahan-bahan kebutuhan pokok yang diproduksi dianggap berkualitas sangat rendah serta tidak bisa bersaing dengan barang-barang impor. Kebijakan ISI dianggap terlalu mahal dan menghabiskan banyak biaya dengan hasil yang tidak sepadan.
Kemudian kebijakan ekonomi silih-berganti, ISI kehilangan pamor dan Amerika Serikat akhirnya memainkan peranan penting. 

Amerika Serikat mendukung, membiayai, melatih regim sayap kanan untuk mengulingkan penguasa nasionalis dan sayap kiri yang dipilih secara demokratis. Kemudian menguasai dan mengguras kekayaan alam di negara-negara Amerika Latin melalui kerjasama dengan rezim yang mereka bentuk. Kemajuan ekonomi pembangunan yang dicapai oleh Amerika Serikat saat ini adalah kontribusi dari negara-negara Dunia Ketiga.

Ketika Hugo Chaves merebut kekuasaan di Venezuela lewat pemilihan yang demokratis—pasca kudeta yang gagal, banyak ahli politik mengernyitkan dahi. Banyak yang menggangap bahwa Hugo tidak beda jauh, bahkan akan mewarisi watak para caudillo sebelumnya.

Hugo berhasil membalikan pendapat para ahli ini. Dia membentuk kendaraan politiknya sendiri yakni Gerakan Republik Ke-lima, dia kemudian bergabung dengan beberapa partai politik dan membentuk Partai Persatuan Sosialis Venezuela dan maju untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.  

Sejak berkuasa pada tahun 1999 sampai kematiannya pada tahun 2013, Hugo Chaves melancarkan program-program populis yang tidak ada padananya di Amerika Latin, selain Cuba.

Pemerintahan Hugo membangun perumahan layak huni bagi penduduk di barrios, menyediakan sumber air bersih dan listrik. Melalui kerjasama dengan Cuba, Venezuela menggalakan program pemberantasan buta huruf, membangun sistem kesehatan serta perguruan tinggi untuk kalangan berkemampuan rendah.

Harus diingat bahwa, pada saat Chavez maju sebagai calon Presiden Venezuela dalam pemilihan umum, secara politik Hugo berhadapan langsung dengan kaum oligarki bisnis, politisi sayap kanan, partai oposisi konservatif, media dan hegemoni Amerika Serikat lewat CIA dan organisasi sempalan lainnya seperti IRI dan NDI.

Penting diketahui Hugo Chaves tidak memiliki sumber dana untuk dibagi-bagikan kepada para pemilihnya. ‘’Aspirasi rakyat tidak bisa dibeli,’’ kata Chaves.

Setali tiga uang, di Nicaragua Daniel Ortega terpilih kembali untuk ketiga kalinya secara berturut-turut setelah mengalami pengulingan pada tahun 1990 yang didalangi oleh CIA. Ortega kemudian dipilih kembali masing-masing pada tahun 2006, 2011 dan 2016.

Alasan utama dari terpilihnya Ortega adalah program-program populis yang dia jalankan. Di bawah kepemimpinan Ortega Nicaragua mengalami pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dibanding negara-negara Amerika Latin lainnya.

Sekali lagi, meskipun mendapat tuduhan dari kalangan oposisi bahwa pemilu kali dipenuhi oleh kecurangan. Sejak awal Ortega tidak memainkan politik uang dalan merebut kekuasaan. Ortega sendiri sebelum melancarkan perlawanan terhadap Anastazio Somoza—adalah anak dari keluarga kelas buruh. Dia mengusung kharismanya sebagai bekas pemimpin FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yang mengulingkan kediktatoran Anastasio Somoza Debayle pada tahun 1979.

Tiga ilustrasi di atas sekedar ingin menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin populis tidak selalu mengandalkan sumber keuangan yang memadai untuk memenangkan pemilu. Program yang bisa menjawab kebutuhan rakyat banyak dan tidak terlalu bombastis merupakan senjata paling ampuh untuk menarik dukungan dari masa rakyat. Intinya, program yang populis akan mendapatkan dukungan yang populis.

Kembali ke politik uang, pertanyaannya adalah kenapa partai politik dan politikus doyan menghabiskan khas mereka untuk membeli bilik suara? Apakah pendidikan politik dan penggorganisasian yang dilakukan oleh partai tidak berhasil menarik dukungan politik sehingga politik uang dianggap sebagai kartu jitu?

Menurut hemat saya, politisi dan partai-partai politik yang membagi-bagikan uang menjelang pemilihan umum dilanda syndrom lack of self-confidence serta ada tendensi untuk ‘’memeroleh sesuatu setelah berada di tampuk kekuasaan.’’

Politik model begini, bisa disebut politik cartel, hasilnya akan bergantung kepada berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk para pemilih dan berapa yang berhasil dikumpulkan lewat para penyandang dana yang sebagian besar didominasi oleh para pengusaha mapan dan investor, baik lokal maupun internasional.

Setelah berada di singasana kekuasaan, para politisi ini ‘harus membayar hutang’ kepada para penyandang dana melalui mega proyek yang akan dibagikan tanpa tender, dan pada saat yang bersamaan melakukan korupsi untuk menutupi ‘kerugian mereka’ akibat khas pribadi yang telah mereka kucurkan untuk para pemilih.

Terjadi akumulasi kapital di lingkaran para elit, pejabat (Menteri, anggota parlemen, penguasaha dan lingkaran dekat (inner circle) pejabat negara. Dalam tataran ini, diskusi tentang trickle down effect sudah tidak berlaku.

Sampai detik ini pun, saya masih tetap tidak yakin dan meragukan’’kemauan baik" para politisi dan partai politik yang memeraktekan politik uang untuk menuju kekuasaan. Saya sepenuhnya yakin bahwa tujuan mereka untuk meraih kekuasaan bukan untuk melayani rakyat yang memilih mereka, tetapi memerjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, memperkaya diri dan orang-orang yang berada dekat dengan mereka.

Perubahan hanya bisa terjadi ketika rakyat sadar bahwa ada hal yang keliru, karena itu mereka membutuhkan alternatif. ‘Jalan lain’ yang diinginkan rakyat hanya bisa dihadirkan oleh kalangan progresif yang percaya pada kemampuan dan kesadaran rakyat akan sebuah perubahan. 

Duit hanyalah candu, yang meninabobokan rakyat sesaat, tetapi tidak akan mengubah kehidupan mereka. Setiap suara yang mereka berikan kepada para politisi ‘calon koruptor’ hanya akan menambah penderitaan mereka dan memerkaya para politisi badut.

Kalau para politisi dan partai-partai politik benar-benar serius tentang sebuah perubahan dan percaya akan kemampuan rakyat, maka pendidikan politik, penggorganisasian dan memobilisasi untuk produksi adalah beberapa hal yang harus dikedepankan. Karena pembagian duit untuk membeli suara pemilih hanya akan menghasilkan keberhasilan yang instan sifatnya.

Satu pertanyaan sebagai penutup coretan ini. Apakah tujuan dari politik uang adalah salah satu cara untuk merebut kekuasaan, kemudian kekuasaan itu digunakan untuk kemakmuran rakyat. Atau berkuasa untuk melayani diri sendiri, keluarga dan teman-teman dekat?

Untuk saat ini, cukup sampai disini. Saatnya menyeruput coca tea pemberian sahabat saya dari La Paz. Kita lanjutkan lagi lain waktu, itupun kalau saya benar-benar punya waktu dan khalayak pembaca pun tidak merasa bosan dengan coretan-coretan saya. (AM/lekontt.com)

*Penulis adalah Alumnus Australian National University

Related Posts: