LekoNTT.com: Membaca Dahulu, Berkomentar Kemudian
Archive for 2024

Mahasiswa UNWIRA Sosialisasi Pembelajaran Publik Speaking bagi OSIS di SMPN 2 Nagawutung

Baptista Varani Mario Deputra Nahak*

Mahasiswa FISIP UNWIRA peserta Kuliah Kerja Nyata Tematik berfoto bersama para guru di SMPN Nangawutung sesuai pelatihan. Nagawutung 2 Agustus 2024


Nagawutung, LekoNTT-Mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata-Tematik (KKN-T) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) mengadakan sosialisasi bertema "Pentingnya Pembelajaran Public Speaking dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) bagi peserta didik Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Nagawutung" pada Dua Agustus 2024.

Acara berlangsung di aula SMPN 2 Nagawutung, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata. Pelatihan tersebut bertujuan meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum, membangun kepercayaan diri, serta mengembangkan keterampilan komunikasi peserta didik.

Sisilia Oliveira Mambo, mahasiswa dari Program Studi Administrasi Publik, FISIP Unwira, menjelaskan bahwa kemampuan public speaking sangat penting bagi siswa Sekolah Menengah Pertama. "Kemampuan ini tidak hanya meningkatkan keterampilan berbicara dan komunikasi, tetapi juga peran siswa dalam berkontribusi lebih bagi kemajuan sekolah dan lingkungan sekitarnya," ujarnya.

Sementara menurut Oktavianus Beda siswi kelas IX A, pelatihan public speaking bisa membantu mereka untuk menyusun pidato dengan baik dan benar. Kami lebih percaya diri dan tidak ragu-ragu dengan kemampuan diri ketika selesai mengikuti pelatihan public speaking. 

Ketika ditanya mengenai materi pelatihan ia menjawab “materi kepemimpinan memberi manfaat agar ketika dipilih menjadi pemimpin saya bisa menjadi pemimpin yang baik, patut diteladani dan jujur agar bisa dipercaya teman-teman.”

Peserta pelatihan datang dari siswa kelas VII-XI SMPN 2 Nagawutung. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman dan pengetahuan siswa tentang manfaat belajar publik speaking dan OSIS. Antusiasme siswa terlihat dalam sesi tanya jawab yang berlangsung aktif usai penyampaian materi.

Berbagai topik seperti persiapan sebelum publik speaking, menyusun naskah pidato yang menarik, strategi mengatasi kecemasan, dan pengalaman menjadi pemimpin merupakan materi dalam sosialisasi ini. Guru-guru SMPN 2 Nagawutung juga menghadiri sosialisasi ini.

Petrus Boli, S.Pd, wakil kepala sekolah SMPN 2 Nagawutung menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat memberikan pencerahan bagi siswa untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Pelatihan ini dapat menjadi pedoman ketika besok-besok masuk ke Perguruan Tinggi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada lembaga Kampus UNIKA sehingga adik-adik bisa berkunjung ke sini,” kata Petrus

Dengan dukungan penuh dari pihak sekolah, kegiatan sosialisasi ini berjalan lancar dan sukses, hingga memberikan dampak positif bagi para siswa SMPN 2 Nagawutung. (AM/LekoNTT)

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNWIRA


Related Posts:

Apa itu Jurnalisme Data?


Pertanyaan pada para jurnalis yang akan mengikuti pelatihan Jurnalisme Data Isu Kesehatan
di Denpasar. Credit Photo: LekoNTT.com

Denpasar, LekoNTT.com-Apa yang anda ketahui tentang Jurnalisme Data?” pertanyaan yang terpampang pada layar proyektor tempat pelatihan ‘Jurnalisme Data Isu Kesehatan’ itu seolah menanyakan langsung pada para jurnalis yang telah duduk sesuai pembagian kelompok di aula tempat kegiatan berlangsung. Beberapa peserta terlihat masih mencari tempat duduk. Sementara panitia dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) sedang memastikan peralatan dukungan telah siap untuk memulai kegiatan yang rencananya berlangsung pada 29-30 Juli 2024 di Ball Room Hotel Four Trans-Denpasar.

Pelatihan Jurnalisme Data ini terselenggara atas kerjasama antara: Aliansi Jurnalis Independen-Indonesia pusat dengan dukungan dari Kedutaan Besar Australia. AJI pusat turut mengandeng Aliansi Jurnalis Independen Cabang-Denpasar sebagai tuan rumah dari rangkaian tour tiga kota setelah sebelumnya pelatihan yang sama diselenggarakan di Jakarta dan Makasar.

Bagi tiga puluh orang jurnalis yang terlibat, pelatihan ini merupakan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam apa itu jurnalisme data. Ketiga puluh jurnalis tersebut datang dari Banjarmasin, Denpasar, Kendari, Kupang, Manado, Mataram, Flores dan Pontianak.

Pelatihan Jurnalisme data isu kesehatan hari pertama terbagi dalam tiga sesi. Sesi pertama, mulai dengan sambutan dari Amelia Mekel perwakilan Kedutaan Besar Australia sebagai pendukung kegiatan. Ia mengatakan harapannya pelatihan ini dapat memberi pengetahuan dan sarana yang lebih baik bagi para jurnalis, untuk membantu masyarakat dalam mengambil keputusan. Acara berlanjut dengan perkenalan dari perkenalan dengan selingan tawa membahana di seluruh ruangan.

Setelah pengenalan dan sambutan, acara berturut-turut dimulai dengan mood meter, dan pre test. Mood meter untuk mengukur sejauh mana mood dari para jurnalis untuk mengikuti acara ini dan pre test untuk mengetahui pemahaman peserta mengenai Jurnalisme Data. Para peserta melakukan test yang tersedia dalam bentuk google drive.

Lalu, para jurnalis masuk dalam sesi materi pelatihan, dengan modul pertama tentang Konsep dan Tujuan Jurnalisme Data yang dibawakan secara bergantian oleh Adi Masela dan Eva Danayanti. Sesi pengenalan berlangsung dari pukul 09.00-10.00 WITA. Pelatihan jurnalisme data ini berbasis digital dengan menggunakan aplikasi excel dalam google doc atau spreed sheat.

Kemudian sesi kedua: pelatih mengajak peserta masuk dalam modul pertama Membuat Cerita Berbasis Data. Dalam Modul Pertama pelatih mengenalkan pada para jurnalis tentang Pengenalan Dokumen Induk dan Hipotesis Dalam Jurnalisme Data. Sesi Membuat Cerita Berbasis Data berlangsung dari pukul 10.00-12.00 WITA. Adi Masela dari AJI pusat terlihat berkeliling dari meja ke meja menginstruksikan para peserta bagaimana mengoperasikan master file yang sudah dibagikan pada para peserta.

Setelah istirahat dan makan siang, masih dalam modul yang sama tentang Membuat Cerita Berbasis Data; para jurnalis dibimbing oleh Adi Masela untuk Merumuskan Hipotesis dalam jurnalisme data. Perumusan hipotesa berangkat dari pertanyaan tentang persoalan yang terjadi, penyebabnya, dampak dan solusinya. Sesi perumusan hipotesis, mulai dari pukul 13.00-15.00 WITA.

Hari yang panjang untuk mengenal Jurnalisme Data. Sesi pelatihan berlanjut dengan Modul kedua Pengenalan Data. Pada sesi ini para peserta mempraktekan bagaimana Mencari Data Daring, Menavigasi Portal Data dan Mengambil Data dari Sumber Data Terbuka. Sumber Data terbuka yang dimaksud yakni, lembaga resmi negara seperti Badan Pusat Statistik, atau kementrian terkait. Materi pelatihan padat. Para jurnalis mesti berproses untuk menelaah materi. Sesi terakhir di hari pertama ini berlangsung dari pukul 15.30 sampai 17.30 WITA.

Menurut Eva Danayanti alumnus University of Colorado dengan spesifikasi Jurnalisme dan Digital Humanisme, materi Jurnalisme Data ini mesti dilatih terus-menerus, karena materi yang padat ini seharusnya diperoleh dalam waktu 2-3 semester. Pemateri berusaha meringkasnya dalam dua hari, untuk memicu para jurnalis melakukan peliputan dan penulisan berbasis data.

Hari kedua pelatihan mulai dengan agenda yang sama melihat kembali materi sehari sebelumnya, mengukur mood dan mengisi pre test. Hari kedua, peserta masuk dalam Modul Tiga, praktek Membuat Data Base dan Membersihkan Data. Sesi ini berlangsung dari pukul 9.30-11.00 WITA.

Foto bersama para peserta pelatihan Jurnalisme Data Isu Kesehatan seusai
pelatihan selama 29-30 Juli di Denpasar.Credit Photo: AJI Indonesia.

Sesi yang seru karena hampir sebagian besar jurnalis baru pertama kali mengikuti pelatihan jurnalisme data. Para jurnalis yang terbagi dalam kelompok saling bertukar tanya. Bagi yang belum sempat mengikuti instruksi pelatih akan dibimbing oleh teman kelompok.

Para peserta masih tetap duduk di ruangan. Sebagian mengantri mengambil kopi atau makanan ringan yang tersedia. Sesi berikutnya masih dengan kolaborasi antar dua pelatih tentang Mengenali Konsep Analisa Data. Sesi ini berlangsung dari pukul 11.00-12.00 WITA.

Setelah makan siang peserta kembali mendapat bimbingan dengan materi yang sama tentang Praktek Analisa Data selama dua jam. Praktek menjadi lebih muda sebab peserta telah dibantu oleh panitia dengan menyediakan master file. Pelatihan masih berlanjut setelah istirahat. Masih dalam modul yang sama, peserta diajarkan cara Menyederhanakan data. Proses pelatihan ini berlangsung dari pukul 15.30 - 17.30 WITA.

Adi Masela salah satu instruktur dari AJI Bandung, mengatakan “tantangan memaparkan materi jurnalisme data dengan proses dokumen induk dalam dua hari adalah memastikan peserta memahami konsep dan mampu mengeksekusinya.”

“Karena hanya dua hari, maka pelatih perlu menyiapkan pengisian latar belakang, aneka riset, dataset, hingga proyeksi hipotesa sampai pertanyaan turunan yang dapat dijawab dengan data,” lanjutnya.

Dalam proses normal, seluruh kebutuhan tadi seharusnya dieksekusi oleh peserta pelatihan. semua disiapkan pelatih, maka peserta perlu melakukan pendalaman dan kembali mengulang seluruh prosesnya secara mandiri agar bisa mempraktikkannya,” tutup Adi.

Ketika ditanya alasan mengapa memilih isu kesehatan, Adi menjawab “pemilihan isu kesehatan dengan topik tuberkulosis dijadikan contoh karena kebetulan hasil persiapan mendapatkan ketersediaan datanya. Tanpa ada basis data publik atau data terbuka yang memadai, proses pelatihan yang berjalan singkat selama dua hari akan sangat menantang,” kata Adi.

Meski topik Tubercolosis sudah sering disorot media. Namun, masalah itu tetap ada dan tak kunjung membaik. Ia mengharapkan “pendekatan jurnalisme berbasis data bisa jadi menghasilkan konten jurnalistik yang memberi dampak dalam upaya mengatasi penularan Tubercolosis.”

Maria jurnalis dari puankhatulistiwa.com menjelaskan “Aku sangat tertarik mengikuti pelatihan ini karena sebelumnya aku ga tau gimana dengan cara kerja metode jurnalisme data. Ini yang bikin aku penasaran, jurnalisme data itu seperti apa sih? Selain itu, jarang juga dapat pelatihan seputar isu kesehatan.”

Maria menceritakan selama ini dirinya selalu berkutat dengan isu lingkungan. Dengan mengikuti pelatihan ini dirinya berencana menerapkan jurnalisme data dalam liputannya. Apalagi, pelatihan ini pun membuka pemikirannya mengenai isu kesehatan di Indonesia.

Acara hari kedua berakhir dengan sesi foto bersama dan saling tukar cerita antara peserta dan pelatih. Para peserta pulang dengan membawa bonus dari penyelenggara berupa data sheet laporan kesehatan. Harapan penyelenggara para peserta dapat mempraktikan materi yang telah diperoleh di medianya-masing-masing sesuai dengan isu yang menjadi fokus medianya.(AM/LekoNTT)


Related Posts:

Duit dan Politik Elektoral di Amerika Latin


Oleh: Ivo Mateus Goncalvez*
Poster para pemimpin negara Amerika Latin. Sumber Foto:berdikari.com

LekoNTT-Kadang saya berkhayal sedang berada di Bolivia, Venezuela atau Nicaragua!

Di negara-negara yang saya sebutkan di atas, penggorganisasian masa rakyat benar-benar terjadi. Kesadaran politik mereka benar-benar dipupuk lewat pendidikan politik jangka panjang. Kesadaran masa rakyat tidak bisa digantikan dengan segepok uang, atau praktik money politic menjelang dan pada saat pemilu.

Saat President Bolivia, Evo Morales, yang merupakan pengorganisir petani coca terpilih menjadi Presiden. Ia melewati proses yang panjang, dia dipilih oleh sekitar 66% suku Indian di Bolivia—yang merupakan jumlah suku asli paling banyak di dunia— saya bisa pastikan bahwa saat itu penduduk Bolivia benar-benar membutuhkan perubahan setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan oligarki yang korup. 

Bukan terpilih karena ‘duit’ yang dibagikan oleh Morales untuk membeli bilik-bilik suara. Karena memang si Morales ini bukan konglomerat kaya, dia hanya penggorganisir petani coca. Dia kemudian membentuk partai gerakan untuk sosialisme, dan terpilih menjadi Presiden pada tahun 2006.

Setelah kekuasaan berada dalam gengaman, Morales pun melakukan perubahan besar-besaran. Ia menasionalisasi perusahaan minyak dan gas dengan tujuan untuk meningkatkan program kesejahteraan sosial, mengkaji ulang kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan Brazil dan Amerika untuk memberikan porsi pendapatan yang lebih besar kepada rakyat dan pemerintah Bolivia.

Hak-hak masyarakat adat diakui di dalam konstitusi, serta melegalkan coca yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat adat Bolivia. Sebagai pengemar berat coca tea, saya cukup lega dengan keputusan yang terakhir.

Morales tidak pernah menjanjikan duit untuk memenangkan pemilu, tetapi hal pertama yang dia lakukan adalah memupuk kepercayaan di tengah-tengah masa rakyat. Ia tidak sepenuhnya menjanjikan surga dalam setiap kampanyenya, tetapi mengajak rakyat untuk berpikir tentang sesuatu yang realistis.

Memikirkan apa yang bisa dicapai lewat kerja-kerja kolektif berdasarkan realitas obyektif di Bolivia. Setelah kepercayaan rakyat berhasil direbut, Morales dan rakyat Bolivia bahu-membahu dalam mengawal kemenangan bersama ini, melalui proyek-proyek pembebasan.

Pasca perang dingin, negara-negara Latin Amerika diperintah oleh rezim-rezim otoriter birokrat yang dikenal dengan Caudillo. Para jenderal ini sepenuhnya tidak percaya pada kemampuan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Di samping itu, mereka pun skeptis akan kehebatan para politisi dalam menciptakan stabilitas sosial, politik dan ekonomi.

Pasca perang dunia pertama dan ke dua, rezim militer di Amerika Latin mulai menggalakan Industri Substitusi Import (ISI). Industri tersebut mendirikan fasilitas produksi untuk memproduksi kebutuhan pokok yang sebelumnya diimpor.

Kebijakan ini kemudian mendapatkan kritik pedas, karena bahan-bahan kebutuhan pokok yang diproduksi dianggap berkualitas sangat rendah serta tidak bisa bersaing dengan barang-barang impor. Kebijakan ISI dianggap terlalu mahal dan menghabiskan banyak biaya dengan hasil yang tidak sepadan.
Kemudian kebijakan ekonomi silih-berganti, ISI kehilangan pamor dan Amerika Serikat akhirnya memainkan peranan penting. 

Amerika Serikat mendukung, membiayai, melatih regim sayap kanan untuk mengulingkan penguasa nasionalis dan sayap kiri yang dipilih secara demokratis. Kemudian menguasai dan mengguras kekayaan alam di negara-negara Amerika Latin melalui kerjasama dengan rezim yang mereka bentuk. Kemajuan ekonomi pembangunan yang dicapai oleh Amerika Serikat saat ini adalah kontribusi dari negara-negara Dunia Ketiga.

Ketika Hugo Chaves merebut kekuasaan di Venezuela lewat pemilihan yang demokratis—pasca kudeta yang gagal, banyak ahli politik mengernyitkan dahi. Banyak yang menggangap bahwa Hugo tidak beda jauh, bahkan akan mewarisi watak para caudillo sebelumnya.

Hugo berhasil membalikan pendapat para ahli ini. Dia membentuk kendaraan politiknya sendiri yakni Gerakan Republik Ke-lima, dia kemudian bergabung dengan beberapa partai politik dan membentuk Partai Persatuan Sosialis Venezuela dan maju untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.  

Sejak berkuasa pada tahun 1999 sampai kematiannya pada tahun 2013, Hugo Chaves melancarkan program-program populis yang tidak ada padananya di Amerika Latin, selain Cuba.

Pemerintahan Hugo membangun perumahan layak huni bagi penduduk di barrios, menyediakan sumber air bersih dan listrik. Melalui kerjasama dengan Cuba, Venezuela menggalakan program pemberantasan buta huruf, membangun sistem kesehatan serta perguruan tinggi untuk kalangan berkemampuan rendah.

Harus diingat bahwa, pada saat Chavez maju sebagai calon Presiden Venezuela dalam pemilihan umum, secara politik Hugo berhadapan langsung dengan kaum oligarki bisnis, politisi sayap kanan, partai oposisi konservatif, media dan hegemoni Amerika Serikat lewat CIA dan organisasi sempalan lainnya seperti IRI dan NDI.

Penting diketahui Hugo Chaves tidak memiliki sumber dana untuk dibagi-bagikan kepada para pemilihnya. ‘’Aspirasi rakyat tidak bisa dibeli,’’ kata Chaves.

Setali tiga uang, di Nicaragua Daniel Ortega terpilih kembali untuk ketiga kalinya secara berturut-turut setelah mengalami pengulingan pada tahun 1990 yang didalangi oleh CIA. Ortega kemudian dipilih kembali masing-masing pada tahun 2006, 2011 dan 2016.

Alasan utama dari terpilihnya Ortega adalah program-program populis yang dia jalankan. Di bawah kepemimpinan Ortega Nicaragua mengalami pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dibanding negara-negara Amerika Latin lainnya.

Sekali lagi, meskipun mendapat tuduhan dari kalangan oposisi bahwa pemilu kali dipenuhi oleh kecurangan. Sejak awal Ortega tidak memainkan politik uang dalan merebut kekuasaan. Ortega sendiri sebelum melancarkan perlawanan terhadap Anastazio Somoza—adalah anak dari keluarga kelas buruh. Dia mengusung kharismanya sebagai bekas pemimpin FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yang mengulingkan kediktatoran Anastasio Somoza Debayle pada tahun 1979.

Tiga ilustrasi di atas sekedar ingin menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin populis tidak selalu mengandalkan sumber keuangan yang memadai untuk memenangkan pemilu. Program yang bisa menjawab kebutuhan rakyat banyak dan tidak terlalu bombastis merupakan senjata paling ampuh untuk menarik dukungan dari masa rakyat. Intinya, program yang populis akan mendapatkan dukungan yang populis.

Kembali ke politik uang, pertanyaannya adalah kenapa partai politik dan politikus doyan menghabiskan khas mereka untuk membeli bilik suara? Apakah pendidikan politik dan penggorganisasian yang dilakukan oleh partai tidak berhasil menarik dukungan politik sehingga politik uang dianggap sebagai kartu jitu?

Menurut hemat saya, politisi dan partai-partai politik yang membagi-bagikan uang menjelang pemilihan umum dilanda syndrom lack of self-confidence serta ada tendensi untuk ‘’memeroleh sesuatu setelah berada di tampuk kekuasaan.’’

Politik model begini, bisa disebut politik cartel, hasilnya akan bergantung kepada berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk para pemilih dan berapa yang berhasil dikumpulkan lewat para penyandang dana yang sebagian besar didominasi oleh para pengusaha mapan dan investor, baik lokal maupun internasional.

Setelah berada di singasana kekuasaan, para politisi ini ‘harus membayar hutang’ kepada para penyandang dana melalui mega proyek yang akan dibagikan tanpa tender, dan pada saat yang bersamaan melakukan korupsi untuk menutupi ‘kerugian mereka’ akibat khas pribadi yang telah mereka kucurkan untuk para pemilih.

Terjadi akumulasi kapital di lingkaran para elit, pejabat (Menteri, anggota parlemen, penguasaha dan lingkaran dekat (inner circle) pejabat negara. Dalam tataran ini, diskusi tentang trickle down effect sudah tidak berlaku.

Sampai detik ini pun, saya masih tetap tidak yakin dan meragukan’’kemauan baik" para politisi dan partai politik yang memeraktekan politik uang untuk menuju kekuasaan. Saya sepenuhnya yakin bahwa tujuan mereka untuk meraih kekuasaan bukan untuk melayani rakyat yang memilih mereka, tetapi memerjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, memperkaya diri dan orang-orang yang berada dekat dengan mereka.

Perubahan hanya bisa terjadi ketika rakyat sadar bahwa ada hal yang keliru, karena itu mereka membutuhkan alternatif. ‘Jalan lain’ yang diinginkan rakyat hanya bisa dihadirkan oleh kalangan progresif yang percaya pada kemampuan dan kesadaran rakyat akan sebuah perubahan. 

Duit hanyalah candu, yang meninabobokan rakyat sesaat, tetapi tidak akan mengubah kehidupan mereka. Setiap suara yang mereka berikan kepada para politisi ‘calon koruptor’ hanya akan menambah penderitaan mereka dan memerkaya para politisi badut.

Kalau para politisi dan partai-partai politik benar-benar serius tentang sebuah perubahan dan percaya akan kemampuan rakyat, maka pendidikan politik, penggorganisasian dan memobilisasi untuk produksi adalah beberapa hal yang harus dikedepankan. Karena pembagian duit untuk membeli suara pemilih hanya akan menghasilkan keberhasilan yang instan sifatnya.

Satu pertanyaan sebagai penutup coretan ini. Apakah tujuan dari politik uang adalah salah satu cara untuk merebut kekuasaan, kemudian kekuasaan itu digunakan untuk kemakmuran rakyat. Atau berkuasa untuk melayani diri sendiri, keluarga dan teman-teman dekat?

Untuk saat ini, cukup sampai disini. Saatnya menyeruput coca tea pemberian sahabat saya dari La Paz. Kita lanjutkan lagi lain waktu, itupun kalau saya benar-benar punya waktu dan khalayak pembaca pun tidak merasa bosan dengan coretan-coretan saya. (AM/lekontt.com)

*Penulis adalah Alumnus Australian National University

Related Posts: