Foto bersama personel WALHI Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Lombok, Februari 2023/WALHI/AM |
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
17.504 pulau. Dari keseluruhan Pulau terdapat 7.280 pulau di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua (BANUSRAMAPA). Pada pulau-pulau tersebut, terdapat beragam kebudayaan bahari yang menjadi ciri khas Nusantara. Wilayah BANUSRAMAPA adalah
benteng terakhir keanekaragaman hayati dan diversifikasi pangan lokal
Nusantara.
Ironisnya, kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini berkebalikan dengan prinsip kekayaan biodiversitas, kedaulatan dan keberlanjutan pangan masyarakat di BANUSRAMAPA. Rakyat di sana memiliki karakter harmonisasi dengan alam pada wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
Proyek pembangunan
yang digaungkan oleh Pemerintah adalah ekspansi proyek strategis nasional berjumlah 210 proyek. Landasan hukumnyatertuang
dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2022. Peraturan tersebut bias pembangunan infrastruktur dan industrialisasi skala besar
berbasis kawasan. Di masa
depan nanti,
orientasi pembangunan semacam ini akan mendorong hilangnya ruang kedaulatan
rakyat, dalam tata kuasa maupun tata
kelola rakyat.
WALHI regio
BANUSRAMAPA melihat pembangunan infrastruktur, industrialisasi berbasis kawasan
(industri pertambangan, industri kehutanan, perkebunan sawit monokultur,
industri food estate dan industri
pariwisata). Watak pembangunan infrastrukrisme berpotensi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dengan
demikian dapat menyingkirkan hak kuasa dan kelola
masyarakat di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di wilayah Bali, Nusa
tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur Maluku Utara dan Papua.
Dari data Izin Usaha Pertambangan per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektar (1.405 Izin Usaha Pertamabangan) wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektar (324 Izin Usaha Pertambangan) wilayah laut.Adapun persentase pertambangan timah 373.265,58 hektar area (13%), batubara 446.215,40 hektar are (14%), biji dan pasir besi 538.769,99 hektar are (18%), nikel 568.169,85 hektar are (20%), emas 583.161,86 hektar are (20%), granit dan marmer 5.999,80 hektar are (0,2%), gamping dan tanah liat 35.121,66 hektar are (1%), mangan 37.599,88 hektar are (1%), tembaga 80.489,39 hektar are (3%), pasir dan batu 81.814,974 hektar are (3%), lain-lain 169.262,54 hektar are (6%).
WALHI mencatat sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek
tambang. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong
penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan. Selain dampak pertambangan,
proyek reklamasi pada
tahun 2019 dengan luasan 79.348 hektar telah mengakibatkan 747,363 orang
nelayan kehilangan wilayah tambatan perahu dan wilayah tangkapan di pesisir
laut. Sementara total
luasan reklamasi yang direncanakan sampai 2040 yang tertuang dalam 22 Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecilm (RZWP3K) seluas 2.698.734,04
hektar are
Sektor pariwisata dan kawasan konservasi laut merupakan rangkaian proyek strategis nasional yang berkontribusi terhadap
hilangnya wilayah tangkapan nelayan. Pemerintah menargetkan 32 jutahektar are pada tahun 2030 untuk kawasan konservasi laut.
Ada 88 Kawasan Strategis Parwisata Nasional (KSPN) sampai tahun 2025,
mayoritas proyek tersebut berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada ratusan Kawasan
Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Kawasan Destinasi Pariwisata
Nasional (KDPN).
Sepanjang 2010–2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada
tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun, pada tahun 2019,
jumlahnya tinggal 1,83 juta orang. Dalam satu dekade terakhir, 330.000
orang nelayan di Indonesia tidak lagi
melaut. Penyebab utamanya, keberadaan industri
ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan.
Kini, kebijakan
pembangunan di Indonesia belum memiliki alur
yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris, yaknimenjaga suhu bumi tidak
melewati ambang batas 1,5 derajat celcius.
Sebagamana disampaikan presiden Indonesia dalam pidatonya di pertemuan
COP 26 yang berlangsung di Glasgow.
Laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change)
Februari 2022 mengemukakan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari
wilayah tropis sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional di
Indonesia sebesar 24 persen. Dampak
lanjutannya, 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi,
berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang. Di Asia Tenggara,
99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis
iklim pada tahun 2030.
Masyarakat yang berada di 3.658 desa pesisir di BANUSRAMAPA akan merasakan dampak dari kebijakan proyek strategis nasional. Dengan penggunaan energi fosil dalam pengembangan industri pertambangan terutama di wilayah timur Indonesia akan semakin mempercepat laju degradasi lingkungan serta krisis iklim yang berdampak pada kelangkaan pangan, ketidakpastian hasil tangkapan nelayan, hilangnya pulau-pulau kecil dan bencana ekologis.
WALHI regio BANUSRAMAPA melihat rezim saat ini melupakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena
dikelilingi oleh gunung berapi aktif yang tersebar di darat dan di laut, 12 sesar
aktif yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami.
Kebijakan yang dipenuhi oleh industri ekstraktif justru akan
mempercepat bencana ekologis serta menciptakan pengungsi iklim akibat dari hilangnya
tempat bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Catatan dari Indonesia Timur
· Bali
Made Krisna Bokis Dinata Direktur WALHI Bali menjelaskan jika
perusakan wilayah pesisir oleh pembangunan infrastruktur terus menjadi mimpi
buruk yang menghantui pesisir Banusramapa. Bayangkan saja, pemerintah Provinsi
Bali dengan segala kewenangannya justru ingin menggunakan Mangrove Tahura
Ngurah Rai dan Perairan Sanur untuk menjadi tapak Terminal LNG.
Terlebih, telah terungkap pemrakarsa dari proyek pembangunan Terminal LNG Sidakarya adalah PT Dewata Energi Bersih. Mayoritas saham dipegang swasta yakni PT. Padma Energi Bersih. Perumda Bali yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah berada di bawah kewenangan Gubernur Bali paling ngotot menggunakan Mangrove.
Pemda diduga melakukan perubahan blok
Tahura untuk mengakomodir pembangunan Terminal LNG dikala saham Perumda hanya
minoritas dan didapat dari hutang (saham kosong) . "Ini sungguh siasat
privatisasi Blok Khusus terhadap lahan publik kepada swasta" tegasnya.
· Nusa Tenggara Barat
Direktur ED Walhi Nusa
Tenggara Barat Amri Nuryadin menjelaskan, dari sederet
pembangunan yang merupakan program strategis nasional dan investasi, baik itu
pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan, Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) adalah salah satu daerah yang menjadi locus
sejumlah pembangunan tersebut.Namun keberadaan program strategis nasional dan investasi sebagian
besar jauh dari harapan akan mendatangkan “berkah” bagi rakyat, sebaliknya justru
telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di Nusa Tenggara Barat
baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir.
Sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya resiko bencana di banyak wilayah di Nusa Tenggara Barat. Selain itu, pada kenyataannya sebagaimana data dan informasi yang banyak direlease oleh media massa tentang masyarakat Nusa Tenggara Barat masih hidup dalam kemiskinan.
Nusa Tenggara Barat masuk dalam urutan ke delapan dari sepuluh daerah termiskin di Indonesia. Berdasar
data yang diperoleh oleh WALHI Nusa Tenggara Barat dari beberapa sumber dan
data tahun 2021 yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Nusa Tenggara Barat sekitar 13,83 % dari jumlah penduduk atau
total penduduk miskin mencapai 735,30 ribu jiwa.
Salah satu investasi yang digadang dan menurut Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat akan mendatangkan berkah bagi pariwisata di Nusa Tenggara Barat adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani (RTK 1). Luasan areal 500 hektar are beserta pembangunan infstrukturnya dan rencana pembangunan resort dengan nilai investasi sebesar 2,2 trilyun rupiah.
WALHI Nusa Tenggara Barat melihat pembangunan
tersebut akan meningkatkan terjadinya laju kerusakan hutan dan hanya memberikan
keuntungan bagi investor bukan menjadi solusi dari kesulitan ekonomi rakyat
pasca pandemi covid-19;
Bahwa selain laju kerusakan hutan di Nusa Tenggara Barat yang begitu parah yakni hampir 60% dari 1,1jt Ha luasan hutan dalam keadaan kritis. Keterancaman kerusakan ekologi juga terjadi di pesisir pulau Lombok dan pulau Sumbawa diduga kuat disebabkan oleh investasi skala besar dalam industri pariwisata yaitu Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di pesisir selatan Lombok Tengah seluas 1.250 hektar, investasi tambak Udang di seluruh pesisir Pulau Lombok, investasi budidaya mutiara skala besar yang menyebabkan hilangnya sebagian besar ruang tangkap nelayan di pesisir Jerowaru-Lombok Timur.
Selain itu pula rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 Hektar juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara. Adapun sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir antara lain: PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (dahulu PT. NNT) dengan luas 125.341,42 hektar di Kabupaten Sumbawa Barat dengan dampak seriusnya juga terjadi karena pembuangan limbah tailing nya ke pesisir pantai.
Industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u Dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo) yang juga mengancam kerusakan di pesisir pantai Lakey-Dompu. Begitu pula dengan Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang saat ini tengah dibangun di Kabupaten Sumbawa Barat seluas 100 hektar yang mengancam pesisir di Benete-Maluk, Sumbawa Barat.
Keterancaman akan terjadinya kerusakan ekologi dan privatisasi pulau-pulau kecil juga dikhawatirkan terjadi terhadap 403 pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat baik itu karena investasi pariwisata dan juga investasi skala besar lainnya serta penjualan pulau-pulau kecil.
Adapun pulau-pulau kecil di Nusa
Tenggara Barat yaitu: Lombok Barat sebanyak 126 pulau; Lombok Tengah 44 pulau;
Lombok Timur 65 pulau; Kabupaten Sumbawa 23 pulau; Kabupaten Bima 23 pulau;
Dompu 58 Pulau; Kabupaten Sumbawa Barat 19 pulau dan Lombok Utara 3 pulau.
Nusa Tenggara Timur
Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyampaikan, Nusa Tenggara Timur saat ini berada dalam dua ancaman besar yang sedang dan akan menggempur.
Pertama, perubahan iklim memberikan dampak yang buruk bagi keberlanjutan lingkungan di Nusa Tenggara Timur. Beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur seperti pulau Komodo, Salura, Kera, dan gugusan pulau kecil lainnya terancam hilang akibat kenaikan permukaan air laut. Belum lagi meningkatnya bencana iklim menambah kerentanan bagi kelompok rentan. Ancaman kedua datang dari masifnya investasi kotor yang masuk di Nusa Tenggara Timur. Investasi yang rakus lahan dan berujung pada privatisasi serta alih fungsi kawasan memberikan dampak buruk bagi daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
WALHI Nusa Tenggara Timur mencatat provinsi ini dikepung oleh 309 Izin Usaha Pertambangan Minerba, Industri Pariwisata, Monokultur, Food Estate, serta beberapa Proyek Strategis Nasional yang tersebar di seluruh wilayah.
Proyek-Proyek kotor ini diwarnai dengan perampasan lahan dan alih fungsi kawasan tanpa kajian daya dukung dan daya tampung yang mendalam dengan dalil peningkatan kesejahteraan rakyat. Legitimasi ini bertolak belakang dengan catatan Badan Pusat Statistik pada 2021 yang mencatat 20 persen masyarakat Nusa Tenggara Timur mengalami kemiskinan ekstrim.
Ini membuktikan pertumbuhan investasi tidak
menjadi solusi mengatasi kemiskinan. Meningkatnya kemiskinan di Nusa Tenggara Timur justru membuat jumlah kelompok rentan semakin
bertambahkarena kelompok
miskin lebih memiliki sedikit alternatif untuk menghadapi krisis iklim dan
dampak bencana ekologi.
Maluku Utara
Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela menyampaikan bahwa provinsinya luas lautan lebih besar dari luasan daratan. Luasan lautan sekitar 100.731,44 kilometer persegi sedangkan luas daratannya hanya 45.069,66 kilometer. Luasan daratan yang kecil telah dipenuhi oleh investasi pertambangan berjumlah 110 dengan luas 615.179,44 hektar are dan tersebar di 10 kabupaten.
Dua kabupaten yaitu Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan masuk dalam proyek strategis nasional. Sementara, Halmahera Timur masuk dalam program strategis nasional dengan industri pertambangan nikel, perkebunan monokultur 59949,14 hektar are, 867.352 hektar are industri kehutanan, serta industri pariwisata di pulau-pulau kecil.
Industri tersebut berdampak pada 934 desa yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara yang menggantungkan sumber kehidupannya dari wilayah laut dan daratan.
·
Papua
Tanah Papua bukan hanya dikenal dengan hutan papua yang rimba dan
kaya akan flora dan fauna yang ada di darat. Papua juga memiliki banyak
pulau-pulau kecil yang berada di wilayah timur indonesia, terdapat 3.676 pulau yang
punya nama dan ada 6 pulau yang tidak punya nama dari. Dari pulau-pulau kecil
yang ada saat ini memiliki kawasan hutan mangrove yang sangat tinggi mengikat
karbon.
Kawasan Hutan mangrove mempunyai beberapa fungsi yakni pengikat
karbon, penahan substrat pantai dari abrasi, penahan angin atau gelombang,
penahan intrusi air laut. Selain itu peningkatan suhu akibat perubahan iklim
memicu rusaknya terumbu karang. Persoalan terbesar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
tata kelola ruang. Baik di wilayah darat maupun lautan kondisi keterancaman ini
sangat mengkhawatirkan, karena memiliki resiko besar mendegradasi wilayah
tersebut, termasuk resiliensi terhadap bencana, karena perpaduan bencana
perubahan iklim dan rusaknya kawasan yakni memunculkan potensi kerentanan
wilayah.
Kekhawatiran Nelayan Masyarakat adat Papua
Perubahan iklim memicu anomali cuaca sehingga mengacaukan kalender musim nelayan, sehingga banyak nelayan yang merasakan dampaknya terutama menurunnya hasil tangkapan serta keselamatan mereka saat melaut. Selain itu, nelayan masyarakat adat Papua juga terlihat bersaing dengan masyarakat lain yang datang dari luar Papua. Ancaman datang juga dari beberapa investor yang sedang beraktivitas di kawasan sekitar pulau-pulau kecil, yaknikabupaten yang berada di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk 4 daerah provinsi baru.
Demi mengatasi
problem dibutuhkan
sebuah kebijakan dan regulasi yang berbasis pada kondisi faktual masyarakat. Kebijakan hendaknya memiliki
perspektif ekologis Dalam kebijakan dan regulasi
nantinya penting melihat
aspek perlindungan, rehabilitasi dan memperhitungkan loss and damage
untuk menghitung potensi yang akan hilang serta dampaknya bagi keberlanjutan
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
WALHI Region BANUSRAMAPA menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk sesegera mungkin memetakan dan mendokumentasikan semua wilayahnya sebelum wilayahnya hilang akibat dari bencana ekologi dan krisis iklim yang akan melanda seluruh wilayah Indonesia.
Terutama wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. WALHI juga mendesak pemerintah
Indonesia untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri
ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia.
Mendorong pemerintah menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan kawasan dan masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.(AM/Lekontt.com)
0 Response to "Ribuan Pulau Kecil Terancam Krisis Iklim WALHI Tuntut Kebijakan Perspektif Ekologis"
Posting Komentar