*Suroto
Padang sabana dan kuda di Nusa Cendana. Credit Foto.AM/November/2022 |
Bicara bertani, saya mengenang masa ketika saya lulus Sekolah Menengah Atas
dulu. Tepatnya tahun 1994 dari Sekolah Menengah Atas Negeri-1 Merauke. Seperempat abad lalu.
Setelah lulus dari SMA, cita-cita saya menjadi akuntan sepertinya akan kandas karena orang tua tidak memberikan
sinyal sedikitpun untuk membiayai kuliah. Akhirnya, saya banting setir. Memilih bertani.
Saya kembali pulang ke desa, yang jaraknya
dari Merauke sekitar 200 kilo meter. Tepatnya di
daerah transmigrasi Sarmayam, Jagebob, Merauke.
Ini lahan transmigrasi yang relatif baru pada
waktu itu, kepemilikan tanah masing-masing keluarga mempunyai Dua hektar meliputi Satu per Empat hektar pekarangan dan Dua per Tiga hektar ladang kering.
Dalam keluarga, kami Enam bersaudara. Ditambah dua orang tua saya berarti Delapan orang di dalam rumah. Rumah mungil kami terbuat dari kayu.
Memilih Bertani
Apa yang saya lakukan setelah mengambil
keputusan banting badan jadi petani. Saya tidak punya lahan sendiri. Melalui
lobi ke desa, saya diizinkan oleh kepala desa membuka lahan tanah
R. Tanah yang dikuasai desa tapi belum digunakan.
Lahan pertanian yang saya kelola tidak luas. Hanya sekitar Satu Setengah hektar. Tanah ini tidak disewakan. Gratis. Tidak ada kewajiban menyetor
ke kas desa. Jadi, saya kira sangat bagus untuk memulai usaha.
Saya sama sekali tidak punya keterampilan untuk bertani. Tetapi, Saya berpkir kalau hanya menanam padi seperti tetangga saya maka lahan itu tentu tidak akan menghasilkan banyak uang. Misalnya, saya mempunyai lahan Dua hektar. Dari lahan ini menghasilkan panenan Delapan ton padi kering giling dalam satu tahun. Ini karena sawahnya tadah hujan. Kalau digiling hanya hasilkan beras sekitar 5,2 ton dengan rendemen sekitar 60 persen.
Pada waktu itu harga beras di kampung saya
hanya 500 rupiah. Jadi hanya akan
hasilkan uang 2,6 juta per tahun. Ongkosnya buanyak sekali, dari pupuk, tenaga
kerja untuk buka lahan, penyiangan, penyemperotan hama, dan lain-lain.
Kalkulator saya malahan ngadat karena
perghitungan itu baru di atas kertas kalau panen. Banyak tetangga saya yang
mengalami gagal panen karena hama dan juga karena terendam banjir. Sehingga
saya putuskan tidak tanam padi.
Saya putuskan tanam cabai dan kacang
panjang. Tanaman ini biasanya hanya ditanam petani di sini setelah tanam
padi selesai dan itupun di area yang punya tanah di dekat rawa-rawa yang bisa
disiram gunakan air yang perlahan ikut surut mengikuti musim.
Otak dagang saya jalan. Apa yang saya duga benar
adanya. Panenan cabe dan kacang panjang saya sangat hebat. Ketika orang sibuk
panen padi saya panen cabe dan kacang. Walaupun saya musti kerja keras untuk
menyiramnya ketika kemarau dan orang sedang menyiapkan lahan untuk padi mereka.
Saya mendapat uang banyak dari hasil memanen cabe dan
kacang. Saya bahkan menjualnya ke tetangga saya dengan mudah, mereka saya minta
memanennya sendiri dan tinggal setor ke saya ikatanya dan bayar secara cash.
Kembali ke soal pertanian, saya akhir akhir
ini merasa agak risih karena ekonom neoliberal
coba tawarkan konsep corporate farming. Ini artinya lahan pertanian akan
dikelola secara korporatif.
Setiap rumah tangga akan bekerja dengan
perusahaan dalam bentuk perseroan yang akan mengkonsolidasikan lahan pertanian
para petani dan petani dalam bisnis on farm-nya akan disupervisi oleh perseroan
profesional. Lalu bisnis off farmnya akan ditangani oleh korporasi tersebut
dengan tenaga dari si petani yang katanya akan bergaji.
Ide ini dibuat buat dengan istilah baru Badan
Usaha Milik Rakyat (BUMR). Bahkan badan
tersebut akan dikembangkan dengan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di seluruh Indonesia. Perseroannya bahkan sudah dibentuk dalam model Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nama PT. Mitra BUMDes Nusantara, anak perusahaan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bulog.
Sebuah sistem yang sebetulnya mirip dengan
Pola Inti-Plasma Rakyat (PIR). Konsep ini akan jadi pintu masuk korporasi
kuasai lahan-lahan rakyat yang pada awalnya beri tawaran muluk dengan konsep 80
persen untuk rakyat sebagai plasma yang akan kuasai korporasi Inti.
Omong kosong lama yang gagal dan membuat
penyerobatan tanah (land grabbing) semakin masif dimana-mana. Para petani independen itu akhirnya hanya jadi buruh-buruh perkebunan tersebut.
Merintis s Jalan Kooperativisasi Petani
Saya sebetulnya juga tidak cocok dengan pola
skala pertanian keluarga yang kecil seperti yang saya rasakan dalam
keluarga saya sendiri. Sebab, kebebasan yang kami unduh adalah juga hanya
hasilkan penderitaan ditambah cerita manis pahit petani subsisten.
Lahan Dua hektar keluarga saya itu walaupun
digarap dengan intensif tentu tidak akan menghasilkan nilai ekonomis yang
memadai untuk kebutuhan keluarga saya. Dari biaya keseharian, sekolah
anak-anak, sakit, dan kebutuhan mendesak lainya. Apalagi hasil panen kami pasti
selalu tergencet oleh mafia kartel pangan yang kendalikan harga di pasaran.
Nah, bagaimana sebetulnya pola yang benar itu
seharusnya. Menurut saya, kooperativisasi petani adalah model yang cocok.
Bagaimana pola kerjanya?
Pertama, petani-petani yang tentu harus
didukung dengan kebijakan reforma agraria membangun sebuah koperasi pertanian
sendiri. Koperasi ini membentuk kepengurusan yang terdiri dari mereka
sendiri. Pengurus mengambil kebijakan umum untuk dijalankan oleh manajemen
profesional yang bekerja untuk mendukung petani-petani kecil tersebut hingga
mampu berkembang ke skala menengah.
Koperasi ini setidaknya mengelola manejemen
pembelian bersama, penjualan bersama di
awal. Setelah mereka memiliki dana cadangan yang cukup masuk ke bisnis
pemrosesan, ditambah dengan kegiatan pendukung lain seperti perkreditan,
asuransi dan jaminan keuangan lainnya.
Ini memang tidak mudah, sebab selama ini
koperasi di Indonesia terutama Koperasi Unit Desa yang dulu dibentuk dengan konsep atas bawah (top-down). Perubahan pola pengembangannya harus dirombak
total. Koperasi ini dibangun dari bawah dengan cara membangun kesadaran
masyarakat tentang arti penting koperasi bagi hidup mereka dan manfaat nyata
yang mereka bisa rasakan.
Pengalaman menarik dari Amerika Serikat, ternyata pola pertanian mereka tetap saja didominasi oleh model family farming alias pertanian keluarga hingga 98 persen. Walaupun masih didominasi oleh skala pertanian kecil hingga 87 persen. Tapi mereka yang mulai menyadari arti penting koperasi mulai beralih ke skala pertanian keluarga menengah.
Melalui koperasi mereka merasa pekerjaan menjadi lebih ringan, mudah, efisien
dan juga mampu menangkal permainan harga dari para mafia. Itu kenapa misalnya,
koperasi Sunkist Cooperative Growers
misalnya produk jusnya bisa mendunia dan mampu memberikan nilai tambah ke
petani keluarga. (AM/Lekontt.com)
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Koperasi Seluruh Indonesia
0 Response to "Korporatisasi Versus Kooperativisasi Petani"
Posting Komentar