*Suroto*
Ilustrasi penjajahan baru oleh oligarki/jernih.co/AM/Januari2023 |
Perdana Menteri Belanda baru saja mengumumkan pengakuan dan permintaan maaf atas penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh bangsanya di masa lalu. Termasuk kepada Indonesia yang telah diperbudak selama kurang lebih 250 tahun. Dalam permintaan maafnya itu juga berjanji akan kembalikan artefak kebudayaan yang dulu pernah dirampas.
Sebagai bangsa penjajah beratus tahun dan baru
mengakuinya saat ini tentu sangat memalukan. Tapi setidaknya dengan permintaan
maaf itu bangsa itu tidak akan mengulangi kesalahannya sebagai bangsa yang
brutal dan nir kemanusiaan dalam memperlakukan bangsa lain di masa mendatang. Demi ciptakan perdamaian dunia.
Permintaan maaf saja tentu tidak cukup. Mengakui kesalahan tentu mengandung konsekuensi. Konsekuensinya, membayar kerugian yang diderita oleh bangsa-bangsa yang telah dijajah. Tak hanya kembalikan artefak karya seninya yang dirampok, Tetapi mengembalikan pembayaran utang yang baru kita lunasi beberapa tahun lalu, kembalikan seluruh kerugian materiil dan imateriilnya.
Kalaupun harta mereka tidak cukup untuk
melunasinya saat ini, maka mereka harus lunasi hingga beberapa puluh atau ratus
tahun mendatang. Tidak bisa begitu saja lepas dari tanggungjawab. Kemajuan
bangsa mereka hari ini adalah berasal dari rampasan bangsa kita di masa lalu.
Pengakuan kesalahan Belanda tersebut harus kita jadikan sebagai modal untuk membangun kesadaran bahwa tidak
boleh dan jangan pernah memperkenankan diri secuilpun dengan berbagai upaya penjajahan baru.
Bangsa juga harus sadar, bahwa penjajahan itu bukan berarti hanya dalam
bentuk okupasi wilayah, penjajahan fisik. Kita harus sadar bahwa bangsa kita
hari ini itu belum berdaulat penuh dan masih dalam kondisi terjajah oleh bangsa
dan negara global utara dalam bentuk yang lain.
Kita harus sadar bahwa bangsa global utara itu
juga masih kuat mengikat dan menjajah kita sampai hari ini. Mereka datang dalam
bentuk penjajahan non fisik. Mereka datang dalam cengkeram sistem ekonomi.
Mereka sejatinya masih menjajah kita, melalui
bangsa sendiri dengan memanfaatkan struktur feodalisme lama, yaitu
datang melobi elit-elit politik kita. Para raja baru yang berwujud
politisi busuk dan konglomerat bermental
menumpang.
Hari ini kita belum bisa dikatakan sebagai
bangsa berdaulat penuh. Sebab faktanya justru penjajahan itu semakin kuat
terasa. Bangsa bangsa global utara itu masih menjajah kita melalui instrumen
utang, investasi, dan konsumsi.
Implikasi Penjajahan Baru
Mereka masuk pertama tama melalui pintu utang.
Utang yang dikomitmenkan untuk membangun infrastruktur bagi kepentingan
memperlancar investasi mereka di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan
perkebunan monokultur. Utang dengan bunga mencekik empat kali lipat lebih besar
dari bunga pasaran.
Utang ini sebagai pintu masuk dan ini terbukti
dengan ditolaknya proposal penghapusan kemiskinan negara miskin dan berkembang
termasuk Indonesia pada tahun 1980 oleh Prof Jan Timbergen, penerima Nobel
ekonomi berkebangsaan Belanda ini. Proposalnya yang di dalamnya usulkan
penghapusan utang negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia dengan skema
alokasikan 0,7 persen dari Produk Domestik Bruto ( PDB) negara maju itu ditolak
oleh negara global utara karena mereka tahu bahwa utang sekecil apapun adalah
sebagai pintu masuk utama mereka melakukan penjajahan baru.
Kemudian investasi di komoditi ekstraktif itu
harga pasaranya juga mereka masih kendalikan. Sebut saja misalnya harga sawit
dan batu bara contohnya. Kita produsen sawit terbesar di dunia, hingga 62
persen. Tapi harganya bukan kita yang
tentukan, melainkan mereka. Mereka
kuasai kita melalui perusahaan multinasional mereka.
Tak hanya sampai disitu, bangsa global utara
itu juga telah menjajah kita dalam bentuk ciptakan ketergantungan importasi
produk. Kita dijajah dengan dijadikan hanya sebagai pasaran produk mereka
dengan kekuatan kongkalikong dengan pejabat dan konglomerat nasional penguasa
import.
Perluasan izin tambang dan perkebunan yang telah mereka dapatkan dengan berkongkalikong dengan elit penguasa kita juga sebabkan penyerobotan tanah petani kita. Kemunduran penguasaan lahan terus terjadi. Petani kita dibuat gurem dengan hanya punya kuasa lahan per kapita 0,33 ha. Sementara petani kita sebagian besarnya hanya diisi oleh buruh tani sebesar 74 persen yang hanya andalkan tenaganya.
Rakyat kita akhirnya tak lagi punya kemampuan
untuk mandiri pangan. Apa yang kita makan akhirnya sangat tergantung dari
importasi produk mereka. Contoh kecil saja, kedelai yang kita makan itu
bergantung dari 86 persen import dari amerika serikat. Sisanya 13 persen dari
Canada dan lainya.
Kita juga menjadi bangsa yang tidak berdaulat walaupun sudah deklarasi 77 tahun sebagai bangsa merdeka. Seperti yang diperingatkan oleh Bung Karno, " hati hati dengan apa yang kamu makan, sebab apa yang kamu makan itu menentukan seberapa daulat kamu".
Faktanya, tak hanya kedelai tapi beras,
ubi, garam, kain, dan lain lain kita telah terjajah. Sehingga secara politikpun
akhirnya kita menjadi bangsa yang rentan karena pemerintah kita menjadi begitu
mudah dijatuhkan hanya dengan melalukan embargo pangan setiap saat.
Pengakuan pemerintah dan bangsa Belanda yang
telah menjajah dan memperburuk nasib bangsa ini perlu kita apresiasi. Tapi kita
sebagai bangsa jangan sampai terus menjadi bermental budak, slaver dan lupa
bahwa kita masih dijajah dalam modus operandi yang berbeda dari bangsa lain
dengan berkongkalikong dengan elit penguasa dan konglomerat hitam. Waspadalah,
mereka masih terus berusaha mengkudeta kedaulatan kita dengan berbagai
cara.(AM/LekoNTT)
*Penulis adalah penggiat koperasi Indonesia, yang berusaha mengembangkan model ekonomi kerakyatan di Indonesia.
0 Response to "Modus Operandi Penjajahan Baru"
Posting Komentar