Oleh: Suroto*
Ilustrasi dominasi kapitalisme pada koperasi/transisi.org/AM |
Parlemen dan pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan
Undang Omnibus Law tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Pembahasannya juga berkutat
soal Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Masalahnya, hak konstitusional loperasi terdiskriminasi
dan dirusak prinsip-prinsip utamanya.
Dalam Rancangan Undang-Undang yang bertujuan memitigasi resiko
dan memperkuat sektor keuangan tersebut, malah memberikan insentif lebih banyak
untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial, tapi tidak untuk koperasi.
Sebaliknya, prinsip utama koperasi seperti otonomi dan demokrasi yang terbukti
jadi kekuatan dan daya tahan lembaga keuangan koperasi di seluruh dunia justru
dikooptasi.
Lembaga Penjamin Simpanan diperluas fungsinya untuk menjamin
tak hanya nasabah korporasi bank komersial namun juga asuransi komersial. Tetapi,
dalam rancangan undang-undang terbaru koperasi bahkan tidak direkognisi, hal
ini terdapat pada bagian ketiga pasal Tiga A dan pasal Empat.
Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan bagi koperasi sangat
penting untuk memperkuat kelembagaan Koperasi. Fungsinya untuk memitigasi
kegagalan pembayaran Koperasi Simpan Pinjam yang sedang marak terjadi, malah
tidak termaktub dalam rancangan perudangan yang sedang dibahas.
Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan melebihi putusan rapat anggota koperasi yang merupakan forum demokrasi tertinggi di koperasi. Bahkan rancangan regulasi terbaru mengenai lembaga tersebut turut menentukan mekanisme tata kelola koperasi lebih dalam lagi (Pasal 191, 298-305).
Daya Tahan Koperasi
Sektor Keuangan
Menurut laporan International
Cooperative Bank Association (ICBA) tahun 2020, sebuah komite di bawah
gerakan koperasi dunia International Cooperative
Alliance (ICA), ada 18.500 koperasi pada sektor keuangan, dengan anggota
sebagai pemiliknya sebanyak 272 juta orang di lebih dari 100 negara.
Sebut saja misalnya koperasi Desjardins Group di Canada, Groupe
Credit Agricole di Perancis, Rabbobank di Belanda, Raiffisien bank
Internasional (RBI) di Austria untuk sektor perbankkan. Koperasi asuransi
seperti State Farm di Amerika Serikat, Zenkroyen di Jepang, AP Pension di
Denmark, NTUC Income di Singapura.
Mereka telah menjadi bagian dari 300 koperasi besar dunia
menurut laporan lembaga riset Euricse tahun 2021. Bahkan mereka telah
berkembang menjadi bank dan asuransi terbaik di negaranya dan sebagian ekspansi
ke negara lain. Dimana tak satupun koperasi kita masuk di dalamnya, termasuk di
sektor lainya.
Dalam sektor keuangan, koperasi di banyak negara berkontribusi cukup signifikan. Di Polandia koperasi
memiliki 10 persen total deposit di industri keuangan, 33 persen di Belanda, 40
persen di Perancis. Di Canada, negara kampiun koperasi sektor keuangan ini memiliki
tingkat penetrasi pangsa pasar tertinggi hingga 10 juta anggota atau 1 dari 2
orang dengan asset 4.800 trilyun rupiah dan pekerja hingga 60.000 orang. Di Amerika Serikat dengan anggota 112 juta
orang dan asset 10.500 trilyun rupiah.
Menurut International
Labour Organization (ILO), dari hasil risetnya tahun 2018, koperasi ketika
hadapi krisis keuangan pada tahun 2008 terbukti memiliki resilensi yang lebih
kuat dibandingkan dengan bank dan memiliki rating gagal bayar lebih rendah 5
kali lipat dibandingkan dengan bank
komersial di Eropa.
Di Amerika Serikat bahkan saat krisis terjadi justru menjadi
penyelamatan usaha kecil dan menengah karena justru menunjukkan peningkatan
pinjaman secara ganda (double lending) dari 30 persen jadi 60 persen. Mereka
juga memiliki tingkat kepercayaan hingga 60 persen ketimbang bank konvensional
yang hanya 30 persen.
Di Jerman yang secara pangsa pasar, koperasi menguasai 40
persen sektor keuangan dan jika ditambah oleh bank tabungan yang adopsi juga
prinsip koperasi mereka total kuasai 74 persen sektor keuangan disana. Mereka
walaupun juga sebagai pembayar pajak selama 90 tahun terbukti tidak pernah
menerima dana talangan dari negara (bailout) sebagaimana didapatkan oleh bank
komersial.
Kunci keberhasilan koperasi simpan pinjam atau bank koperasi di seluruh dunia adalah karena kepemilikannya oleh nasabahnya, demokrasi satu orang satu suara, otonomi dalam tata kelola, pengembalian keuntungan kepada anggotanya (patronade refund) dan lain sebagainya. Selain keunggulan pentingnya, melibatkan anggota dalam pengawasan, pengambilan keputusan strategis koperasi dan kesempatan bagi setiap anggotanya untuk memiliki peluang yang setara untuk diangkat sebagai pengurus ataupun manajemen sesuai dengan kompetensinya.
Koperasi Simpan Pinjam pertama yang dikembangkan oleh
Frederick Welheim Raiffisien, walikota Flammesfeild, di Jerman pada tahun 1848
silam itu tetap dapat bertahan hingga
saat ini karena perbedaan nyata tersebut.
Koperasi Simpan Pinjam bukan hanya semata lembaga keuangan,
tapi menjadikan posisi orang sebagai yang utama atau supreme di atas kepentingan modal material. Uang atau modal
material penting, tapi hanya diletakkan sebagai alat bantu bukan sebagai
penentu keputusan.
Desain Arsitektur
Kelembagaan
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di tanah air, jika dibandingkan
dengan asset perbankkan komersial memang masih sangat kecil. Dari keseluruhan
assetnya hanya 101 trilyun rupiah (Kemenkop dan UKM, Desember 2021) atau hanya
1 persen dari total nilai asset perbankkan komersial sebesar 10.112 trilyun
rupiah (OJK, Desember 2021).
Salah satu alasan kenapa sektor keuangan koperasi menjadi perhatian khusus dalam proses penyusunan
Rancangan-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan karena akhir-akhir
ini banyak yang mengalami gagal bayar dan merugikan masyarakat.
Setidaknya, dari 8 koperasi bermasalah yang sedang ditangani
oleh Satuan Tugas (Satgas) Koperasi Bermasalah Kemenkop dan UKM saat ini telah
menyebabkan potensi kerugian uang anggotanya hingga 26 trilyun rupiah dan
ratusan ribu anggotanya (Kemenkop dan UKM, 2022).
Undang Undang Nomor 25 tentang Perkoperasian sebagai norma hukum positif yang masih berlaku memang sudah tidak memadai lagi untuk mengatur masalah koperasi di Indonesia dan tidak imperatif. Termasuk Undang-Undang Ciptakerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sekalipun tidak menunjukkan sebagai bangunan arsitektur kelembagaan koperasi yang mengarah ke perbaikan.
Sementara itu, mengenai sistem pengawasan eksternal koperasi
yang dibentuk oleh Kementerian Koperasi dan UKM juga dianggap tidak memadai.
Dalam prakteknya juga memang tidak efektif dikarenakan Kemenkop dan UKM sebagai lembaga pelaksana kebijakan program
"pembinaan" koperasi dianggap tidak mungkin mampu untuk mengawasi "binaan"nya
sendiri.
Koperasi Simpan Pinjam tidak mendapatkan fasilitas
penjaminan simpanan dari Lembaga Penjamin Simpan, penjaminan kredit, subsidi
bunga dan atau imbal jasa penjaminan, modal pernyertaan, dana penempatan,
bahkan talangan (ballout) ketika hadapi kondisi gagal bayar seperti yang terjadi pada korporasi bank komersial.
Tidak adanya Lembaga Penjamin Simpanan akhirnya menyebabkan
anggota merasakan ketidakamanan dalam menyimpan uangnya di koperasi. Pada akhirnya, koperasi membuat daya tarik berupa
tingkat bunga simpanan dan investasi lebih tinggi dari bank komersial. Hal mana
sebabkan munculnya potensi resiko gagal bayar lebih tinggi dari bank komersial.
Tidak adanya penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan tersebut
telah menaikkan biaya modal (cost of fund) dari Koperasi Simpan Pinjam. Hal ini
akhirnya menyebabkan bunga pinjaman juga menjadi relatif tinggi. KSP daya
saingnya menjadi rendah jika dibandingkan dengan bank sebagai lembaga saingan
mereka.
Secara keseluruhan, Koperasi Simpan Pinjam di Indonesia
selama ini memang dikeluarkan dari lintas bisnis keuangan modern yang memiliki
banyak fasilitas penting untuk memperkuat dan memitigasi resiko hadapi krisis
keuangan maupun ekonomi. Dimana fasilitas kebijakan tersebut secara tidak
langsung tentu menjadi pisau tajam korporat bank komersial membunuh Koperasi
Simpan Pinjam ketika mereka didiskriminasi.
Self-Regulated
Organization
Koperasi itu dapat disebut sebagai koperasi sesungguhnya
menurut norma yang berlaku secara internasional dan juga telah direkognisi
dalam Undang-Undang Perkoperasian itu tak hanya menyangkut masalah legal
formal. Lebih substansial dan mendasar lembaga tersebut layak disebut sebagai
koperasi apabila menjalankan norma-norma koperasi sendiri sebagai bagian
penting dari sistem selfregulated
organization.
Gerakan koperasi dunia, dalam konggresnya yang ke-100 pada
tahun 1995 di Manchester, Inggris telah ditetapkan International Cooperative Identity Statement (ICIS) sebagai denominator
sah satu satunya untuk sebuah koperasi itu layak disebut sebagai koperasi. Koperasi
itu sebagai organisasi mengakui nilai-nilai seperti demokrasi, otonomi,
persamaan, keadilan dan lain lain yang dioperasionalkan dalam prinsip prinsip
utama koperasi seperti; keanggotaan yang bebas sukarela dan terbuka, pengawasan
demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kebebasan,
pendidikan dan informasi, kerjasama antar koperasi dan kepedulian terhadap
komunitas dan lingkunganya.
Dalam praktek perkoperasian di Indonesia, banyak Koperasi Simpan Pinjam berbadan hukum koperasi namun beroperasi seperti halnya lembaga keuangan perbankkan, bahkan sebagai rentenir berbaju koperasi. Model koperasi seperti inilah yang merusak citra koperasi dan biasanya berpotensi bermasalah.
Pembelajaran
Keberadaan koperasi bermasalah tentu tidak dapat begitu saja
dijadikan justifikasi untuk pihak eksternal lakukan aksi polisional di luar
otoritas lembaga koperasi sendiri. Koperasi dapat berjalan dengan baik dan
dapat diandalkan karena nilai dan prinsipnya justru direkognisi dalam regulasi,
diberikan distingsi serta perlindungan yang di dalamnya menyangkut prinsip
otonomi dan mekanisme kerja demokrasinya.
Kita dapat belajar dari pengalaman kecil dari praktek
Koperasi Kredit (Credit Union) di Indonesia. Saat krisis tahun 1997 ternyata suku bunga bank
umum komersial yang puncaknya pernah mencapai 62 persen tidak menggoyahkan
anggotanya untuk melakukan aksi rush
dan memindahkan uang mereka ke bank komersial. Bahkan secara statistik volume
kekayaan dan juga pertambahan anggotanya mengalami lompatan yang cukup
signifikan (www.cucoindo.org).
Belajar dari praktik terbaik lembaga keuangan koperasi yang
beroperasi di negara lain dan tanah air, pemerintah hanya akan diperkenankan
untuk mengendalikan melalui jaringan supervisi federasinya atau sekunder
koperasi mereka yang didirikan oleh jaringan koperasi sendiri. Inilah makna
dari otonomi tersebut dan untuk seluruh resiko dan keputusan tersebut
ditentukan oleh koperasi sendiri.
Kemudian ketika aktifitas supervisi ditarik kedalam sistem
pengawasan umum perbankkan, itu hanya berlaku jika koperasi bersepakat secara
sengaja mendirikan bank untuk tujuan sebagai pengatur pintu likuiditas ke bank
sentral dan juga mencari sumber pendanaan
di pasar modal. Hal mana tetap ditetapkan peraturan eksepsi yang
intinya tetap menghormati prinsip prinsip otonomi dan demokrasi koperasi.
Koperasi Simpan Pinjam memang perlu pengawasan ketat, namun mesti menegakkan prinsip prinsip koperasi. Koperasi butuh lembaga
pengawasan yang berwibawa tidak saja mengikuti apa yang diterapkan
rezim Otoritas Jasa Keuangan, melainkan oleh lembaga pengawasan tersendiri.
Perlakuan diskriminatif terhadap koperasi yang juga merupakan
badan hukum ficta persona yang diakui
negara tersebut jelas akan bertentangan
dengan pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945. Kooptasi dan intervensi terhadap
otonomi dan demokrasi koperasi itu jelas
bertentangan dengan konstitusi kita yang menganut ssitem demokrasi
ekonomi.
Isi dari draft Rancangan Undang-Undang tersebut secara
keseluruhan dapat dikatakan tidak relevan dengan persoalan fundamental yang
sedang dihadapi koperasi di tanah air dan juga bagi pembangunan koperasi secara
keberlanjutan. Banyak pasal-pasal yang secara substansial justru melemahkan
koperasi secara struktural. Selain hal penting soal prosesnya yang ternyata
tidak melibatkan pelaku koperasi***(AM/LekoNTT)
*Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)
0 Response to "Rancangan Undang-Undang yang Mengkooptasi Demokrasi Koperasi "
Posting Komentar