Oleh: Suroto*
Pekerja rumah tangga sementara melakukan tugas hariannya/Deutsche Welle Indonesia/AM/Desember 2022 |
Ini adalah cerita tentang seorang Ibu
dengan anak enam. Anak paling besar Sekolah Dasar kelas 5, baru melahirkan dengan suami
terkapar terkena stroke di tempat tidur dan bekerja sebagai pembantu dengan
gaji Rp250.000 ibu per bulan. Ini adalah kisah hidupku sendiri.
Ya, ini adalah kisah hidupku. Aku Dilah. Nama panjangku Dilah Ratnaningsih. Umurku Dua Puluh Tujuh tahun. Aku bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.
Sebagai Pekerja Rumah Tangga, sehari-hari aku mengerjakan
pekerjaan rumah tangga majikanku seperti
mencuci pakaian, menyeterika, memasak, mengepel, menyapu, membersihkan jendela, pintu, langit-langit,
halaman dan pekerjaan rutin rumah tangga lainnya.
Aku mulai bekerja pagi sejak jam Enam pagi sampai pulang jam Empat sore. Sebelum berangkat kerja, aku pagi sekali sudah bangun
jam Empat pagi. Memasak untuk anak-anak dan suamiku. lalu, bersih-bersih rumah
seperlunya.
Selain itu, aku mendapatkan tambahan
penghasilan dengan menawarkan jasa mencuci pakaian dengan bayaran sistem "pocokan" ke tetangga tetangga perumahan majikan ku.
Sistemnya, sekali mencuci dengan tumpukan cucian segunung bayaran Rp15.000. Aku mengerjakan dengan membawanya pulang dan kukerjakan malam hari setelah selesaikan pekerjaan rumah.
Selain penghasilan rutin Rp250.000 dari majikan. Aku mendapatkan tambahan uang sekitar Rp300.000 sebulannya dari "pocokan". Kadang ada saja yang baik dengan memberi tambahan bayaran sedikit. Jadi kurang lebih Rp500.000 hingga Rp700.000 pendapatanku sebulan.
Menjadi pekerja di rumah orang sesungguhnya sangat berat. Aku tak menginginkanya sama sekali. Kalau ada pekerjaan yang lebih
baik tentu aku akan memilih tidak menjadi pekerja rumah tangga. Apa daya, aku tak punya
ijasah sekolah.
Ini kisah rahasiaku, hal terberat dari pekerjaanku itu bukan pekerjaan yang menumpuk. Aku sangat kuat untuk mennuntaskannya. Apa yang membuatku seringkali tak kuat adalah perlakuan majikanku. Majikan perempuanku sering memakiku dengan seenaknya dengan menyebutku babi, anjing, bangsat jika merasa kecewa dengan pekerjaanku.
Ada satu hal yang sangat mengenaskan. Itu selalu
menggangu kejiwaanku. Aku akan berat melangkah setiap berangkat
kerja. Majikan laki-lakiku sering melakukan tindakan
pelecehan seksual terhadapku. Dia sering menggerayangi tubuhku. Kadangkala malahan menciumiku secara paksa bibir
dan buah dadaku.
Suamiku yang Aku Cintai Meski...
Aku tak punya keterampilan lain selain menjadi Pekerja Rumah Tangga. Suamiku hanya seorang lelaki lumpuh, Kini, ia terkapar parah di tempat tidur karena terkena stroke di rumah. Aku harus memilih pekerjaanku yang mirip sebagai neraka. Aku terpaksa harus menjalaninya. Hari berganti hari aku jalani demi satu hal: keluargaku.
Sebelum terkena stroke sesungguhnya suamiku juga sudah tidak bisa kemana mana sejak lama. Dia memang mengalami
kelumpuhan akibat penyakit saraf sejak awal kami menikah. Entah penyakit apa, aku tak pernah tahu jelasnya karena tak pernah kami memeriksakanya ke
dokter. Kami tak punya cukup duit konsultasi ke dokter yang katanya mahal.
Umurn suamiku jauh sekali di atasku. Duda berumur Lima Puluh Enam tahun dan aku Empat Belas tahun ketika menikah dengannya. Tiga belas tahun silam. Aku menyayanginya. Aku tak peduli umurnya. Sebab, ia-lah laki-laki pertama yang datang pada orang tuaku dan memohon pada orang tuaku untuk menikahiku.
Dialah cinta pertamaku. Walaupun, ia sering menyiksaku. Membentak, memaki maki dan memukuliku, aku tetap menerimanya. Sebab dia itu kekasihku.
Dialah yang telah membebaskanku dari derita kesulitan ekonomi orang tuaku. Setidaknya meringankan beban orang tuaku dengan membawaku pergi dari rumah. Apa yang kuingat adalah belaian manisnya.
Dia memang menjadi sangat sensitif setelah mengalami kelumpuhan. Soal sekecil apapun kalau tak berkenan selalu akan memanggilku mendekat ke tempat duduknya. Menyiksa. Memukuliku dengan rotan. Demikian siksaan yang selalu aku dapatkan.
Bahkan saat membagi makanan pun, aku bisa saja dianggap salah. Menurut aturannya, dia musti didahulukan menerima jatah
makanan sebelum anak-anak.
Aneh. Aku sering melanggar aturannya karena rengekan anak-anak sering membuatku tak tahan. Aku lebih
baik merelakan diri menerima hukuman
cambuknya ketimbang hati perih mendengarkan tangis sesenggukan anak-anak.
Mahligai Rumah Tangga
Baru seminggu lalu, aku melahirkan. Aku dibantu oleh bidan bayi di kampungku. Kelompok Ibu Dasa Wisma di Rukun Tetangga memberi sumbangan uang Rp500.000 sebagai bantuan atas kelahiran anaku. Aku gunakan sebaik baiknya untuk membeli
segala kebutuhan bayiku.
Aku memilih melahirkan bayi laki-lakiku di
rumah. Ya, karena melahirkan di rumah sakit itu butuh biaya. Aku
khawatir tak ada yang mengurus anak-anak dan suamiku yang terkapar di tempat
tidur. Apalagi, anak-anak sekarang sedang musim pengambilan raport di
sekolahnya.
Benar saja, ternyata anak ku yang nomor tiga, di kelas Tiga Sekolah Dasar tak dapat mengambil raportnya. Kata gurunya karena belum bayar sumbangan sebesar Rp200.000. Dengan menahan perih karena lahiran, aku datang ke sekolah.
Aku memohon keringanan kepada guru wali kelas bagi anakku. Keringanan pembayaran dengan cara mencicilnya setiap bulan. Seperti cicilan "mendring" yang sering aku lakukan. Sebab, uang sejumlah Rp200.000 bagiku sangat berarti sekali.
Ternyata raport itu tak dapat aku
ambil. Kata pak guru itu di depanku "sudah banyak yang bilang tentang
penderitaan memiliki Enam orang anak. Suami terkapar di tempat tidur dan
hanya menjadi pembantu rumah tangga dengan pendapatan Rp250.000".
Aku marah. Hatiku mendongkol. Tak
tahan melihat anakku yang kelas Tiga menangis karena ingin mendapatkan daftar nilai belajarnya selama Enam bulan.
Aku hanya ingin melihat anakku tersenyum sejenak. Tertawa sumringah melihat raport hasil belajarnya seperti teman sekelasnya.
Aku tak ingin orang menaruh belas kasihan
padaku. Aku tak ingin disantuni. Aku tak butuh itu. Itu prinsip hidupku.
Perlakuan guru membuatku kecewa. Bukan karena tak dapat mengambil raport. Tapi, mengapa wali murid anakku itu tak menunjukkan sikap bijaknya. Kecewanya lagi, kenapa harus
keluar kalimat menyakitkan itu. Padahal dia bisa saja diam tanpa menyakiti perasaan orang lain.
Aku memang hidup menderita. Tetapi, aku
menerimanya dengan lapang dada. Aku selalu mengingat petuah almarhum ibuku
"nduk, urip iki mung sak dermo nglakoni, lakonono kanti ikhlas yo
nduk" artinya 'hidup ini hanya sekedar menjalani, jalanilah dengan ikhlas ya
nak.'
Begitulah petuah ibuku, tapi dalam gemuruh
hatiku, aku tak ingin melihat anakku menderita, aku tak ingin melihat satupun
anak-anakku kelak jadi Pekerja Rumah Tangga sepertiku. Begitu bunyi sujud doaku sebelum tidur
malam.***(AM/LekoNTT)
* Penulis adalah penggiat koperasi kerakyatan. Lebih suka menyebut dirinya sebagai rakyat jelata
Disclaimer: Ini adalah kisah nyata dari seorang Pekerja Rumah Tangga. Nama dalam kisah ini bukan aslinya. Tulisan ini sengaja penulis dedikasikan untuk memberikan kesadaran kepada kita semua tentang arti penting keberadaan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang sedang diperjuangkan oleh Jaringan Pembantu Rumah Tangga (Jala PRT) dan teman-teman masyarakat sipil lainya agar segera disahkan.
Tulisan
ini juga merupakan ajakan kepada seluruh masyarakat untuk memberikan perhatian
kepada Pekerja Rumah Tangga. Memberikan dukungan kepada mereka dalam bentuk
apapun. Menghentikan semua kisah derita mereka.
Tulisan ini juga merupakan ajakan kepada
masyarakat untuk tidak memilih partai dan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Calon Presiden, Gubernur serta Bupati atau Walikota yang tidak menunjukkan
dukungan kepada pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga dan membela nasib mereka.
0 Response to "Namaku Dilah Seorang Pekerja Rumah Tangga"
Posting Komentar