Oleh: Rely F. Ire*
Ibu dan anak saling mengekspresikan kasih sayang di bawah mentari/Shutterstock/AM/Desember 2022 |
22 Desember selalu kita peringati sebagai Hari Ibu. Pada hari ini
biasanya kita melihat berbagai ucapan selamat di media sosial kepada para ibu
dengan kata-kata indah dan menyentuh. Anak-anak memberikan bunga, atau kado
istimewa kepada ibunya. Seringkali para ibu dibebastugaskan dari beban
kesehariannya sebagai bentuk penghormatan dari anggota rumah yang lain. Ada
juga lomba-lomba bernuansa perempuan seperti lomba masak dan lomba
merias.
Dengan kata lain, peringatan hari ibu dimaknai sebagai momentum
untuk merefleksikan jasa seorang Ibu. Kesempatan bagi anak-anak menunjukan
bakti dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para ibu yang telah memberikan
364 harinya bagi keluarga. Singkatnya, peringatan ini menjadi hari spesial
untuk menghargai sisi keibuan para ibu dan perannya dalam ranah domestik.
Meski selalu diperingati setiap tahun, namun pernahkah kita bertanya. Apakah memang seperti itu makna Hari Ibu yang sesungguhnya? Apakah memang hanya sebagai seremoni sentimentil belaka? Ataukah ada makna lain di balik penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu ini? Untuk mengetahuinya, kita harus kembali membuka lembaran sejarah, awal mula ketika Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember tersebut menjadi Hari Ibu. Mari menyimak!
Sejarah Peringatan Hari Ibu
Peringatan hari ibu tidak lepas dari pergerakan perjuangan para perempuan yang melakukan kongres Perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, tepatnya di Gedung Dalem Joyodipuro milik Raden Tumenggung Joyodipuro. Pada saat itu para pejuang perempuan Indonesia yang berasal dari organisasi-organisasi perempuan terutama dari Jawa dan Sumatera seperti Soekonto dari Wanita Oetomo, Nyai Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa, Nona Soeyatin dari Putri Indonesia berkumpul mengadakan kongres.
Semangat mereka ini terinspirasi dari momen Sumpah Pemuda yang
mempersatukan para pemuda seluruh Nusantara dalam semangat yang sama demi
kemerdekaan Indonesia. Para perempuan ini pun merasa terpanggil untuk bersatu,
bahu membahu bersama kaum lelaki memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun baru pada saat itu terjadi Kongres Perempuan yang
pertama. Bukan berarti bahwa perempuan Indonesia baru memulai perjuangan mereka
pada saat itu. Sjak awal penjajahan kolonial, sudah banyak perempuan ikut
memperjuangkan kemerdekaan, beberapa orang sebagai contohnya: Cut Nyak Dien,
Cut Meutiah, R.A Kartini, Dewi Sartika, Kristina Martha Tiahahu dan Fransisca
Fanggidae.
Hanya saja, pada saat itu perjuangan mereka masih bersifat
kedaerahan sehingga memberikan efek kecil. Menyadari kekurangan ini, maka para
perempuan termotivasi untuk melakukan kongres perempuan se-Indonesia.
Tujuannya, menyatukan perjuangan mereka dalam satu semangat yang sama demi
kemerdekaan dan perbaikan nasib mereka.
Kongres Perempuan I ini dihadiri 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera seperti organisasi Wanita Muhammadiyah, Aisiyah, Jong Islameten, Bond Dames Afdeling, Wanita Katolik dan Meiyes Kering (Jong Java bagian Perempuan). Dalam kongres ini mereka membahas berbagai isu seperti persatuan perempuan Nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan, peranan perempuan dalam pembangunan bangsa, perdagangan anak dan perempuan, perbaikan gizi, kesehatan ibu dan balita, dan pernikahan usia dini.
Hasil dari kongres yakni; terbentuknya sebuah organisasi yang
bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), kesepakatan untuk
mengirimkan mosi kepada pemerintah Kolonial untuk menambah sekolah bagi
anak-anak perempuan, meminta pemerintah untuk wajib memberikan surat keterangan
pada waktu nikah, dan diadakannya peraturan untuk memberikan tunjangan kepada
para janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia. Kemudian, pada tahun 1929,
nama organisasi ini berubah menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia
(PPII).
Setelah Kongres Perempuan I sukses, diadakan lagi Kongres
Perempuan II yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1935. Kongres ini berhasil
membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia dan menetapkan fungsi perempuan
Indonesia sebagai ibu bangsa yang berkewajiban menumbuhkan rasa kebangsaan.
Dalam kongres ini terbentuk BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf). Peserta
sepakat untuk menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita perusahaan
batik di Lasem, Rembang.
Kongres Perempuan Indonesia III dilaksanakan di Bandung pada
tanggal 23-28 Juli 1938 yang dipimpin oleh Ny. Emma Puradireja. Selain
menghasilkan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Modern, pada saat ini
tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu. Penetapan ini dikukuhkan lagi
secara resmi pada tahun 1959 oleh pemerintah melalui Dekrit Presiden yang
dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, dengan No. 316 tahun 1959. Dengan adanya
Surat Keputusan ini Hari Ibu resmi menjadi hari nasional serta dirayakan sampai
saat ini.
Dalam sejarahnya peringatan hari ibu selalu berarti untuk
mengingat perjuangan kaum perempuan dalam upaya memperbaiki kualitas bangsa dan
generasi selanjutnya. Peringatannya selalu diisi dengan agenda menyuarakan
kepentingan perempuan. Seperti saat peringatan 25 tahun hari ibu
di Solo, dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai
Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak
perempuan.
Hari Ibu tahun 1950 dirayakan dengan mengadakan pawai
dan rapat yang menyuarakan kepentingan perempuan. Ada peristiwa bersejarah
pada tahun 1950, untuk pertama kalinya perempuan diangkat sebagai Menteri,
yakni Maria Ulfah yang menjadi Menteri Sosial pada kabinet Presiden Soekarno.
Mengembalikan Fitrah
Catatan-catatan historis di atas menunjukan kepada kita bahwa sesungguhnya kelahiran hari ibu dilatarbelakangi oleh semangat nasionalime dan jiwa patriotik yang tinggi dari para perempuan. Penetapannya oleh Presiden Soekarno untuk menghargai, mengenang dan merefleksikan perjuangan mereka sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia.
Namun, pada saat ini hari ibu
dimaknai dengan cara pandang yang dangkal. Peringatannya hanya dijadikan
sebagai momen untuk menghormati para ibu yang “telah melahirkan dan merawat
anaknya” dan peran domestik mereka saja.
Tanpa mengurangi pentingnya peran para perempuan dalam ranah
domestik, kita tentu saja sepakat bahwa hal ini berarti mengecilkan potensi
perempuan dan menafikan peran lain perempuan-perempuan yang berkiprah di luar
urusan domestik. Sehingga seolah-olah mereka tidak memiliki tempat terhormat
dalam peringatan hari ibu ini.
Kini, peran perempuan menjadi sangat kompleks. Perempuan mengambil
peran penting dalam mengisi kemerdekaan. Berbagai profesi yang dulunya
diindetikan dengan maskulinitas, sekarang mampu dilakukan oleh perempuan.
Perempuan tidak lagi hanya berkutat dalam urusan-urasan domestik
semata, semisal mengurus rumah dan keluarga. Perempuan kini dapat melakukan
banyak hal seperti menjadi ahli mesin, ahli bangunan, ahli informasi dan
teknologi, dokter, menteri bahkan menjadi presiden. Peran-peran tersebut dijalankan
oleh mereka dengan sangat baik.
Akan tetapi, logika peringatan hari ibu masa kini jadi terbalik. Penulis mencurigai, kenyataan ini dipengaruhi oleh kata penggunaan kata “Ibu” yang tersemat dalam peringatan tahunan. Kata ibu, menggiring pikiran kita hanya pada satu makna saja, seperti defenisi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut pengertian kamus, kata ‘ibu’ berarti : wanita yang telah melahirkan seorang anak, sebutan untuk wanita yang sudah bersuami.
Pemaknaan ini yang akhirnya membuat kita menjadi lebih
sentimentil sehingga melihat ibu hanya sebatas pada orang yang melahirkan dan
membesarkan seorang anaka manusia. Hanya menilikaspek kelemahlembutan saja.
Padahal, kata ibu di sini berarti juga adalah perempuan secara menyeluruh,
seperti yang diamanatkan pada saat Kongres Perempuan I.
Semestinya, peringatan hari ibu adalah milik semua
perempuan yang telah memberikan sumbangsih bagi bangsa dengan peran mereka yang
beragam. Perempuan telah menorehkan perjalanan panjang perjuangan
mereka mulai dari sebelum kemerdekaan dengan perjuangan secara langsung di
daerah-daerah, kemudian mengadakan kongres sebagai wadah untuk melibatkan diri
dalam gerakan perjuangan secara nasional.
Pada tahun 1973 Kowani (Kongres Wanita Indonesia), nama peralihan
dari Kongres Perempuan Indonesia, menjadi anggota penuh International
Council of Women (ICW) yang berperan sebagai dewan konsultatif
kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan hingga kini tetap
diteruskan dengan berbagai kiprah mereka dalam mengisi kemerdekaan. Oleh karena
itu, rasanya sangatlah tidak elok, jika perjuangan para perempuan
heroik ini dikaburkan dengan pemaknaan yang sempit tentang Hari Ibu.
Memaknai Hari Ibu dengan makna yang sempit tentu sah-sah saja. Lebih daripada itu, jika ingin memberikan penghormatan yang lebih mulia kepada para “Ibu” harusnya kembalikan makna hari ibu kepada fitrahnya. Sesuai dengan pemaknaan awal, yaitu untuk mengingat perjuangan para perempuan di masa perjuangan sebelum kemerdekaan. Demi menghargai kiprah perempuan secara menyeluruh dan menggelorakan lagi semangat juang para perempuan di era sekarang.
Selamat Hari Ibu bagi semua perempuan hebat Indonesia. Teruslah berkarya mengisi kemerdekaan dengan merawat generasi bangsa. Mari! jadikan hari ibu sebagai tonggak kebangkitan perempuan Indonesia agar dunia tahu bahwa perempuan Indonesia adalah perempuan-perempuan tangguh yang dapat memainkan berbagai peran tanpa harus meninggalkan kodratnya sebagai seorang perempuan. Dirgahayu Perempuan Indonesia! (AM/LekoNTT
*Penulis adalah seorang pekerja seni: melatih paduan suara dan mendampingi sanggar anak.
Menyentuh 😇
BalasHapus