Oleh: Ardy Milik*
Sebuah sumur warga di Kecamatan Hawu Mehara, sumur ini dirawat bersama dan masih bertahan meski musim kemarau/AM/September 2022. |
Memikul jerigen atau ember berisi air bersih menggunakan pelepah lontar jadi aktivitas harian anak-anak di Desa Tanajawa, Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua. Seolah menjadi kewajiban, setiap pulang sekolah. Setelah berganti seragam lalu makan siang. Istirahat sejenak. Sembari bernyanyi kecil, bergegas menuju sumber air dengan jarak antara satu sampai tiga kilometer jauhnya.
“Sumber air yang setiap harinya saya pi (pergi:red) timba di desa Pedarro yang sangat jauh dari rumah saya. Saya butuh waktu dua sampai tiga jam untuk satu kali pikul air. Jaraknya sekitar satu kilometer lebih,” ungkap Wihelmina lugas ketika ditanya berapa jarak rumah dari tempat mengambil air bersih seperti sumur dan mata air.
Tanah Sabu Raijua dikenal sebagai negeri para dewa atau Rai hawu. Demikian masyarakat asli Sabu menyebutnya. Kontur utama kabupaten ini adalah kombinasi antara: hamparan persawahan di pinggiran kota Seba, bebukitan, sabana luas, penampangan dataran yang rata dan iklim kering ekstrim.
Sepanjang perjalanan menyusuri Sabu Raijua mata akan disuguhi barisan pohon lontar yang menjulang-lautan biru membentang. Terapit oleh Samudera Hindia dan Laut Sawu. Memiliki dua pulau berpenghuni: Pulau Sabu dan Raijua. Dua pulau tak berpenghuni: Pulau Dana dan Wadu Mea.
Secara klimatologi, curah hujan tertinggi di Kabupaten Sabu Raijua per bulan Desember sebanyak 517, 8 milimeter. Curah hujan terendah pada bulan Juli dan Agustus yaitu 0 milimeter dengan total hari hujan sebanyak 100 hari. Artinya sepanjang 12 bulan, Sabu Raijua hanya memiliki sekitar tiga bulan musim penghujan.
Bisa terbayangkan, sembilan bulan lainnya tanpa hujan. Bagaimana bisa hidup tanpa air, jika air permukaan tak mampu bertahan lama sebab penguapannya tinggi. Sumur buatan hanya tahan selama musim penghujan. Mata air alami hampir kering saat puncak kemarau. Wadah tangkapan air seperti embung dan bendungan jadi tempat minum ternak. Air bawah tanah hanya dimiliki oleh yang punya uang. Bisnis jual beli air menjamur.
Susah Air-Narasi dari Tanajawa
Menjalani hidup di lingkungan yang keras adalah kuk yang sehari-hari dipikul oleh kedua remaja Desa Tanajawa: Wihelmina Lomi dan Melince Lodo. Sebagai peserta didik sekolah menengah atas, seharusnya rutinitas hariannya adalah belajar dan menyelesaikan tugas dari guru.
Anak-anak Nusa Lontar ini telah terbiasa ketika pulang sekolah bergegas membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Bagi Melince membantu orang tua adalah tanggungjawabnya sebagai anak.
“Saya pergi mengambil air di rumah tanpa suruhan orang tua karena itu tanggungjawab saya sebagai anak di dalam rumah harus membantu orang tua. Kami berdua. Saya dan adik sadar dengan sendirinya harus pi (pergi:red) ambil air. Karena kalau tidak pi ambil air maka air di rumah tidak ada.”
Sembari tersenyum Melince mengisahkan kehidupan hariannya. Sepulang sekolah sekitar pukul 01.30 WITA, Ia biasanya mengambil air bersih dari desa-desa tetangga Tanajawa seperti Desa Pedarro dan Desa Molie. Sumber air yang sering dituju berada di desa Pedarro. Para warga mengambil air dari sumur yang diperuntukan bagi khalayak umum. Sumur bersama dengan pengguna yang banyak mengharuskan Melince untuk mengantri bila antriannya panjang. Debit air sumur pun sering turun bila menjelang musim kemarau. Saat puncak musim kemarau volume airnya menurun drastis.
Kenyataan memang tak semudah percakapan di ruang pendingin. Melince tak patah arang ia akan mencari sumber air ke Molie. Desa lainnya yang punya sumber air cukup. Dengan berpindah tempat untuk menimba air bersih tentu waktu dan jarak pun akan bertambah.
Mengenai antrian ambil air Melince mengambarkan “tergantung dari orang yang mengantri kalau orangnya sedikit berarti waktunya sebentar, ya cepat. Kalau orangnya banyak berarti membutuhkan waktu yang lama,” tegas Melince.
Menurut Melince, sumur galian di dusunnya memang ada enam buah. Ada pula satu embung. Hanya saja, curah hujan yang sedikit mempengaruhi debit air yang tersedia sehingga sumur hanya digunakan musiman. Meski kedalaman sumur mencapai dua belas meter, airnya tidak akan bertahan untuk digunakan sepanjang musim.
Saat musim kemarau, warga desa yang punya penghasilan rerata sebulan Rp500.000 harus memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membeli dari pengusaha air tangki seharga Rp250.000-Rp350.000 per 5000 liter. Harga air tangki tergantung dari mana air diambil oleh pengusaha tangki air. Bila sumber airnya dari Sabu Barat maka harga jualnya di Tanajawa akan lebih mahal. Jika air diambil dari desa tetangga seperti Desa Lobohede atau Molie maka harganya lebih murah.
Kisah Melince tidak berbeda jauh dari teman sebayanya Wihelmina. Keluarga Wihelmina seperti juga Melince tidak punya sumur galian di rumah. Demi memenuhi kebutuhan air bersih ia harus mencarinya ke desa tetangga pula. Jarak tempuh yang jauh menguras tenaga juga waktu. Kesempatan untuk belajar, mengerjakan tugas atau sekedar bercengkrama dengan teman sebaya pun hampir tidak ada. Mereka dituntut untuk bergegas menjalankan keharusan memenuhi salah satu kebutuhan pokok di rumah.
Keduanya punya harapan yang sama pada pemerintah agar mampu menghadirkan air dari rumah ke rumah. “Semoga ke depannya kami di desa Tanajawa dimudahkan dalam mencari air bersih. Kami tidak butuh waktu lama lagi pergi ambil air, tunggu air lagi. Pulang sekolah tidak ada waktu istirahat,” harap Wihelmina. Harapan senada keluar dari mulut Wihelmina, ia menegaskan dengan pemenuhan air bersih yang makin mudah, masyarakat dapat mengambil air di desanya sendiri tanpa harus mencari ke desa-desa lain.
Sejauhmana Negara Bergerak?
Penjabat Kepala Desa Tanajawa Ribka Lai Riwu menuturkan bahwa dalam rancangan alokasi Dana Desa tahun 2022 tidak ada prioritas penganggaran item air dan sanitasi, namun ada skema bantuan yang diperuntukan bagi kelompok balita, ibu hamil, lansia dan warga desa yang jauh dari jangkauan mata air.
Ia mengakui belum ada pendanaan secara khusus klaster air dan sanitasi untuk remaja dalam rancangan dana desa. Janjinya, dalam rencana Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun tahun 2023 nanti akan dianggarkan dana air dan sanitasi bagi remaja sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak terkait.
“Kita tidak alokasikan Dana Desa untuk item sanitasi dan air bersih pada tahun 2022, tetapi ada bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah-Sabu Raijua. Bantuan itu kita prioritaskan terutama untuk kelompok: bayi balita, ibu hamil dan memang warga yang jauh dari jangkauan mata air,” jelas Ribka pada redaksi November 2022. Ribka baru saja ditugaskan sebagai penjabat Kepala Desa pada Mei 2022.
Penjelasan berbeda dengan remaja Tanajawa dikemukakan penjabat desa, Ribka menerangkan bahwa Desa Tanajawa punya ketersediaan air bawah tanah yang cukup pada tahun 2022. Hanya ada beberapa wilayah saja atau dusun yang penduduknya jauh dari sumber mata air terutama di Dusun Satu. Dalam kepengurusan desa sebelumnya, krisis air di Tanajawa, diatasi dengan menyediakan tandon air per Rukun Tetangga. Sumber modalnya dari dana desa.
Ribka menjelaskan saat waktu luang anak perempuan mencari mata air yang bisa mereka gunakan utuk mandi dan cuci. “Kalau ada perempuan yang sementara datang bulan hingga membutuhkan banyak air, mereka tidak menunggu di tempat saja tetapi berupaya mencari sumber air,” jelas Ribka.
Ketersediaan air pada musim kemarau memang tergantung pada curah hujan aku Ribka. Pada musim kemarau beberapa tahun lalu, sumber air itu semua rata-rata kering. Sejak ada curah hujan yang baik, sumber air di desa sudah lumayan. “Ada sekitar lima sampai enam embung. Ada satu embung yang baru dibangun menggunakan dana desa tahun 2022.
Volume airnya baru sekitar setengah embung,” beber Ribka menambahkan penjelasannya. Sejauh ini embung yang dibangun hanya digunakan untuk mandi, bercocok tanam dan tempat minum ternak. Embung menjadi tempat minuman ternak karena kurangnya perawatan dan tiadanya pagar yang membatasi aktivitas manusia dan ternak peliharaan.
Intervensi negara dalam pemenuhan hak atas air dan sanitasi bagi warganya digayomi oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bidang Sumber Daya Air Kabupaten Sabu Raijua per tahun 2022, masyarakat Sabu Raijua yang mendapatkan akses air lewat program Penyediaan Sarana Air Minum dan Sanitasi Pedesaan sebanyak 7.457 Kepala Keluarga.
Sesuai uraian penjabat Kepala Desa Tanajawa untuk pemenuhan akses air, pada tahun ini ada salah satu instansi yang melakukan pengukuran debit air di wilayah desanya. Apabila volume air pada titik yang direncanakan punya kapasitas besar, rencananya akan dibangun instalasi perpipaan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang berjumlah 1.516 Kepala Keluarga per tahun 2016.
Sementara menurut hasil perhitungan indeks bahaya kekeringan, Badan Resiko Penangulangan Bencana Kabupaten Sabu Raijua tahun 2019 menunjukkan bahwa lahan yang terpapar bahaya kekeringan di desa Tanajawa mencapai 576 hektar are dari luas wilayah 7,67 kilometer persegi.
Peranan Masyarakat Sipil
United Nations International Children's Emergency Fund atau UNICEF merupakan lembaga yang salah satu fokus isunya pada pemenuhan hak atas air dan sanitasi pada anak, menjelaskan pihaknya mendukung pemerintah Indonesia untuk mempercepat akses ke pasokan air, sanitasi, dan kebersihan yang dikelola dengan aman.
“Pada aras nasional, upaya dilakukan dengan melakukan advokasi tingkat tinggi dan kemauan politik bersama. Menyelaraskan kebijakan dan program Water, Sanitation and Hygiene (WASH) atau Air, Sanitasi dan Higienisitas, dengan kenyataan faktual serta memastikan bahwa kebijakan didasarkan pada informasi dan data terbaru” jelas UNICEF sebagaimana dilansir redaksi dari laman website resminya pada 18 November 2022.
Kondisi Air, Sanitasi dan Higienisitas di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengalami kemajuan. Kendalanya pada akses sanitasi dan higenisitas. Data Badan Pusat Statistik per tahun 2022 18, 7 persen warga Nusa Tenggara Timur belum memiliki akses ke air minum yang layak. Sesuai data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per 21 Januari 2022 menjabarkan baru empat kabupaten (Alor, Kota Kupang, Manggarai dan Flores Timur) yang telah bebas dari perilaku Buang Air Besar Sembarangan. Tantangannya, masih ada 427,500 jiwa yang berperilaku buang air besar sembarangan.
Dukungan mengentaskan problem hak anak dan masyarakat datang juga dari kerjasama antara UNICEF dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Nusa Tenggara Timur. Melalui program Komunikasi Resiko dan Pelibatan Masyarakat dan Anak, kedua lembaga tersebut memfasilitasi para jurnalis di Nusa Tenggara Timur untuk mengarusutamakan pemberitaan yang ramah anak di media.
Selain itu, dalam mendukung upaya pengentasan persoalan air dan sanitasi di Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan PKBI, menggalang dukungan dari media untuk meliput praktik-praktik sanitasi dan air yang berkelanjutan serta melihat persoalan krisis air yang mendera anak dan perempuan untuk diangkat dalam pemberitaan agar dapat menjadi perhatian bersama.
Kemarau akan terus mampir membawa nestapa, setetes rinai hujan mungkin akan melepaskan dahaga. Mencermati angka-angka berdasar hasil perhitungan statistik dan rencana pemerintah yang akan berjalan, kiranya dapat menjawab harapan salah dua anak dari Tanajawa. Mereka hanya bermimpi air bisa mengalir ke rumah, agar tidak lagi susah belajar dan bermain demi masa depannya yang cerah.***(AM/LekoNTT)
*Liputan Mendalam ini meraih Fellowship dari UNICEF dan PKBI Nusa Tenggara Timur tahun 2022.
0 Response to "Air Makin Jauh Hidup Kian Susah Kisah dari Tanajawa"
Posting Komentar