Ilustrasi Izin Menikah oleh hukumonline.com |
Leko NTT - Anda mungkin pernah melihat kejadian di mana sebuah perusahaan melarang sesama pekerjanya menikah. Atau, jika mereka menikah, salah satu dari mereka, baik yang laki-laki atau yang perempuan, harus diberhentikan.
Aturan itu sering menjadi sesuatu yang
diresahkan oleh kaum muda yang jam kerjanya padat. Mereka tidak punya waktu
yang banyak untuk berkencan dengan orang di luar jam kantor, dan seringkali
jatuh cinta justru pada teman sekantor. Jika mereka ingin menikah, salah satu
dari mereka harus kehilangan pekerjaan atau di-PHK. Dengan kata lain salah satu
dari mereka akan dipecat dari perusahaan.
Larangan untuk menikah dengan teman sejawat
ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1)
huruf f yang menyebutkan: “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”
Baca juga: Ini Hak-Hak Pekerja Perempuan, Kamu Harus Tahu
Dalam praktiknya, para pekerja seringkali menandatangani perjanjian untuk tidak menikah dengan teman sekantor.
Kabar baik yang jarang diketahui orang
adalah, pada tahun 2017, delapan orang pekerja yaitu Jhoni Boetja, Edy
Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad
Yunus, dan Yekti Kurniasih, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait
hal tersebut.
Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan
permohonan mereka dan menyatakan bahwa frasa "kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama" dihapus
karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Sehingga melalui Putusan MK 13/2017, Pasal 153 ayat (1) huruf
f UU Ketenagakerjaan direvisi menjadi berbunyi:
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan.”
Dengan demikian, perusahaan tidak boleh
lagi melarang sesama karyawannya untuk menikah melalui surat kontrak atau perjanjian apapun.
Melapor Ke Mana?
Meski begitu, praktik pelarangan pegawai
yang menikah ini masih saja sering ditemukan. Maka, jika
perusahaan masih melarang pernikahan dengan rekan kerja dan masih membuat
perjanjian kerja dengan isi dilarang menikah dengan rekan kantor, kemanakah
harus melapor?
Dilansir dari hukumonline.com, jawabannya adalah, tidak perlu ada upaya
hukum, karena perjanjian kerja tersebut dapat diabaikan, dan tidak memiliki
akibat hukum pada diri Anda dan calon pasangan Anda.
Namun jika di kemudian hari perusahaan
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Anda dan pasangan karena
alasan pernikahan antar sesama pekerja, berdasarkan Pasal 153 ayat (2) jo.
Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, PHK itu harus batal demi hukum dan perusahaan wajib
mempekerjakan kembali Anda atau pasangan Anda yang diberhentikan.
Baca juga: Nasib Wartawan, Siapa Peduli?
Jika anda mengalami hal tersebut, suarakan hak anda sebab telah dilindungi oleh hukum. Hubungilah lembaga hukum terdekat untuk berkonsultasi agar hak anda sebagai pekerja tidak dilanggar oleh perusahaan.
Sifat Putusan MK Deklaratoir dan Menganut Asas Erga Omnes
Menurut Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia periode 2003-2008) putusan MK langsung berlaku dan tidak perlu ada
eksekusi. Misalnya jika MK menyatakan suatu undang-undang (“UU”)
bertentangan dengan UUD 1945, maka UU itu secara otomatis tidak mempunyai
kekuatan mengikat. "Eksekusinya langsung. Suatu UU tidak mengikat
lagi bila sudah dikatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Otomatis
ketika diputus tidak mengikat lagi," ujar Jimly.
Hal serupa dikatakan Teras Narang, anggota komisi II DPR periode
1999-2004. Menurut Teras, putusan MK bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan.
Karena sifatnya yang hanya menyatakan, maka otomatis putusan MK langsung
berlaku dan tidak perlu dieksekusi. "Putusan
itu final dan binding. Sehingga untuk UU tidak perlu ada
pencabutan lagi. Tidak ada eksekusi, karena itu deklaratoir," kata
Teras. (SS/LekoNTT)
0 Response to "Bolehkah Perusahaan Melarang Sesama Pekerjanya Menikah? Ini Penjelasannya"
Posting Komentar