Oleh: Arif Bohbil Pailing*
LEKO NTT_Sejak ditetapkan pada tahun 2017, dalam lima tahun terakhir ini, sudah ada 21 gugatan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang ditolak Mahkamah Konstitusi. Jumlah itu belum termasuk penolakan gugatan terakhir dari Partai Keadilan Sejahtera, pada 29 September 2022.
Ambang batas pencalonan presiden mensyaratkan bahwa partai pengusung harus memiliki minimal 20 persen dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif sebelumnya. Jadi paling tidak, partai atau koalisi partai memiliki 115 kursi di DPR untuk bisa mengusung calon presidennya.
Ada sembilan partai yang berada di “Senayan” saat ini. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapatkan kursi paling banyak, yakni 128 kursi. Menyusul Partai Golkar (Golongan Karya) dengan 85 kursi, Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) 78 kursi, Partai Nasdem (Nasional Demokrat) 59 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58 kursi, Partai Demokrat 54 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 50 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 44 kursi, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 19 kursi.
Dengan ambang batas, partai-partai inilah yang akan menentukan pilihan siapa yang akan menjadi calon presiden dan wakil presiden ke depannya. Dengan berkoalisi atau seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang saat ini bisa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi.
Menurut beberapa survei tentang calon presiden untuk 2024, nama yang sering muncul antara lain, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Erick Tohir. Kemunculan nama-nama tersebut hanya sekadar popularitas dan elektabilitas semata. Bukan kompetensi apalagi kualitas.
Ada tiga sampai empat poros pengusung presiden yang mulai mengemuka saat ini. Pertama, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Konon Koalisi Indonesia Bersatu adalah kendaraan Joko Widodo untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Kedua, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa. Pada 14 Agustus lalu, Gerindra dan PKB telah menyepakati untuk berkoalisi dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024, dengan Partai Gerindra mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Poros ketiga terdiri dari Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat. Senin lalu, tanggal 3 Oktober, Partai Nasdem sudah mengumumkan calon presidennya, yaitu Anies Baswedan. PKS belum, tetapi Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah meresmikan dukungannya kepada Anies Baswedan. Sementara Partai Demokrat masih memastikan posisi Agus Harimurti Yudhoyono dalam pencalonan presiden 2024.
Poros terakhir, yakni PDIP
sendiri. Mereka masih belum mengumumkan siapa calonnya. Dari partai ini, nama
yang muncul antara lain: Ganjar Pranowo dan Puan Maharani, anak dari Megawati
Soekarnoputri. Ada survei yang menyebut mayoritas pemilih PDIP menginginkan
Puan Maharani maju sebagai calon presiden. Namun, survei dari Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC) justru menunjukkan hasil yang berbeda. Ia
menyatakan Puan Maharani akan melemahkan PDIP dalam pemilihan umum 2024.
Jika skenario menjadi tiga poros, PDIP akan bermain bersama KIB ataupun bersama koalisi Partai Gerindra.
Selain itu, jangan lupakan Jusuf Kalla dalam percaturan ini yang menjagokan Anies Basweden. Pengajar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sri Yunanto, dalam tulisannya menyebut bahwa Jusuf Kalla, melalui Komjenpol (Purn) Syarifudin, berusaha melobi Puan Maharani saat melaksanakan ibadah umroh pada akhir Mei lalu untuk dipasangkan dengan jagoannya itu.
Tetapi bagaimanapun partai ini bertarung-tiga partai mayoritas saat ini yakni, PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Golkar-pada akhirnya menurut peneliti Lembaga Survei Indoensia Denny JA, Adjie Alfaraby, mereka akan masih bersatu ke dalam pemerintahan. Seperti sebelumnya dalam pertarungan Pilpres 2019, yang kini hanya menyisakan dua partai oposisi, yaitu Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, sehingga di parlemen mayoritas adalah partai pendukung pemerintah.
Selain membentuk koalisi dan mengusung calon, muncul pula wacana yang dimainkan oleh calo politik tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Lagi, rumor penundaan pemilu dengan alasan pemulihan ekonomi dan kepastian berlangsungnya program kerja pemerintah saat ini.
Lantas sebuah insiatif yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil dan organisasi relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi) dalam pilpres 2019 membentuk Komite Patuh Konstitusi untuk membuat diskusi publik bertema “Indonesia 2024: Tinjauan Konstitusi dan Ekonomi-Politik”yang berlangsung di Beranda Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur pada tanggal 6 Oktober kemarin.
Diskusi ini dibuat untuk menegaskan bahwa Pemilu 2024 harus berjalan berdasarkan konstitusi (yang sudah ada), “dan tidak ugal-ugalan,” kata moderator saat membuka acara.
Kegiatan ini menjadi antitesis dari suara relawan presiden yang sebelumnya menggaungkan “Jokowi tiga periode”.
Hadir sebagai pembicara, Dian Permana, pengamat politik dari FFH (Founding Fathers House) Institute mengatakan bahwa kondisi demokrasi Indonesia belakangan ini mengalami kemerosotan. “Demokrasi Indonesia seperti berjalan di kaca yang retak, pilihannya hanya dua, jatuh atau tidak.”
Senada dengan itu, ahli hukum tata negara dari STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan kalau sekali saja pemilihan umum ditunda, akan meruntuhkan bangunan demokrasi. “Demokrasi itu salah satu cirinya adalah pemilu yang rutin dan tidak terganggu sama sekali.”
Sementara mengenai isu perpanjangan masa jabatan presiden, menurutnya, pasal 7 di Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “... dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”, intenisnya adalah membatasi naluri kekuasaan yang cenderung otoriter, “makanya muncul dua kali masa jabatan presiden,” kata Bivitri.
Kemudian pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan jika terjadi sesuatu kepada Presiden maka digantikan oleh Wakil Presiden. Kalau ditafsirkan secara sistematis, sebenarnya sudah membatasi pencalonan Jokowi jika mau menjadi Wakil Presiden.
Bagi Bivitri, hal mendasar yang harus diperbaiki dari sistem pemilu tak lain ialah presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Jika bukan itu, maka masalah yang dipersoalkan hanya bagian luarnya saja. “Saya kira ini terus-menerus digaungkan,” tegasnya.
Ia pun mengusulkan adanya sebuah perbaikan sistem politik yang datang dari warga. “Kita mesti ingat satu kata kunci yang penting adalah warga, warga dalam arti kita punya peran politik di negara ini,” terang Bivitri. Baginya, kesadaran itu bisa dibangun dengan pendidikan politik.(AM/LekoNTT)
*Alumnus Pantau Kelas Jurnalisme Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
0 Response to "Pemilu 2024 yang akan Begitu-gitu Saja bagi Demokrasi"
Posting Komentar