Lukisan pelabuhan Kupang oleh Charles Alexander Lesueur (1778-1846) |
Sejak berabad-abad yang lalu, kayu cendana dari Timor telah menjadi komoditas yang diperdagangkan secara internasional. India dan Cina merupakan pasar utama dari komoditas ini.
Kayu cendana merupakan rempah yang sangat penting bagi umat Hindu dan Budha, khususnya di Cina. Wewangian dari kayu cendana dipergunakan sebagai dupa dalam upacara keagamaan dan kematian. Selain itu, tepung cendana juga digunakan sebagai bedak pelabur cangkang untuk membedakan kasta Brahmana dengan kasta lainnya dalam umat Hindu.
Kayu cendana juga dimanfaatkan dalam pembuatan patung, bahan kerajinan, dan perkakas rumah tangga. Selain itu minyak cendana yang berbau wangi digunakan sebagai bahan pengobatan dan campuran minyak wangi.
Baca juga: Sejarah Gua Bitauni Bagian I: Cerita Rakyat Asal-Usul Nama Bitauni
Leonard Andaya, seorang profesor Sejarah Asia
Tenggara di Universitas Hawaii, dalam artikelnya “Eastern Indonesia: A study
of the intersection of global, regional and local networksin the ‘extended’
Indian ocean” menuliskan bahwa kayu cendana telah digunakan kira-kira sejak
tahun ±500 M. Dijelaskan bahwa kayu cendana digunakan sebagai obat untuk demam,
muntah, koma, serta sakit dada pada perempuan.
Para pendeta Budha di Cina membuat dupa
dari kayu cendana dengan nama “Tan Xiang” yang berarti “ketulusan aroma”. Lalu
di kalangan orang Jawa di Nusantara, kayu cendana digunakan dalam rebusan jamu
dan obat herbal. Sejak sebelum abad ke-16, para pedagang Cina sudah ada yang
datang langsung ke pulau Timor untuk membeli kayu cendana.
Pada akhir abad ke-16 perdagangan kayu
cendana nampak ramai oleh para pedagang Malaka, Portugis, dan Asia. Namun, pedagang-pedagang
Cina dari Malaka tetap memegang peranan utama dalam perdagangan ini. Keuntungan
dari perdagangan kayu cendana di Timor semakin meningkat pada abad ke-17,
diperkirakan dapat mencapai 150-200%.
Baca juga: Mengenal Pemburu Kepala Manusia dari Timor
Setelah muncul pengaruh VOC pada
pertengahan abad ke-17, kayu cendana dari Timor mulai dikirim ke Batavia yang diekspor
lagi ke pasar-pasar yang lebih besar hingga ke Eropa. Kemudian pada abad ke-18,
perdagangan komoditas ini sudah mulai dikuasai oleh VOC Belanda di beberapa
daerah Kupang dan sekitarnya.
I Gde Parimartha dalam bukunya Perdagangan
dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915, menuliskan bahwa VOC Belanda menerapkan
pajak 1/3 dari hasil tebangan kepada para penebang kayu cendana. Pada abad
ke-19 itu, perdagangan kayu cendana di Timor dan sekitarnya banyak dilakukan
oleh pedagang Cina yang tinggal di Kupang. Pada tahun 1820-an harga kayu
cendana perpikul adalah senilai 10-11 gulden. Pedagang Cina dapat menjualnya
kembali dengan harga 14-18 gulden per pikul.
Pada tahun-tahun berikutnya perdagangan
kayu cendana di daerah Timor fluktuatif.
Seperti pada awal tahun 1830 selama 3 tahun
berturut-turut ekspor komoditas ini menurun dari sebelumnya. Kemudian keadaan
kembali membaik pada tahun 1834, hingga tahun 1842-1844 permintaan akan kayu
cendana kembali menurun. Hal tersebut diperkirakan karena terjadi kekacauan di
Cina pada masa perang candu yang mengakibatkan kemacetan dalam perdagangan
komoditas ini. Namun, setahun kemudian keadaan kembali membaik dengan kosongnya
tempat-tempat penyimpanan kayu cendana yang awalnya penuh.
Baca juga: Hauteas, Kekuatan dan Pedoman Hidup Orang Dawan-Timor
Selain pengaruh yang datang dari luar tadi,
berkurangnya ekspor kayu cendana juga dipengaruhi oleh ketentuan pajak yang
dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda. Pada abad ke-19 di Pelabuhan Kupang,
pajak ekspor kayu cendana perpikul adalah senilai 3 gulden untuk kapal-kapal
yang berbendera Belanda, sedangkan untuk kapal-kapal asing dikenakan pajak
senilai 6 gulden setiap pikul.
Karena pajak yang dianggap berat oleh para
pedagang itulah, banyak dari mereka yang membeli kayu cendana di tempat atau
pelabuhan lain seperti Naikliu dan Amfoang yang pajak ekspornya tidak berat.
Oleh karena itu, kembali pada rentang tahun
1860-an hingga 1870, ekspor kayu cendana kembali mengalami penurunan setelah
sebelumnya dalam keadaan stabil. Ekspor komoditas ini pada tahun-tahun
berikutnya semakin menurun dan perdagangannya juga semakin melemah.
Sumber:
Sahaka, Fadliana. 2017. Menengok
Primadona Dagang Pelabuhan Kupang, 1850-1870. Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2.
I Gde Parimartha. 2002. Perdagangan dan
Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915. Jakarta: Djambatan.
Andaya, Leonard. 2011. “Eastern Indonesia:
A study of the intersection of global, regional and local networksin the
‘extended’ Indian ocean”, dalam Stefan C. A. Halikowski. Reinterpreting
Indian ocean worlds: Essays in honour of kirti N Chaudhuri. Newcastle:
Cambridge Scholars Publishing.
0 Response to "Begini Harga dan Pajak Kayu Cendana di Pelabuhan Kupang tahun 1800-an"
Posting Komentar