RD. Dominikus Atini, PR. Teladan hidup bagi banyak orang. (Foto: dokumentasi keluarga) |
Di akhir tahun 1990-an, saat hubungan Indonesia dan Timor Timur (sekarang Timor Leste) memanas, dua orang yang dicurigai sebagai mata-mata tentara perlawanan rakyat Timor Timur, ketahuan beroperasi di di dalam wilayah Indonesia, di dekat perbatan Indonesia dan Timor Timur.
Dua orang mata-mata ini dikejar-kejar oleh milisi pro-Indonesia yang
dipersenjatai. Untuk menambahkan konteks, di tahun-tahun itu, jika tertangkap,
mereka pasti dihilangkan. Tiga orang pekerja PBB yang dicurigai bekerja untuk
Timor Timur, dibakar hidup-hidup di lapangan umum Atambua. Apalagi mereka yang
dicurigai sebagai mata-mata. Tentu saja nyawa mereka sedang terancam.
Dua orang itu melarikan diri ke gereja. Milisi ramai-ramai datang ke
gereja. Pastor paroki mengenakan jubahnya dan keluar menemui orang-orang yang
marah.
“Jika kalian ingin menghukum mereka, hukumlah saya terlebih dahulu,”
katanya.
Baca juga: Hendrikus van Wissing, Misionaris Katolik yang diburu Pemerintahan Soekarno, Ditolak Pemimpin Biaranya, Terdampar di Timor dan Australia
Orang-orang Timor sangat menghormati pastor. Mereka pulang dan menunggu.
Memata-matai gereja.
Siang hari, si pastor mengenakan jubahnya kepada dua orang itu, dan
dengan mobil butut milik pastoran, tiga orang berjubah bergerak ke perbatasan
Timor-Timur. Di setiap pos yang dijaga tentara Indonesia, mereka melapor sebagai
sekelompok rohaniwan yang sedang bertugas.
Pastor itu bernama Rm. Dominikus Atini, Pr, atau yang akrab disapa Romoo Domi. Ia menyelundupkan kembali dua orang
malang yang hampir mati itu kembali ke Timor Timur.
Cerita di atas telah menjadi sejenis cerita rakyat, berkembang dengan
versi yang berbeda-beda. Sekitar tahun 2004, Romo Domi Atini pindah dari
paroki, menjadi pengajar di Seminari Menengah Lalian, tempat saya bersekolah.
Ia berkacamata, kharismatik, janggutnya panjang sampai ke dada. Kami menanyakan
kisah yang hampir menjadi mitos itu. Ia menceritakannya dengan menambahkan: Dua
orang malang itu datang sudah dalam keadaan berdarah. Saya keluar menemui milisi
yang marah: jubah saya penuh darah mereka.
Baca juga: Terbukti Melakukan Kejahatan Seksual, Mantan Pastor Richard Dasbach Dihukum 12 tahun Penjara
Romo Domi menjadi pembina kami. Ia mengajarkan banyak hal. Tetapi hanya
dalam waktu yang singkat. Sekitar setahun sesudah pindah ke sekolah itu, ia meninggal
dalam kecelakaan sepeda motor. Orang-orang yang dekat dengannya tumpah ke
sekolah kami, laki-laki perempuan-- ribuan orang, menangis berteriak dari jarak
500 meter. Bulu kuduk saya berdiri jika mengingat peristiwa itu. Begitu banyak
orang yang mencintainya, dan mereka adalah petani, orang-orang kecil,
kebanyakan datang tanpa alas kaki.
Saat itu saya bekerja untuk majalah sekolah, dan mewawancarai beberapa
pelayat yang datang. Mereka bercerita. Paroki mereka di dekat perbatasan,
sedikit jauh dari kota. Romo Domi mengenal mereka satu persatu. Orang per
orang. Jika ada yang tidak ke gereja, ia akan tahu. Ia akan datang mengecek
apakah kamu sakit. Ia membawa obat-obatan.
Seorang pastor yang pernah menjalankan praktik di paroki itu bercerita:
Romo Domi tidur di lantai, di atas tikar, dan hanya punya tiga kemeja. Saat
pindah ke seminari, ia membeli lagi dua potong baju batik untuk mengajar.
Baca juga: Korban Pelecehan Seksual oleh Uskup Belo Penerima Nobel Perdamaian Angkat Bicara.
Di seminari, ia menjadi pembina kami, sejenis wali kelas. Hal pertama
yang ia buat saat perkenalan adalah membagikan teks pidato Martin Luther King
Jr berjudul “I have a Dream”-- pidato panjang tentang pentingnya kebebasan dan
pengakhiran rasisme di Amerika. Ia meminta kami untuk menerjemahkannya—sampai
hari ini saya hafal separuh naskah itu.
Romo Domi mengajak kami menyuarakan kekerasan di sekolah—meminta kami
membuat petisi dan menuntut yayasan melakukan investigasi untuk mengakhiri
kekerasan. Di tahun itu, kakak kelas memukul adik kelas (menampar, menendang,
membanting ke lantai, dll) sudah menjadi sejenis budaya. Cerita-cerita
kesederhanaan, kebaikan, dan keteguhan hatinya, telah menjadi buah bibir.
Diceritakan dari mulut ke mulut.
Ia adalah sosok dan teladan hidup bagi umat awam maupun rohaniwan di keuskupan Atambua.
Penulis
Felix Nesi, berasal dari Timor Barat, Nusa
Tenggara Timur. Menulis novel, cerpen, puisi, esai, dan naskah drama.
Memenangkan Sayembara Novel DKJ 2018 dan Penghargaan Sastra Kemdikbudristek
2021. Awal tahun 2022 menjalani residensi penulis di International Writing
Program University of Iowa.
0 Response to "Dominikus Atini, Pastor Orang Kecil dari Perbatasan Indonesia-Timor Leste"
Posting Komentar