Oleh: Rika Krisdayana Hanadii*
Ilustrasi juru bahasa isyarat disabilitas tuli. (Pixabay).
LEKO NTT - Pemenuhan aksesibilitas sarana dan prasarana di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), faktanya berberat sebelah bagi anak-anak dengan disabilitas di Kota Kupang. Jika ada pemenuhan aksesibilitas bagi disabilitas pun persentasenya adalah 25% berbanding 100%.
Jika diamati, 65% infrastruktur bangunan gereja begitu tinggi dan bertangga, membuat disabilitas fisik sulit mengaksesnya. Selain itu, 90% gereja tidak menyiapkan juru bahasa isyarat bagi disabilitas Tuli, sehingga anak-anak Tuli sulit mengakses.
Memang ada braille tetapi itu tidak sepenuhnya membantu. Apalagi pada masa lockdown COVID-19 pada tahun 2020 dan 2021, ibadah dilakukan secara online, dan hanya satu Jemaat (=gereja) di Kota Kupang, yang menyiapkan juru bahasa isyarat (JBI) yaitu GMIT Jemaat Kaisarea BTN.
Saat berbagi cerita bersama D, seorang anak Tuli, ia menceritakan momentum saat diteguhkan menjadi anggota sidi di salah satu Jemaat GMIT. Saat diteguhkan, ia tidak mengucapkan janjinya sendiri, melainkan diwakili oleh Pemimpin Gereja karena tidak ada JBI yang disiapkan.
Sepenggal cerita dari D juga dialami beberapa kawan Tuli lainnya, yang mana mereka juga menceritakan hambatan ketidaktersediaan JBI di gereja. Akibatnya tidak bisa mengakses khotbah yang dibawakan oleh pemimpin agama.
Pengalaman-pengalaman itu pun terpantau di gereja, tempat pelayanan saya. Ada seorang anak Tuli remaja yang ke gereja untuk beribadah tetapi tidak memahami apapun. Nurani saya terpukul, karena tidak bisa berbuat apa-apa sebagai seorang pendatang baru.
Dari gambaran realitas di atas, maka tak heran jika disabilitas Tuli jarang ke gereja. Kalau pun ada, mereka pergi sebatas formalitas karena unsur liturgi dan khotbah tidak mampu mereka rasakan dan renungkan saat beribadah.
Padahal tujuan pembangunan rumah ibadah ialah dapat diakses oleh semua kalangan, bukan semata menunjukkan unsur estetika infrastruktur maupun liturginya. Melainkan perlu menghadirkan tujuan fungsionalnya, yaitu gereja hadir untuk menyentuh dan menguatkan iman umatnya melalui khotbah.
Menilik undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyangkut hak dalam keagamaan, salah satunya tertuang pada Pasal 80. Dinyatakan, "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendorong dan/atau membantu pengelola rumah ibadah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.”
Hal itu berarti, Pemerintah dan Pengelola rumah ibadah menjadi sokongan terpenting untuk mewujudkan pemenuhan hak setara secara inklusif bagi masyarakat disabilitas. Namun kenyataan di lapangan belum terealisasi secara menyeluruh.
Oleh karenanya, penting untuk disuarakan agar pembangunan rumah ibadah di atas tahun 2016, mesti memperhatikan kebutuhan keberagaman manusia. Tidak sebatas pembangunan tetapi perlu diperhatikan juga aksesibilitas sarana seperti juru bahasa isyarat, dan media gambar untuk memudahkan disabilitas Tuli.
Jika dikaji melalui doktrin (ajaran) teologi GMIT dalam panca pelayanan yang kelima, yaitu oikonomia (penatalayanan), maka gereja bertanggung jawab secara eksternal dan internal untuk menjadi rumah yang universal (menyeluruh) dan holistik (utuh) bagi seluruh anggota familia Dei (keluarga Allah). Dengannya, seluruh anggota pun dapat mengakses sarana dan prasarana tanpa adanya hambatan.
Konsep familia Dei merupakan relasi yang terbuka bagi setiap keberagaman manusia. Karena itu, setiap manusia harus berada di dalam relasi dengan manusia lainnya. Jika pribadi dengan disabilitas Tuli diputuskan relasinya dengan anggota familia Dei dalam gereja karena hambatan aksesibilitas, maka yang terjadi ialah disabilitas Tuli terisolasi dari kehidupan bergereja.
Berbicara relasi maka akan merujuk pada relasi Trinitas Allah (Ketritunggalan Allah), yaitu Bapa, Anak, dan Roh kudus. Dalam doktrin Trinitas, kata perichoresis digunakan untuk memperkenalkan formula baru terhadap aspek relasionitas persekutuan Trinitas Allah yang saling aktif berkarya tanpa meniadakan.
Oleh karena itu, gereja mesti menciptakan ruang yang akses sebagaimana makna konsep perikoresis. Ruang tersebut menuntut manusia untuk ikut berpartisipasi dalam persekutuan bersama Allah maupun bersama seluruh ciptaan lainnya, yang hadir, aktif, dan memenuhi akses dalam membangun relasi persekutuan dalam gereja.
Menindaklanjuti peraturan pemerintah dan doktrin teologi GMIT maka jelas didapati, bahwa ada data tertulis, keberpihakkan pemerintah dan gereja untuk memperhatikan kebutuhan disabilitas. Oleh karena itu, tugas gereja hari ini, perlu merealisasikan, agar pemenuhan aksesibilitas dapat dirasakan oleh keberagaman manusia tanpa ada hambatan demi menghadirkan konsep familia Dei dalam gereja.***
*Penulis: Peserta Magang Yayasan Keadilan Perdamaian (YKP) Indonesia.
Editor: Herman Efriyanto Tanouf.
Semoga seluruh gereja di NTT sudah akses JBI
BalasHapus