Kota Kefamnanu dari foto udara. (tangkapan layar akun YouTube Bebeluck Channel).
LEKO NTT – Kefamenanu, demikian nama ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dalam bahasa tulis. Pada 22 September 2022, kota kecil di Timor Barat ini merayakan ulang tahun yang ke-100 (satu abad).
Memasuki usia satu abad, artinya kota ini lahir pada 22 September 1922. Kota yang menjadi ibu bagi masyarakat dari tiga swapraja (dahulu) yaitu Biboki, Insana, dan Miomaffo (Biinmaffo).
Sebelum Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU adalah Noetoko. Kabupaten TTU sendiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Onderafdeeling Noord Midden Timor yang dibentuk pada tahun 1915.
Jauh sebelum Noetoko, pusat pemerintahan Hindia Belanda berada di Oelpunum, dekat Eban. Sedangkan Noetoko sendiri, baru menjadi pusat pemerintahan sejak 1915 hingga 1921.
Sebelum Noetoko dipilih sebagai pusat pemerintahan, menurut sejarahwan Yohanes Sanak dalam siaran di RRI Atambua, Belanda melakukan survei pada tahun 1909 hingga 1911 untuk membuat pemetaan.
Dalam survei itu, dihasilkan sebuah peta yang diterbitkan pada Juni 1911. Peta itu meliputi wilayah Biboki, Insana, dan Miomaffo. Empat tahun kemudian atau tepatnya pada 1915, dibentuklah Onderafdeeling Noord Midden Timor.
Sebelum lanjut, sebagai informasi, artikel ini hanya sedikit menyentil sejarah Kota Kefamenanu sebagai simpulan. Mari lanjut.
Pemindahan Ibu Kota dari Noetoko ke Kefamenanu
Pada 1921, pusat pemerintahan Onderafdeeling Noord Midden Timor dipindahkan ke Kefamenanu oleh kontrolir (Controleur) Paddemors bersama petinggi Belanda lainnya.
Nah, mengapa ibu kota harus dipindahkan dari Noetoko ke Kefamenanu? Terkait alasan pemindahan itu, Yohanes Sanak menyebut empat aspek, sebagai berikut.
Pertama, aspek tata ruang. Secara topografis, wilayah Noeltoko ada diapit oleh beberapa gunung, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sebuah kota yang baik.
Kedua, aspek geopolitik. Noetoko terlalu dekat dengan Fatumnutu (markasnya Sonbai, musuh bebuyutan Belanda).
Ketiga, aspek geostrategis. Untuk memudahkan control pemerintahan Belanda, maka dicarilah titik tengah, Kefamenanu jadi pilihan.
Keempat, aspek ekonomi. Noetoko merupakan salah satu pusat tambang emas. Dengannya, keberadaan kota di wilayah tambang emas, tidaklah memungkinkan.
Sebagai simpulan, Kefamenanu sendiri, pada awalnya bukan merupakan nama sebuah tempat ataupun nama kampung tertentu, apalagi nama kota atau ibu kota.
Beberapa sumber tertulis menyebut, sebelum resmi disebut Kefamenanu, ketika pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan, dilakukan survei di beberapa lokasi.
Survei itu dilakukan oleh Letnan Skatel Olifiet dan beberapa warga pribumi, Atoin Meto (Orang Timor – Dawan). Adapun rute survei sebagai berikut.
Berangkat dari Noetoko, Letnan Skatel Olifiet bersama rombongan mampir ke Nilulat, Oefui, Ukimnanu, Fatuknapa, dan Noelekat. Penjelajahan pun dilanjutkan ke Oeapot, Fautsuba, Nunpene, Matmanas, lalu berakhir di Tele (dekat Oemenu dan Nuntaen).
Dua tempat terakhir yaitu Matmanas dan Tele menjadi pilihan bagi rombongan untuk dijadikan pusat pemerintahan. Mereka lalu menginformasikan pilihan itu kepada pemerintah Hindia Belanda di Noetoko.
Awalnya, Matmanas (dekat Pasar Baru Kefamenanu) dijadikan ibu kota (pusat pemerintahan). Akibat longsor dan banjir di daerah tersebut, pemerintah Hindia Belanda memindahkan lagi ibu kota ke Tele sekaligus pilihan terakhir.
Ada satu momen yang kemudian menjadi cikal bakal nama Kefamenanu. Beberapa sumber menulis, ketika rombongan tiba di Tele, seorang tentara Belanda ingin mencari sumber air terdekat.
Ia menjumpai salah satu Atoin Meto, sumber-sumber menyebut, orang tersebut bernama Mnune Bani. Yohanes Sanak juga menyebut nama yang sama.
“Di sekitar sini ada sumber mata air kah?” tanya tentara Belanda itu dalam Bahasa Melayu sambil menunjuk ke arah jurang (kali Oemenu).
Mnune Bani yang saat itu sedang membersihkan ladangnya, lalu memberikan isyarat. Mengingat ia tidak terlalu paham dengan Bahasa Melayu.
“Kefamnanu, Tuan. Nane kefamnanu,” kata Mnune Bani dalam Uab Meto (Bahasa Dawan) yang jika diindonesiakan, jawabannya seperti ini: “Jurang dalam, Tuan. Itu jurang dalam.”
Tentara Belanda itu tertarik, sebab ada air terjun kecil dan kolam yang cukup luas di dalam jurang – kali Oemenu tersebut.
Sejak saat itu, Kefamnanu menjadi pilihan nama bagi ibu kota Kabupaten TTU hingga saat ini. Mnune Bani sendiri, kata Yohanes Sanak, diangkat menjadi temukung di Nuntae.
Kefamnanu rupanya asyik di telinga orang Belanda. Kefamnanu, nama yang indah untuk didengar. Kefamnanu, nama yang tepat untuk ditulis dan dikenang.
Kefamenanu atau Kefamnanu?
Mengapa hingga saat ini dalam bahasa tulis bahkan hal-hal terkait administratif, Kefamnanu ditulis Kefamenanu? Apakah itu kesalahan teknis? Siapa yang pertama memulai? Ataukah teknis menulisnya memang demikian?
Mari lanjut bertanya, apakah para pendahulu di TTU yang telah mewarisi ‘kesalahan’ penulisan itu? Mengapa saya katakan ‘kesalahan menulis’? Mari, kita ulik lagi.
Kefamnanu yang diucapkan Mnune Bani, dalam Uab Meto berasal dari dua kata. Kefa yang berarti jurang, dan mnanu yang berarti panjang, dalam, dan tinggi. Dalam kaitannya dengan jurang, maka Kefamnanu berarti jurang yang dalam.
Kita bertanya lagi ya, mengapa harus ditambahkan huruf ‘e’ setelah huruf ‘m’ pada kata Kefamnanu dan jadinya Kefamenanu? Jika ini dilakukan secara sadar, maka sungguh ‘terlalu’.
Jika alasannya masalah tata bahasa – aturan penulisan, maka masih terbilang keliru. Oh, ditulis Kefamenanu, tapi dibaca Kefamnanu. Anggapan semacam ini sebaiknya dihilangkan. Kefamnanu itu kata dalam Uab Meto, bukan Bahasa Indonesia.
Lanjut lagi, sambil teguk kopi. Yang belum bikin, bersegeralah. Tulisan ini tidak akan enak dibaca, kalau belum ada kopi yang dinikmati. Teh juga boleh, atau sopi, tapi jangan sampai mabuk e. Ingat pesan Tua Kolo, mabuk bodok, jangan minum. Baiklah, kita lanjut.
Untuk membuat perbandingan sekaligus penegasan, saya mengkonfirmasi seorang putra asli TTU asal Biboki yang juga punya fokus yang sama pada penulisan Kefamenanu.
Dofry Bone, lebih dikenal dengan nama Unu D. Bone sebagaimana tertulis pada akun Facebook miliknya. Kepadanya saya tawarkan, pilih Kefamenanu atau Kefamnanu?
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Timor (Unimor) itu bilang begini: “Saya lebih memilih Kefamnanu, frasa yang dibentuk dari kata dasar Kefa dan Mnanu, sebagai transposisi dari kata sifat amnanut ketika melekat dengan kata benda.”
Dofry Bone pun memberikan beberapa perbandingan. Ia menyebut kata dengan ciri yang sama seperti Nakamnanu (rambut panjang), Haemnanu (kaki tinggi), dan Nifumnanu (kolam yang dalam).
“Pasti aneh kalau kita bilang Nakamenanu, Haemenanu, Nifumenanu,” katanya yang mengundang tawal kecil saya muncul, tapi sebenarnya sedih.
Dosen Pendidikan Matematik itu menjelaskan, pengucapan dan penulisan kata Kefamenanu, datang dari mereka yang kesulitan menyebut konsonan ‘m’ dan ‘n’ jika ditulis bersambungan dalam satu kata.
Akademisi sekaligus penggiat literasi itu masih sempat bercanda. “Syukur, bukan dari mereka yang mengucap konsonan ‘f’ sebagai ‘p’. Kalau tidak, hari ini kita pasti ikut menyebut Kepamenanu.”
Dofry Bone pun menyinggung kemungkinan lain terkait adanya Kefamenanu. Menurutnya, perlu ditelusuri lebih lanjut. Penggunaan kata Kefamenanu berawal dari Belanda ataukah setelah Indonesia merdeka?
“Orang Indonesia saat urus format administratif pemerintahan, lebih banyak orang luar Dawan yang kesulitan menyebut Kefamnanu. Kalau misalnya Belanda, kita perlu pelajari Bahasa Belanda sebagai pembanding.”
Soal menjawabi dugaan ataupun kemungkinan yang dimaksud Unu D. Bone, entah dari Belanda ataukah Indonesia, akan diulas dalam artikel berikut.
Dengan demikian, masing-masing kita dapat membuat simpulan, Kefamenanu ataukah Kefamnanu?
Entah ke depan diubah atau tidak, perlu kita sadari bahwa selama satu abad (22 September 2022, para pendahulu dan kita di masa kini, merasa nyaman dengan penulisan dan pelafalan yang aneh.
Disadari atau tidak, itulah yang terjadi selama ini. Artikel ini hadir bukan sebagai bentuk protes, adanya untuk ikut merefleksikan satu abad bagi Kota Sari, kota kecil di Timor Barat yang sarat kenangan.***
Dari luar Timor, jauh dari Kefamnanu, 22 September 2022, Herman Efriyanto Tanouf.
0 Response to "Satu Abad Kota Kefamnanu, Ibu Kota Kabupaten TTU yang Namanya ‘Salah’ Ditulis?"
Posting Komentar