Oleh: Ardy Milik*
Ilustrasi: América Latina en movimiento
Dalam dua tahun terakhir masyarakat Nusa Tenggara Timur menyaksikan maraknya aksi pencaplokan lahan. Berbagai bentuk akuisisi lahan yang mengemuka ke publik antara lain: perampasan lahan di Rendu-Nagekeo untuk pembangunan waduk Lambo, pendirian pembangkit listrik bertenaga bumi di Wae Sano-Manggarai Barat, pengembangan perkebunan marungga di Besipae-Timor Tengah Selatan, pembentukan pabrik semen di Longko Liok-Manggarai Timur dan yang kembali muncul akuisisi lahan di Kolhua-Kota Kupang untuk pembangunan bendungan.
Karakteristik perampasan wujudnya berupa; pemerintah dan swasta memiliki kepentingan investasi skala besar dengan tujuan ilutif; membuka lapangan kerja baru, memajukan perekonomian masyarakat dan mengurangi arus migrasi tenaga kerja berusia produktif. Pemilik lahan dipaksa untuk menyerahkan lahan yang telah direncanakan menjadi lokasi proyek. Proses penetapan lokasi acapkali tidak melibatkan pemilik lahan entah masyarakat ulayat atau petani dalam dialog yang setara.
Mengapa disebut perampasan? Pada umumnya, lahan-lahan yang hendak menjadi lokasi proyek pembangunan berada dalam areal pertanian, pemukiman dan tempat dilaksanakannya ritus-ritus budaya masyarakat adat setempat. Sedari awal penentuan lokasi di dalam kawasan yang sedang berada dalam penguasaan atau pemanfaatan kelompok warga, melahirkan konflik kepentingan. Tujuan investasi tidak dapat membenarkan peniadaan keberadaan entitas lain yang telah, sedang dan akan hidup di dalam wilayah tersebut.
Konflik atas Tanah
Melalui akuisisi lahan pada ruang-ruang hidup masyarakat, pemerintah secara langsung memarjinalkan peradaban yang telah terbangun bertahun lamanya. Bahkan membunuh peradaban yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur demi menjamin keberlanjutan hubungan manusia dan alam dengan cara pengkultusan atas hutan, tanah dan mata air.
Efek lanjutan dari ekspansi adalah matinya tradisi dan ritus yang telah dihidupi oleh masyarakat adat dalam menjaga hubungan yang selaras dengan kosmik. Peminggiran kebudayan setempat berlangsung cepat dengan adanya akselerasi pembangunan. Sebab dalam kacamata industri, berbagai bentuk ritus dan tradisi dipandang sebagai bentuk perwujudan arkaik yang tidak memiliki nilai sehingga dengan mudahnya diberangus dengan tawaran modernisasi pembangunan.
Watak industrialisasi negara, dengan mudahnya mengkomodifikasi sumber-sumber daya material ini menjadi barang produksi yang dalam aktualisasinya hanya dinikmati segelintir orang. Sederhananya, pemilik lahan menjadi buruh di atas tanahnya sendiri. Buruh tani kehilangan tanah sebagai sumber mata pencahariannya. Penggarap yang tidak memiliki tanah mengalami krisis ganda ketiadaan lahan garapan dan kehilangan sumber penghasilan hidup.
Pencaplokan lahan yang semena-mena, tidak mendengarkan pertimbangan rakyat dalam dialog dan pemaksaan atas kehendak agar investasi harus berjalan seringkali mendapat penolakan dari masyarakat setempat dan organisasi masyarakat sipil terkait. Penolakan masyarakat ditanggapi oleh alat pemerintah dengan cara represif, koersif dan teror. Akumulasinya, di setiap lokasi perencanaan proyek selalu terjadi konflik agraria. Masyarakat yang menolak pencaplokan lahan dikriminalisasi dengan berbagai alasan melawan kebijakan pembangunan. Absurd. Menolak tanah sendiri diambil, malah dituduh subversif.
Ancaman dan teror dilancarkan kepada para pemimpin gerakan penolakan atau masyarakat yang vocal menolak keberadaan lokasi pembangunan. Lokasi konflik agraria selalu menjadi locus pelanggaran martabat dan hak asasi manusia. Pertentangan atas penguasaan tanah secara sepihak mencuat karena tujuan pembangunan yang dikampanyekan oleh negara melalui modal swasta atau sebaliknya tidak melihat secara keseluruhan ekosistem setempat, tradisi yang masih terpelihara, ruang sosial, kultural dan ekonomi yang telah tercipta jauh sebelum negara memformalisasinya dalam administrasi pemerintahan.
Keberadaan pembangunan dengan kebutuhan lahan yang luas bukan saja meniadakan keberlanjutan hidup masyarakat adat dan petani yang hidup dari tanah. Struktur kepemilikan lahan pun jadi berubah. Penguasaan tanah yang luas mengakibatkan akses kepada tanah-tanah produktif menjadi berkurang. Konsekuensi logisnya, produktivitas bertani menjadi berkurang, sumber penghasilan hidup dari hasil pertanian hilang dan jalan kepada kemiskinan makin terbuka lebar.
Tanah-Tanah yang Terampas
Dalam proses pendirian negara ini, para pendiri negara telah mengantisipasi bahwa kepemilikan tanah yang luas dengan tujuan industri dan perkebunan skala besar atau plantation berpontensi memicu ketimpangan pada akses hidup, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan hilangnya biodiversitas hayati di dalam ekosistem lingkungan hidup. Potensi ini diakali dengan usaha untuk melahirkan konsep hukum agraria yang membatasi penggunaan tanah sebagai alat penindasan manusia atas manusia dan tanah tidak boleh menjadi komoditas yang diperjualbelikan (Wiradi’, 2009: 99).
Konsepsi yang progresif ini, tidak mampu diterjemahkan lebih lanjut dalam kebijakan pemerintahan mau pun perundang-undangan di rezim selanjutnya. Kran investasi yang mengalir deras dengan harapan menjembatani kesenjangan antara yang kaya dan miskin malah memperlebar ketimpangan yang terjadi. Harapan untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui akses tanah merata kepada semua kelas penduduk belum dapat menyata dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Menyikapi Perampasan Tanah
Menyikapi semakin maraknya penjarahan atas lahan oleh negara dengan pemaksaan menggunakan kekerasan urgen dimulai sebuah jalan pembebasan sebagaimana cita-cita bersama membumikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara dengan sistem dan fasilitas yang bersumber dari keringat rakyat, hendaknya memetakan dengan jelas dan terpilah lahan-lahan strategis yang tidak berpotensi menimbulkan konflik. Apa gunanya, tujuan pembanguan dengan dalih kemakmuran malah mengusir pemilik asali dari ruang hidupnya.
Tujuan pembangunan sekiranya memenuhi prasyarat tanpa konflik kepentingan di dalamnya. Potensi yang terkandung di dalam sebuah lahan tidak serta-merta menjadi landasan dalam mengembangkan investasi. Melihat secara komprehensif pada manusia, lingkungan dan budaya yang telah hidup adalah pertimbangan utama di dalam studi atas lahan sebelum melanjutkan tahapan pembangunan.
Pembebasan lahan tanpa mempertimbangkan eksistensi segala sesuatu yang ada di atasnya mesti dicurigai sebagai bentuk perampasan. Alih-alih mencapai tujuan, malah penolakan yang kian massif hingga berdarah-darah menjadi bukti bahwa orientasi ekonomi dengan basis legal-formal yang sepihak hanya akan menciptakan rezim yang tamak dalam mengeksploitasi segala sumber daya hidup hanya untuk kalangan tertentu.
Orientasi pembangunan dengan merampas ruang hidup hanya akan mengkapitalisasi modal lalu menguras sumber daya alami yang terkandung di dalam suatu lahan. Maka pengambil kebijakan tidak dapat melecehkan nalarnya sendiri apalagi menutup mata akan keberadaan entitas lain. Dengan menyadari bahwa terdapat ruang hidup yang telah terbentuk; masyarakat adat dan petani, pertimbangan atas kelayakan suatu lahan sebagai basis investasi akan mengusahakan keberlanjutan hidup rakyat.
*Penulis: Alumnus Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang
0 Response to "Tanah-Tanah yang Terampas"
Posting Komentar