Tumpukan sampah di salah satu sudut Kota Kupang. (Foto: WALHI NTT)
Kupang, LekoNTT.com - Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati setiap 21 Februari dicanangkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2005. Adanya HPSN sebagai kenang akan peristiwa Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005 lalu. Di mana sampah menjadi mesin pembunuh yang merenggut nyawa lebih dari 100 jiwa.
Tragedi ini merupakan satu dari sekian banyak dampak buruk
yang ditimbulkan dari sampah. Permasalahan pengelolaan sampah yang buruk
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilihat sejauh mana
pemerintah berhasil menurunkan produksi sampah. Fakta lapangan mencatat justru
sebaliknya terjadi peningkatan jumlah sampah dari tahun ke tahun. Hal ini
terintegrasi lurus dengan model pengelolaan sampah yang buruk dari pemerintah.
Pengelolaan sampah yang ideal berangkat dari proses
pemetaan siklus peredaran sampah mulai dari tahapan eksploitasi hingga pada
pembuangan. Sentuhan kebijakan pemerintah yang menyasar pada proses eksploitasi
alam, pada tahapan produksi, distribusi, konsumsi, sampai pada proses
pembuangan perlu didukung dengan kebijakan yang mempertimbangkan daya tampung
dan daya dukung lingkungan.
Implementasi pengelolaan sampah oleh pemerintah hari ini
lebih terfokus pada proses konsumsi sampai pada pembuangan. Namun itu pun perlu
dikritisi lagi, misalnya ketika pemerintah lebih serius menempatkan masyarakat
sebagai aktor utama dalam permasalahan sampah yang terjadi. Masyarakat
dikambinghitamkan untuk menutup buruknya model pengelolaan sampah oleh
pemerintah di lapangan.
Kepala Divisi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye WAHI NTT, Yuventus Stefanus Nonga
mengatakan, proses implementasi pengelolaan sampah oleh pemerintah NTT
terfokus pada urusan teknis di lapangan yang berhubungan langsung dengan
masyarakat. Sementara keseriusan pemerintah untuk merespon dari sisi hulu
misalnya mendorong pelaku usaha untuk bertanggungjawab atas residu yang
dihasilkan dari usahanya sebagaimana dalam amanat undang-undang justru melemah.
“Secara
obyektif, sampah adalah persoalan publik yang mencolok di seluruh wilayah di
NTT. Sampah yang berserakan di setiap sudut kota baik di pusat kegiatan
ekonomi, pemerintah dan pendidikan serta fasilitas publik tidak dikelola
dengan baik dan komprehensif,”
ungkap Yuventus melalui keterangan tertulis yang diterima Leko NTT.
Yuventus memaparkan data aktivitas ekonomi di NTT yang
turut meningkatkan produksi sampah. “Pesatnya
pertumbuhan penduduk yang mencapai 2,92 persen (2015-2016) di atas rata-rata
pertumbuhan penduduk NTT sebesar 1,63 persen sebagaimana dirilis BPS tahun 2017 dan meningkatnya aktivitas ekonomi
menjadi kondisi yang mendorong meningkatkan produksi sampah. Kota Kupang misalnya sebagai ibukota
Provinsi NTT dan menjadi kota dengan tingkat aktivitas ekonomi paling banyak
dibandingkan 21 kabupaten lainnya di NTT. Dalam pengelolaan sampah masih
terbilang sangat parsial.”
Dari sisi regulasi terhadap permasalahan sampah ini, Pemerintah Kota Kupang memiliki kerangka regulasi untuk menangani sampah di kota ini yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Dalam Perda ini diatur sanksi bagi seseorang yang melakukan pelanggaran yakni Bab XV dengan ketentuan pidana yang termuat pada pasal 24 ayat 1 dimana setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 40 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000.
Perda ini juga mengatur terkait kewajiban pelaku usaha. Pasal 12 secara tegas menyatakan Pelaku usaha yang melakukan usaha dan/atau program yang menghasilkan produk dan/atau kemasan produk wajib melaksanakan program pembatasan timbulan sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau programnya.
“Namun dalam proses implementasinya tidak diikuti dengan keseriusan pemerintah dengan melakukan pemetaan pelaku-pelaku usaha yang produknya dijual di pasaran. Misalnya mengidentifikasi produk milik Unilever, KAO, Danon, PNG, dan pelaku usaha lainnya.”
Hal ini kemudian diikuti dengan ketegasan pemerintah kota untuk memperingatkan para pelaku usaha bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan dari produk jualannya. Landasan yuridisnya ada pada UU Sampah Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 15 yang menyatakan Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Terkait dengan penumpukan sampah di beberapa lokasi oleh karena aktivitas masyarakat, menurut Yuventus tidak tepat ketika pemerintah menyalahkan masyarakat. “Masyarakat tidak punya pilihan untuk mengelola sampahnya sendiri dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengelolah sampah didukung pula dengan minimnya fasilitas pengelolaan sampah oleh pemerintah.”
Yuventus menegaskan, hal
yang sama juga terjadi di 21 Kabupaten lainnya di NTT. Oleh karena itu, WALHI
NTT merekomendasikan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota di NTT untuk berbernah. Pertama,
mengimplementasikan kebijakan pengelolaan sampah yang benar sesuai dengan
amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; Kedua, tegas memperingatkan pelaku usaha
untuk bertanggungjawab atas residu yang dihasilkan dari sisa produk-produk
jualannya; Ketiga, menyediakan
fasilitas dan mengedukasi masyarakat secara tepat. (red)
0 Response to "Sampah Bisa Jadi Mesin Pembunuh, Pemerintah Daerah di NTT Segera Benahi Sistem Pengelolaan"
Posting Komentar