Kupang, LekoNTT.com - Ikatan Alumni Faklutas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang mengadakan webinar bertajuk Quo Vadis Pandemi. Webinar ini menghadirkan pembicara antara lain RD. Sipri Senda, Lic. Theo.Bib, RD. Lucius Tae Mau, BsC, MA dan dr. Herly Soedarmadji. Webinar ini dimoderatori oleh RD. Anton Kapitan, S.Fil pada 27 September 2021. Webinar ini berlangsung menggunakan dua platform daring: Zoom dan YouTube dari pukul 16.00 hingga 18.00 WITA.
Webinar yang dipimpin oleh Master of Ceremony (MC) RD. Christo Ngasi melibatkan peserta dari para Alumni Fakultas Filsafat-UNWIRA-Kupang, mahasiswa-mahasiswi Politeknik, Universitas Timor, Universitas San Pedro dan OMK dari Sumba. Jumlah peserta yang hadir mencapai 700-an orang.
Di tengah kebingungan ini, manusia tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Pandemi ini mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah.
Pemaparan pertama dari Dr. Herly menjelaskan bahwa pada April 2020, WHO merilis hasil penelitiannya mengenai asal muasal virus corona bermula dari kelelawar berpindah ke manusia. Ada yang mengatakan itu dari trenggiling baru ke manusia, ada yang mengatakan itu hasil bocornya laboratorium di Cina. Dari sisi medis, awal muasal Covid-19 sampai sekarang masih menjadi perdebatan.
"Ada yang mengatakan itu muncul pertama di Wuhan, tapi oleh Amerika mengatakan itu muncul di Cina. Tapi sampai sekarang meskipun semua ahli WHO dikirim ke Cina pun tapi tidak bisa mendeteksi secara pasti, kenapa? Karena untuk mendeteksi asal muasal virus itu berkembang, butuh waktu cukup lama, situasi di Wuhan sudah mengalami mutasi berkali-kali sehingga agak sulit untuk mendeteksi rantai virus dari mana."
Dr. Herly mengatakan bahwa pertama kali Covid-19 ditemukan pada 31 Desember 2019 di Cina dan disebut Peneumonia. Pneumonia ditemukan di China tanpa diketahui penyebabnya. Lalu, pada 7 Januari 2020 ditemukan sebagai sejenis virus bukan bakteri, diberi nama Novelvirus. Lalu, pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan bahwa Coronavirus ini sebagai kedaruratan medis masyarakat yang cukup meresahkan dunia.
Kemudian pada tanggal 12 Februari 2020, WHO menyatakan bahwa penyakit Coronavirus itu sebagai covid-19. Lalu pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia ditemukan penyebaran virus corona. Semua negara hampir mengalami bagaimana begitu berkembangnya covid-19. Ini dikategorikan sebagai pandemi. Sementara di Kupang, corona virus masuk pada tanggal 9 April 2020, yang jelas penyakit ini disebabkan oleh jenis virus.
Sementara itu, Romo Lucius menjelaskan dari segi Antropologi, tuduh-menuduh seperti ini, oleh ilmu Antropologi disebut sebagai stigmatisasi, otomatis manusia ikut terseret dalam ras dan etnis. "Etnis ras mengidentifikasi dirinya dalam lingkungan atau sekelompok ras tertentu. Coronavirus ini menyebabkan social distancing dalam kelompok masyarakat."
Social distancing, berangkat dari virus Covid-19 atau penyakit yang merebak hampir di seluruh dunia. Misalnya hanya di Indonesia, per 9 September 2021, itu tercatat 4.900.000 kasus terkonfirmasi. Itu menyebabkan manusia terstigmatisasi. Dengan adanya virus, manusia diarahkan pada labelisasi dan stigmatisasi, social distancing dan social structure pada manusia.
Romo Sipri dari perspektif Kitab Suci menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu, cerita relasi tentang hidup manusia dan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Lalu, dari perspektif biblis mencatat bagaimana cara beriman orang Israel. Dalam beberapa teks tentang pandemi ada yang berbicara tentang wabah, sampar atau tulah.
"Orang Israel misalnya, dalam Kel 5:3 melihat tulah atau sampar sebagai hukuman dari Tuhan terhadap Mesir. Lalu, pengalaman Raja Daud dalam 2 Sam. 24:13, karena berdosa jadi pilih dikuasai oleh musuhnya atau sampar, akhirnya sampar melanda dan beberapa orang Israel meninggal. Itu beberapa contoh yang menunjukan beberapa contoh hukuman, manusia dibuang ke Babel."
Lebih lanjut ia mengatakan, Israel melihat bahwa pengalaman faktual yang mereka alami itu, dilihat dari perspektif iman, mereka melihat relasi mereka dengan Tuhan ada kaitan terhadap dosa atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Penderitaan atau penyakit wabah adalah konsekuensi akibat langsung dari perbuatan manusia yang serakah dan ceroboh terhadap alam mau pun sesama dalam Gal, 6:7-9. Dari perspektif ini, kita bisa melihat bahwa sudut pandang ilmu Israel untuk melihat bahwa satu konsekuensi dari perbuatan melawan Tuhan, untuk penyadaran dan pemulihan terhadap kehidupan Israel itu sendiri.
"Selama ini kita tidak menduga, dapat merubah berbagai aspek kehidupan, seperti sekarang, kita harus pakai masker, keluar harus jaga jarak dari keramaian dan sebagainya. Ini hal-hal yang membuat semua harus ikut dia, artinya kalau masih sayang diri, sayang keluarga berarti harus taat pada dia. Ini hanya bisa dilakukan oleh si Covid-19 ini. Vaksin harus didukung pula oleh protokol kesehatan, kalau tidak resiko penularan akan terus terjadi," demikian jawaban dari Dr. Herly.
Sementara itu Romo Sipri menjawab bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa orang Amerika yang sering membaca kitab suci itu, harapan hidupnya lebih tinggi. Ini menunjukan bahwa ada iman, pengharapan dan cinta kasih, dan orang Amerika yang membaca kitab suci imun tubuhnya kuat dan bisa bertahan dalam hidup ini. Ketika berada dalam situasi yang putus asa, orang tidak lari dari kenyataan atau menganggap remeh tapi tetap berharap pada Allah.
"Kita belajar dari Israel bahwa, ketika mereka berada dalam situasi kemelut tertentu, mereka kembali pada Tuhan, dan pengalaman iman ini memberi inspirasi kepada kita bahwa Covid-19 ini kuasanya sementara, Allah tetap berkuasa dalam situasi apa pun. Orang yang percaya dan mengandalkan Tuhan, selalu punya kekuatan lebih untuk mengatasi ‘kekuasaan’ dari virus corona ini."
Sementara itu penanya kedua Frans Mali menanyakan “bagaimana menghadapi narasi sesat tentang Covid-19 yang dibangun dengan sedemikian rapi?”
Menjawab pertanyaan ini Dr. Herly menjelaskan bahwa, sebagai orang medis, menghadapi isu medis ini "kami orang medis, terus mengedukasi agar masyarakat yang sudah paham tentang suatu penyakit, ketika menerima ajaran sesat, dia tidak akan terpengaruh, kalau pemahamannya rendah, dia akan mudah terpengaruh. Jadi, kami memberikan edukasi agar bisa berkembang."
Tambahan dari Romo Lucius, dalam situasi seperti ini, menurut Emile Durkheim ini adalah suatu sentimental religious. Karena manusia punya perasaan terhadap suatu objek jadi manusia ramai-ramai ke sana. Dalam teori Health Believe Model, biasanya persepsi terhadap resiko lebih dipengaruhi oleh emosi daripada informasi factual. "Jadi, orang ini terjebak dalam narasi yang menyesatkan, sebenarnya ini adalah apersepsi yang menjadi titik keyakinan terhadap sesuatu."
Webinar yang dibuka dengan doa ini diakhiri pula dengan doa yang dipimpin oleh RD. Bob Ndun. Acara ini pula diakhiri dengan foto bersama.
Penulis: Ardy Milik
0 Response to "Quo Vadis Pandemi? Webinar Alumni Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang"
Posting Komentar