Oleh: Lodi Kini*
Bukan pertama kali ruang dialog akademik tertutup oleh arogansi brutal dan vulgar para petinggi yang berpihak bukan kepada rakyat. “Saya hanya berurusan dengan Pemerintah Provinsi. Saya tidak bersedia bekerja sama dengan FAN. Saya minta FAN keluar dari aset Undana, sekarang!” kata Rektor Undana Fred Benu dalam pertemuan di laundry room Rumah Sakit Undana pada Selasa (24/08/2021).
Kritik dan keluh kesah FAN sebagai bagian dari masyarakat atas kebuntuan mencari jalan keluar dari krisis pandemi yang meremukkan ekonomi ditanggapi sebagai serangan personal. Keengganan upaya mencari jalan keluar bersama justru terlihat dari pimpinan lembaga pendidikan yang sewajarnya mengabdi kepada pencarian akan kebenaran agar setidaknya manusia-manusia yang berpikir itu bisa berguna bagi raga lain. Sepertinya tujuan mulia pendidikan itu tak tersisa sedikitpun dari ruang kebijaksanaan orang penting yang bersih keras menghentikan aktivitas Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT itu.
Di tengah krisis, gantinya sibuk berpikir dan bekerja untuk keselamatan orang banyak, kepala lembaga justru sibuk menyelamatkan egonya. Begitu kuat argumentasi diarahkan kepada tim lab yang jelas-jelas kerja gila tanpa ada sedikitpun bukti bahwa mereka sedang memperkaya diri. Tidak ada keinginan baik untuk melihat kesulitan di depan mata.
Apakah karena ia digaji negara dan bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan? Mereka lupa bahwa ada masyarakat yang jika harus mengeluarkan uang 100-200 ribu rupiah bahkan jutaan untuk memeriksakan kesehatan mereka dan keluarga, lebih memilih menerima risiko penyakit dengan lapang dada sambil berharap Tuhan dan umat-umatnya yang mengaku beriman akan memberikan jalan keluar dari himpitan ini.
Lab Biokesmas NTT mengambil posisi berdiri untuk kita semua yang lemah, dalam mengusahakan akses layanan kesehatan bagi semua orang. Tapi di manakah posisi Unviersitas Nusa Cendana sebagai institusi pendidikan? Sudah lebih dari satu tahun inisiatif baik ditunggu oleh rekan-rekan di Lab Biokesmas. Tetapi sedari awal hingga saat ini, inisiatif baik yang harapannya bermuara pada kerja sama memberi diri untuk bersama-sama keluar dari krisis, tidak pernah lebih dari sekedar upaya untuk menunjukkan kuasa. Tidak ada ruang diskusi, hanya ada kemarahan yang premanis.
Ruang diskusi diperlakukan seakan ruang arena perkelahian antar kampung. Lebih parahnya dijadikan personal antara Elcid Li vs Fred Benu. Dalam konferensi pers, seorang wartawan bertanya, “Apakah benar ada pemukulan dilakukan?”. Tentu saja jawabnya tidak ada. Mereka yang bekerja siang dan malam untuk mengurus sample-sample saudara-saudari di NTT yang terindikasi sakit COVID, tidak berkelahi pada level itu.
Ini bukan tentang Fima Inabuy atau Hilda Mantut yang tidak sanggup menahan air mata ketika menceritakan realitas di Lab termasuk bagaimana sedari awal pihak Undana tidak menunjukkan kemauan baik untuk bekerja sama. Bahkan Dokter yang hendak ditugaskan ‘mengurus’ lab pung tidak mempercayai keabsahan metode pooled-test. Anche juga menambahkan, laboran yang juga lulusan Undana ini memberika penekanan bahwa yang mereka lakukan sama sekali tidak ada urusannya dengan memperkaya diri. Ia bekerja dari jam 10 pagi hingga jam 3 pagi, “memberi raga untuk raga lain,” katanya.
Metode pooled-test bukan metode yang lahir dari hasil membual. Metode ini sudah diakui. FAN dalam upaya pergerakkannya sedari awal telah melalui proses yang panjang dalam mewujudkan ide ini dan memastikan metode ini absah serta dapat dioperasikan tanpa melanggar acuan yang berlaku. Namun, alasan yang digunakan untuk penutupan Lab adalah karena tidak ada Dokter Ahli Patologi Klinis. Namun dijelaskan bahwa posisi ini dapat digantikan dengan dengan Dokter Umum yang terlatih atau Ahli Mikrobiologi Klinik.
Selanjutnya juga mengenai analis kesehatan, FAN telah memastikan laboran sesuai dengan peraturan yang beraku yaitu dengan latar belakang pendidikan analis/biologi/kedokteran hewan/biomedis dan ilmu lain yang berkaitan. Padahal, para lulusan Undana lah yang dilatih oleh Fima Inabuy hingga sekarang menjadi laboran yang handal. Hanya di lab Biokesmas saja PCR ratusan sample dapat diuji dalam waktu tunggu satu hari, secara gratis.
Pada akhirnya kita akan binasa bersama-sama karena arogansi. Mereka yang mengambil keputusan penting hanya melihat dari posisi mereka yang mujur. Tidak melihat sekeliling, bahwa ekonomi remuk hancur lebur bagi mereka yang tidak makan uang negara. Sampai kapan kita membiarkan krisis ini berlarut-larut. Tanpa kerja yang sungguh, kita akan semakin lama berada pada krisis ini. Tidak terasa dua tahun hampir terlewati. Upaya keluar dari krisis yang bermuara pada pembangunan Lab Biokesmas bukan tentang unjuk diri. Ini tentang celah tipis antara hidup mati orang banyak, yang seharusnya diisi dengan upaya intelektual, bukan sekedar permainan kekuasaan.
* Lodi Kini adalah warga Kupang yang bekerja sebagai peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC).
0 Response to "Binasa Bersama di Tangan Intelektual dan Petinggi yang Tak Berpikir"
Posting Komentar