Oleh: Dominggus Elcid Li*
Meskipun identik sebagai corong publik, namun wartawan nyaris tak mampu menjadi corong untuk dirinya sendiri. Fakta terselubung ini memang menyedihkan sebab meskipun memiliki nilai berita, namun ia tidak pernah muncul sebagai sebuah berita di surat kabar. Para wartawan cenderung terlalu santun untuk menyuarakan hak-haknya. Tepatnya ini tentang upah yang layak agar sebanding dengan tuntutan kerja profesi ini. Tulisan ini selanjutnya hanya mencoba mengulas nasib wartawan—terutama di daerah NTT (selanjutnya disebut wartawan saja).
Berbicara soal kompetensi wartawan tentu tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan wartawan itu sendiri. Bagaimana mungkin menuntut wartawan untuk memiliki wawasan luas, jika upah yang diterima hanya ‘cukup’ untuk memenuhi kebutuhan hidup? Darimana sumber dana lain agar ia dapat mengakses barang sekunder semacam buku yang diasumsikan mampu memperlebar horizon wartawan? Peningkatan kapasitas wartawan sendiri jelas-jelas tidak bisa dilakukan, jika untuk wilayah perut saja wartawan masih harus ber-akrobat.
Getirnya derita wartawan daerah yang jujur bisa dirasakan oleh para calon jurnalis. Sebagai pengajar, waktu itu, di kelas jurnalistik sebuah universitas swasta di Kupang, saya ajukan sebuah pertanyaan, “Apakah anda akan menerima atau tidak amplop yang diberikan?” Aslinya, pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan lisan, tetapi sebuah soal tertulis dalam ujian. Jawaban para mahasiswa yang diantaranya adalah demonstran, aktivis mahasiswa, dan biarawan jika disatukan cukup mengejutkan, “Ya, kami akan terima karena butuh uang transportasi.” Ini bukan alasan idealis apalagi berkaitan dengan doktrin agama sebuah tarekat, tetapi sesuatu ironi yang tidak mampu dijelaskan dalam hubungan sebab-akibat. Butuh waktu cukup lama untuk menerima dan memahami jawaban ini.
Saat ini para mahasiswa yang dulu berada di ruang kelas, sebagian telah menjadi generasi baru wartawan di NTT, tetapi apakah jalan pedang sebagai wartawan masih pantas disebut sebagai alat perjuangan, atau apa?
Tulisan ini mencoba membuka hal-hal yang mungkin berkaitan dengan mimpi untuk menghadirkan sebuah surat kabar yang independen, berkualitas, dan dinikmati oleh para wartawan, karyawan dan pembacanya. Sebagian tulisan ini merupakan refleksi seorang bekas mahasiswa program studi jurnalistik, pengajar jurnalistik partikelir, dan pengalaman menjadi jurnalis. Pengalaman berinteraksi dengan para wartawan sebagai wartawan dalam tempo beberapa tahun di NTT, menjadi alasan tersendiri hadirnya tulisan ini.
Undang-Undang dan Kenyataan
Meskipun kerap dipungkiri, sebenarnya Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang kesejahteraan wartawan itu ada. Ini termuat dalam Pasal 10 UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berbunyi: Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Dalam penjelasan lanjutan kemudian disebutkan: Yang dimaksud dengan bentuk “kesejahteraan lainnya” adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Sebagai catatan pembanding, UU Nomor 40 tahun 1999 bukan barang baru, buktinya jika kita membuka UU Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers khususnya di Bab V Pasal 13 kita dapat menemukan: Jang dimaksud setjara gotong-rojong kekeluargaan terpimpin ialah supaya semua unsur jang melakukan produksi, jaitu karyawan, pengusaha, karyawan wartawan, karyawan administrasi/tehnik dan karyawan pers lainnja merupakan kesatuan bulat dan bersama-sama melantjarkan djalannya perusahaan sesuai dengan azas kekeluargaan tanpa mengabaikan arti pentingnja faktor pimpinan. Ini juga dimaksudkan agar hak milik modal tidak akan memegang peranan jang bersifat menentukan.
Lebih jauh lagi, sebagai sebuah fakta sejarah, pada tanggal 23 November 1966 di Cipayung diadakan Konperensi Kerdja Nasional SPS-OPS Pers. Dalam pertemuan ini dinyatakan antara lain: (1)pemegang-pemegang saham secara keseluruhan haruslah mencerminkan susunan karyawan yang bekerja dalam sesuatu perusahaan pers, dengan catatan paling sedikitnya 2/3 jumlah karyawannya adalah pemegang saham, dan (2)semua saham-saham dikeluarkan atas nama, dengan meniadakan kemungkinan dominasi dari pemilik modal (Lih. Undang-Undang Pers, J.C.T Simorangkir, Bhratara, 1967, hal.36).
Dengan membandingkan kedua undang-undang ini kita bisa melihat dalam kurun waktu kurang lebih tiga dekade telah terjadi perubahan substansial tentang kesejahteraan wartawan. Dalam Undang-Undang terbaru, bahasa itu dikemas dengan lebih halus dalam kata-kata ‘berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dan wartawan’. Terlihat Undang-Undang ini produk tahun 1999 ini tidak menjamin wartawan dan karyawan. Artinya pasal ini pun sejenis dengan pasal karet model haatzai artikelen yang multi tafsir dan dalam kenyataannya cenderung hanya menguntungkan pemilik modal.
Buktinya, Serikat Wartawan di berbagai institusi pers Indonesia terkemuka semakin tidak dianggap, dan diposisikan sebagai ancaman. Sehingga kesepakatan yang dibuat terjadi tanpa ada posisi tawar dari para wartawan itu sendiri. Sedangkan di produk UU di tahun 1966, di era awal Orde Baru itu, kita masih bisa menemukan untaian kata-kata ‘merupakan kesatuan bulat dan bersama-sama melantjarkan djalannya perusahaan sesuai dengan azas kekeluargaan’. Kata-kata ini kemudian diperjelas dalam Konferensi di Cipayung.
Antara Undang-Undang dan Kenyataan
Dengan membaca kembali lembar-lembar sejarah ini kita bisa memandang ke arah mana institusi pers Indonesia bergerak. Ada kecenderungan sejak akhir dekade 70-an insitusi-institusi pers Indonesia telah memilih menjadi sekedar alat produksi. Artinya hubungan antara para pemodal dan pekerja menjadi semakin jelas, dan karakter perjuangan bersama tinggal menjadi nostalgia beberapa wartawan senior yang hingga kini masih menulis kenangan pers tempo dulu.
Misalnya, dengan mempelajari sejarah komposisi saham bekas Menteri Penerangan RI, Harmoko, di berbagai media cetak terkemuka di Indonesia mungkin kita bisa melihat pergeseran-pergeseran fundamental yang membuat institusi pers hanya sekedar alat produksi dan berita menjadi sekedar craft. Momentum sharing saham Harmoko ini menandai bahwa Pers tak hanya berhasil dikooptasi oleh eksekutif–dalam alur pikir pers ditempatkan sebagai pilar keempat berdampingan dengan trias politica– namun berhasil dibeli sebagai konsesi dari institusi pers jika ingin SIUPP tidak diganggu.
Perubahan karakter pers yang dipengaruhi motivasi ekonomi yang kian kuat dalam tubuh institusi pers ini cukup merisaukan, terutama bagi para wartawan idealis, karena dengan situasi ini kendali pemilik modal menjadi cukup besar, dan cenderung mempengaruhi isi berita. Artinya, para pemilik modal yang dulunya adalah wartawan kini telah menjadi pengusaha, dalam posisi sebagai pengusaha seorang pemodal akan cenderung bermain aman dan seringkali tunduk pada tekanan-tekanan institusi-institusi lain yang lebih kuat. Berada dalam posisi ini wartawan sebagai mata sebuah surat kabar tidak bisa berbuat banyak selain patuh, atau dikeluarkan.
Tak hanya soal isi berita, soal vital, soal kesejahteraan wartawan pun menjadi tanda tanya. Ke mana wartawan harus mengadu? Jika dalam kenyataan Serikat Wartawan dalam industri pers saat ini posisinya lebih dianggap sebagai ancaman oleh para pemilik modal, dibandingkan mitra yang juga memiliki hak suara setara dan berhak untuk sejahtera. Maka, ada baiknya, ditinjau kembali syarat-syarat yang memungkinkan terjadi dialog antara elemen dalam perusahaan.
Agar persoalannya menjadi jelas, idealnya perlu dimunculkan, di teras depan koran, tabel perbandingan gaji para wartawan di daerah, sehingga bisa dibandingkan mana yang manusiawi dan mana yang belum. Data valid ini perlu dipaparkan agar berbagai project yang membicarakan tentang kompetensi wartawan tidak sekedar menjadi ajang jalan-jalan orang pusat ke daerah untuk membicarakan soal kewajiban wartawan daerah, namun melupakan sisi kesejahteraan wartawan di daerah.
Diharapkan dengan mengerti konteks daerah, para ahli yang berkecimpung di dunia pers diharapkan lebih mampu menajamkan poin kesejahteraan wartawan, dan tidak dibiarkan mengambang. Misalnya, bagaimana bentuk dan mekanisme untuk mencapai ‘kesepakatan’. Apa ukurannya? Apakah benar hanya sesuai standar upah minimum regional, maka sudah cukup?
Di berbagai industri pers, serupa dengan situasi dengan para pekerja di industri kecap asin atau odol gigi, peran serikat pekerja itu memang tidak pernah dibiarkan untuk kuat. Hasilnya negosiasi dengan manajemen perusahaan yang merepresentasikan suara pemilik modal itu lebih diartikan sebagai monolog. Para wartawan pun nyaris tidak ada suara dalam negosiasi, bagaimana mau bersuara dalam kondisi timpang? Bersikap vokal pun diartikan sebagai membangkang. Pilihan lainnya, ya bertahan dan terus bertahan dengan kondisi serba minus.
Minus di sini bisa diukur: misalnya apakah setelah bekerja selama sepuluh tahun apakah wartawan itu bisa membangun sebuah rumah sederhana, apakah ia mampu menyekolahkan anaknya hingga jenjang sarjana. Mengapa sarjana? Sebab wartawan yang diterima di sura kabar sekarang itu diminta S-1, sehingga diandaikan bahwa si wartawan itu mampu melakukan hal yang sama pada anaknya. Jika tidak, bisa dikatakan orang tua para wartawan, yang umumnya petani itu, jauh lebih berhasil dari wartawan itu sendiri.
Jika institusi pers masih dikelola dengan standar minimum, maka kita tak heran jika wartawan menerima amplop, dan jangan heran kalau tak ada loyalitas wartawan terhadap pembaca. Sebab untuk bertahan hidup saja, sudah merupakan suatu beban hidup.
Di daerah, persoalan loyalitas terhadap institusi pers ini mungkin kurang terasa, tetapi tingkat ‘bajak-membajak’ awak media di Jakarta merupakan bukti betapa loyalitas terhadap institusi media itu makin menurun, sebaliknya profit oriented merupakan panglima para pekerja media itu sendiri. Ini efek lain dari kentalnya kultur industri media, sehingga bekerja tidak lagi perlu dimaknai serius-serius sebagai bentuk loyalitas, tapi lebih sebagai permainan asal suka.
Memang dalam dua dekade terakhir industri media tumbuh pesat dan sukses untuk terlihat ‘wah’ dan gemerlap. Namun, seperti sebuah proses sinematik, hanya bagian-bagian baik saja lah yang dipakai dalam rangkaian sebuah film. Hanya bagian indahnya yang menjadi pilihan pertama untuk dipajang di layar, sedangkan suara sumbang dan gambar buramnya telah dibuang. Mungkin seperti itu pula nasib para wartawan, kisah buruknya telah diedit dan ditelan sendiri.
Kampanye ‘anti amplop’ yang disuarakan oleh organisasi wartawan dan media di Jakarta, menjadi tidak realistis ketika harus diterapkan di daerah. Bagaimana mungkin ia tidak mengambil amplop jika untuk membeli pulsa untuk mengejar narasumber lewat handphone pun ia kewalahan? Bagaimana mungkin meminta wartawan melakukan liputan investigasi jika bensin di motor roda dua kering kerontang. Ini yang membuat para pemimpin redaksi dan redaktur pun lebih banyak bersikap ‘maklum’ ketika para reporter dari lapangan dengan liputan ‘apa-adanya’ (baca: serba minim).
Beda Pers Dulu dan Sekarang
Dulu, surat kabar dipahami sebagai alat perjuangan. Kini, persoalannya ketika ‘watak’ atau ‘karakter’ industri mendominasi surat kabar, dengan sendirinya komunitas wartawan dalam institusi pers pun berubah. Dalam ‘industri’ dibutuhkan stabilitas, ketepatan, keseragaman, mono-gerak, dan pelaku menjadi anonim. Persoalannya, komunitas yang lekat dengan pemahaman detil perasaan (baca: empati) terhadap satu sama lain dianggap asing dalam kultur industri. Ini yang membuat dalam pengelolaan institusi pers lantas mengadopsi ‘sistem manajemen modern’ model perusahaan.
Dalam watak industri yang dikelola dalam ‘perusahaan’ ini yang boleh bersuara keras hanya lah para pemegang saham alias para stakeholders. Ini mungkin salah satu sebab mengapa para insan pers pun tak mampu menjadi corong untuk diri sendiri. Jika mau kritis bisa ditanyakan, berapa sebenarnya harga seorang wartawan yang berkualitas? Jika bisa dihitung tentu suara wartawan itu bisa ada dalam jajaran para pemegang saham.
Sekedar catatan, tuntutan-tuntutan tentang kesejahteraan wartawan ini ditulis dengan memahami transisi organisasi media di Indonesia. Artinya, saat ini pada umumnya orang pertama di seluruh surat kabar di Indonesia adalah para wartawan lapis kedua. Proses peralihan pengelolaan ini jarang berlangsung dengan mulus, banyak juga yang mati karena tidak mampu bertahan hidup. Jika masih surat kabar tersebut masih hidup, maka pembagian harta gono-gini lah yang menjadi masalah. Bisa ditengok apa yang terjadi pada Harian Pikiran Rakyat di Bandung saat ini. Dengan memahami pergeseran dalam tubuh institusi pers dalam tiga dekade terakhir diharapkan proses transisi di berbagai surat kabar di Indonesia dapat berlangsung dengan mulus dan berkualitas, bukan sekedar bertahan hidup.
Kaitan Publik dan Institusi Pers
Sebagai penutup, jika institusi pers di daerah cukup awas, maka tulisan ini bisa dianggap sebagai usaha untuk menempatkan media sebagai ‘milik publik’. Agar relasi etis antara wartawan dan pembaca itu ada. Agar wartawan pun memilik tanggungjawab moral untuk memberitakan berdasarkan kepentingan pembaca, bukan lainnya. Nilai etis dari sebuah profesi itu harus diadakan, agar institusi pers, lagi-lagi, tidak disamakan pabrik obat sakit gigi atau yang sejenis.
Di sisi ini, mau atau tidak, peran publik untuk mencermati detil dalam insitusi pers sedang diperlukan, agar surat kabar (media cetak) yang masih menjadi media utama di NTT dapat lebih berkualitas dan layak dibaca. Kecenderungan menurunnya kualitas surat kabar ini tidak hanya terjadi di wilayah NTT atau Indonesia, tetapi ini terjadi dalam skala global.
Contohnya di belahan bumi yang lain, di Eropa, juga terjadi. Di Perancis, seorang wartawan Le Monde, Ignacio Ramonet, sampai perlu menulis hal ini dalam tulisannya: Free Papers or Freedom of Press (Le Monde, Januari 2007). Tulisan ini menyoroti hubungan pers dan pembaca, apakah memilih untuk mendapatkan free papers alias gratis, ataukah memilih untuk freedom of press, pers indipenden yang berkualitas. Kecenderungan maraknya free papers ini dipengaruhi hadirnya elemen iklan/advertising dalam surat kabar.
Dampaknya, kini bagi sebagian surat kabar yang sukses dengan elemen pemasarannya sumber iklan mampu menutupi ongkos produksi. Akibat baiknya, para pembaca diberikan surat kabar gratis atau murah. Di balik keuntungan ekonomis bagi pembaca, hal lain yang sebenarnya sedang hilang dari karakter media itu sendiri adalah karakter media sebagai ‘mata dan telinga’ yang independen, menulis apa adanya, tanpa takut oleh para pihak yang terkena imbas isi berita.
Hal ini sudah diantisipasi Le Monde, Surat kabar Le Monde diproyeksikan untuk mampu independen secara politik dan finansial, untuk itu didesain komposisi kepemilikan saham yang memungkinkan pembaca dan karyawan memiliki suara yang signifikan. Komposisi saham itu terdiri dari: Le Monde Group (51%), dan pembaca serta karyawan (49%). Sebuah komposisi yang unik melibatkan pembaca. Di Indonesia komposisi saham yang menjadi bagian wartawan dan karyawan terbanyak sebesar 20%, contohnya The Jakarta Post. Namun, sejauh ini belum ada surat kabar di Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh pembaca dengan jumlah yang memungkinkan posisi tawar terhadap gerak media. Kesulitannya, media-media gratis dan murah ini yang merambah ruang publik, televisi dan internet di Indonesia termasuk di dalamnya.
Gaya Le Monde adalah gaya Perancis, sedangkan di Indonesia dulu para aktivis surat kabar di tahun 1966 berasumsi bahwa model ‘koperasi’ lah yang direkomendasikan, bukan perusahaan. Kenyataanya, institusi pers di Indonesia terbanyak mengadopsi model perusahaan, maka antisipasi terhadap perubahan karakter media itu perlu dipikirkan. Artinya, untuk pengelola media selain berpikir soal sukses secara ekonomi, tentu perlu memikirkan arti penting surat kabar untuk publik. Dengan sendirinya, sebagai wartawan, kita masih berharap bahwa kerja di media juga memberikan unsur kepuasan batin, tak semata menjadi pengrajin kata-kata. Kerja wartawan telah tereduksi sekian rupa sekedar menjadi craft maker.
Menghadapi persoalan ini, publik di daerah perlu memberikan perhatian lebih karena tanpa media yang berkualitas dan independen, pada akhirnya semua media diposisikan serupa dengan majalah gosip.
Artinya pembaca yang kritis senantiasa akan membaca sambil menduga jauh, apa saja yang tidak tertulis dari yang ditulis. Di sini definisi berita, meminjam Gaye Tuchman, adalah konstruksi atas realitas, namun sebaliknya definisi berita dalam iklim represif menjadi: konstruksi tidak tertulis yang hadir karena direfleksikan dari surat kabar. Persoalannya mungkin menarik menjadi bahan kajian filsafat pengetahuan, tetapi dalam hidup sehari-hari tidak semua setia dalam alur membaca berita semacam ini.
Sisi negatif yang mungkin terjadi di kalangan pembaca adalah tumbuhnya sekian cerita konspirasi yang mungkin dilakukan oleh para pekerja media karena tekanan finansial maupun politik. Jika berada dalam posisi ini maka media diasumsikan tidak berada di tangan publik, wartawan, ataupun pemilik modal, tetapi masuk dalam ‘lubang hitam’. Determinasi itu tidak ada pada siapa-siapa, tetapi ada dalam jaringan bersama. Mungkinkah, di daerah, para wartawan, dan para pembaca memikirkan ulang tentang situasi ini?
Soal media yang melibatkan unsur publik, mungkin usul ini dipandang sebagai sebuah langkah jauh. Tetapi tuntutan tentang kesejahteraan wartawan, terutama di daerah, tidaklah berlebihan. Perlu ada perhatian untuk mereka yang selama ini menjadi mata dan telinga publik, agar tidak mengemis, atau diperlakukan seperti pengemis. Perlu menjadi catatan, para wartawan menerima amplop itu bukan karena narasumber itu adalah seorang yang baik hati, sebaliknya para pemberi amplop ini perlu sadar bahwa berbuat baik itu tidak hanya mungkin dilakukan pada suatu waktu dan ketika berita itu menyangkut dirinya. Tetapi, untuk jangka panjang ruang publik ini masih perlu dijaga, dan itu tak cukup hanya dilakukan oleh para wartawan, butuh dorongan dan partisipasi publik.
Namun, jika semua kemungkinan ini sudah dibuka dan dicermati oleh publik, maka pertanyaan ini tentu akan kembali kepada para pekerja media, jalan mana kah yang dipilih? Karena para pekerja media, termasuk karyawan, adalah penentu postur media itu sendiri. Jika sampai pada titik ini, singkatnya adalah to be or not to be. Asumsinya, bola pertama tidak pernah ada di tangan penjaga gawang.
*Penulis adalah Direktur IRGSC dan anggota Forum Academia NTT.
Artikel yang ditulis 13 tahun lalu ini pernah dipublikasikan di blog pribadi penulis.
0 Response to "Nasib Wartawan, Siapa Peduli?"
Posting Komentar