Oleh: Lodimeda Kini*
“Tanpa data yang akurat, kita ini tidak beda dengan kerbau,” kata seorang kawan menanggapi himbauan Presiden untuk menerapkan PSBB yang beredar. Ia memang salah satu dari banyak orang yang jengkel terhadap sikap pemerintah yang hanya tahu ikut-ikutan apa kata yang di atas tanpa mampu melihat kondisi di depan mata.
Sama seperti yang terjadi di sekitar bulan April tahun lalu, ketika awal merebaknya Covid-19 di NTT. Tanpa navigasi yang jelas, kepala daerah perintahkan semua orang tinggal di rumah. Malas berpikir sehingga cari aman saja. Apa yang dilakukan oleh kepala daerah lain, ikut saja. Yang penting sudah bertindak sesuatu. Masalah akurasi kebijakan publik selalu bisa dianggap relatif, walau angka korban Covid jelas absolut, dan urusan rumah tangga jadi rumit karena pemasukan tidak pasti namun pengeluaran untuk beli pulsa data anak sekolah meningkat bukan hal imajiner.
Tahun 2020 sudah jadi contoh gagalnya kita menanggapi situasi Covid-19 sebagai kondisi darurat yang harus dilawan. Jika tahun lalu kita hanya berdiam dan berharap sekiranya ‘cawan’ ini akan berlalu. Tahun ini kita tidak lagi bisa sekedar berharap.
Ambil saja contoh yang terjadi sekitar bulan Mei tahun lalu, Forum Academia NTT (FAN) yang sering kali dianggap musuh, jago kritik dan tukang berkelahi ‘pemerintah’, mengajukan mekanisme penanganan Covid-19 berbasis sains. Singkatnya, semua orang di-tes dengan cara yang lebih efisien, sehingga kita tahu, siapa yang harus dikurung, siapa yang bisa beraktivitas dengan aman. Bukanlah lebih enak jika jelas. Memang virus ini tidak bisa dilihat. Tetapi bukan berarti tidak bisa diukur dan dimitigasi.
Sayangnya, pada saat usul ini diajukan, waktu itu kepada Pemerintah Kota Kupang seakan-akan keberatan memikirkan cara mengalokasikan dana karena ‘berkejar-kejaran’ dengan waktu. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah: “Berapa lama persiapan sistem tes ini bisa dilakukan? Jangan sampai waktu persiapannya terlalu lama, dan justru tes selesai ketika masa Covid-19 sudah selesai,” kata salah satu pejabat Pemkot Kupang saat itu. Waktu pun menjawab pertanyaan itu dengan jelas, tahun berganti, masalah ini pun belum berganti, justru kita dipaksa hidup berdampingan dengan virus.
Memasuki tahun yang baru, semua instansi pemerintahan sibuk berhitung berapa banyak uang yang mereka ingin kelola untuk satu tahun mendatang, dan kepada pos manakah uang akan dialokasikan. Ini saat yang tepat untuk berpikir kembali dan hati-hati tentang langkah dan angka yang akan ditentukan untuk penanganan Covid-19.
Entah kapan para pejabat menyadari bahwa para academia yang berkumpul di dalam FAN, sebenarnya tidak kurang dan tidak lebih dari suara ‘rakyat’ yang ingin naik kelas jadi ‘penduduk’. Bukan sekedar rakyat yang berdiam mana kala ‘sang raja’ jelas sedang membawa mereka dalam pencobaan, tapi menjadi ‘penduduk’ atau ‘warganegara’ yang juga turut berpikir dan perlu berdialog untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan publik di mana penghidupan mereka dan orang banyak menjadi taruhannya.
Tidak ada kota atau kabupaten yang ingin jadi bagian dari PSBB. Kita ingin bisa kembali bekerja, bersekolah, beribadah dengan normal, dan berpesta sepuasnya. Semua aktivitas tadi jadi mata pencaharian untuk banyak orang.
Seorang sahabat yang kerja di dunia hiburan hampir setiap bertemu mengeluh karena tidak lagi bisa manggung untuk mencari uang. Tabungannya sudah terkuras habis. Para pemulung mengeluh hasil pilih sampah berkurang karena takut keluar rumah sering-sering. Beberapa rekan mengeluh sudah jual kamera karena job semakin tipis. Mama-mama sudah mengeluh mengawasi anak yang belajar aljabar, sistem pencernaan ataupun mengawasi pelajaran olahraga yang semuanya dilakukan dari rumah. Siapa yang tidak 'setengah mati' jika harus PSBB?
Sebagai ‘warga negara’ yang tidak ingin turun kelas jadi ‘rakyat’ apalagi kawanan ‘kerbau’ besar harapan di hati agar Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, sebagai aktor utama pengatur ‘lalu lintas’ keputusan di ranah publik bisa duduk bersama-sama dengan warganya mencari penyelesaian masalah ini. Kegagalan kita dalam menghadapi krisis ini jadi bukti bahwa sumber daya akan selalu terbatas dan tidak cukup, tapi jika bersama-sama kita mau duduk, berdialog dengan cukup kerendahan dan kejujuran hati berupaya menyelesaikan masalah, masihkah kita manusia yang diciptakan dengan akal-budi ini tidak bisa mengeluarkan diri dari permasalahan?
Menentukan PSBB dan tidak PSBB bukan hanya bermodal sabda dan ikut-ikutan. Jika memilih PSBB, maka harus ada langkah tegas terukur yang harus diambil. Sampai kapan PSBB akan dilakukan dan apa ukuran yang digunakan untuk menentukan masa akhirnya, dan bagaimana ukuran itu akan diimplementasikan. Bukan hanya sekedar mengurung warga di rumah.
Jika tidak memilih PSBB harus juga ada rasionalisasi yang jelas. Tidak bisa terus menerus ada di zona yang abu-abu dan pasif. Dalam memilih PSBB atau tidak PSBB kita tidak bisa mengambil tindakan biasa-biasa saja. Sudah baik spirit penolakan PSBB-nya yang mempertimbangkan kesusahan masyarakat.
Namun yang belum ada adalah, keberanian untuk mengambil tindakan luar biasa dengan akurasi tinggi memastikan konsekuensi pilihan tidak jadi malapetaka bagi semua. Covid-19 perlu dihadapi dengan segala kemampuan dan kepekaan indra untuk menangkap realitas dan opsi-opsi yang tersedia, bukan sekedar menjadi kerbau yang mengeluarkan bunyi yang tak peduli apa pun makanan yang ditelannya.
*Penulis adalah peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) dan anggota Forum Academia NTT
0 Response to "Jangan Jadi Kerbau di Era Pandemi"
Posting Komentar