Oleh: Dominggus Elcid Li *
Natal kelabu hampir tiba tahun ini. Bunyi petasan yang dibeli dan dimainkan sendiri oleh para penjualnya menandai penuhnya tempat tidur sekian rumah sakit di Kupang akibat angka penderita COVID-19 yang butuh dirawat semakin merangkak naik. Sementara itu menjelang akhir tahun para birokrat sibuk menghabiskan anggaran, sedangkan COVID-19 dianggap bisa ‘sembuh sendiri’ tanpa perlu usaha. Mereka terbiasa menghafal, sehingga tidak tahu apa yang hendak dibuat meskipun air sudah tiba di batang leher.
Ya, ini memang pangggung para penipu. Para tukang tipu yang seolah bertindak sebagai ‘tukang sulap’. The Magician. Di atas panggung mereka menyebutkan kata-kata ‘Agar kita semua semakin sejahtera’ dalam setiap pertemuan yang menghadirkan para tukang dengar yang sudah mati rasa akibat terlalu sering ditipu. Agar tampak waras dikutiplah angka-angka, agar logika sederhana dikira ada. Minimal untuk beberapa detik. Agar sejenak benak orang terasa bergerak maju. Diselingi dengan cerita pengurai tawa.
Kadang mereka yang hadir tertawa mendengar lelucon di tanah kering. Lebih sering mereka pulang membawa mimpi kering dari pertemuan.
Para penipu ini juga sering bermain orang-orangan berseragam. Berteriak keras seolah berwibawa. Kalau perlu kutip sana-sini, agar tampak tahu. Dan sebisa mungkin terlihat bijak. Beberapa jongos dipersiapkan untuk selalu membungkuk dan diberi makan untuk tetap setia. Panggung-panggung ini mereka bawa kemana pun pergi. Bahkan hingga ke rumah adat yang seharusnya sakral. Dikiranya nenek moyang butuh tipuan mereka. Bikin sesuatu juga belum, tapi lagak seperti mereka bertaruh nyawa pergi ke bulan.
Menghadapi situasi ini, para pengamat juga sibuk mencocokan dengan ‘teori mereka’. Ya, teori yang sudah gagal sebelum ditulis, karena tidak pernah sampai ke titik pengertian. Sekedar numpang tempel. Bukan apa-apa, penipuan para tukang tipu ini terlalu jelas untuk tidak dilihat, tetapi para pengamat memilih untuk menipu diri. Agar selamat. Sambil itu mereka sibuk membayangkan Q1, Q2, Q3. Ini bukan simbol film porno. Ini level jurnal ilmiah.
Setiap tukang tipu, punya cerita pendukungnya masing-masing. Mereka begitu bersemangat untuk saling menjegal. Tipe utama politikus-pengusaha adalah mereka dicitrakan sebisa mungkin sebagai orang baik yang suka memberi. Tak hanya itu mereka amat disiplin bangun pagi, bekerja, merancang strategi untuk mencuri. Kenapa para pekerja keras ini mencuri? Ya, supaya ada duit yang dipakai untuk menggerakan sistem yang sudah mampus ini.
Coba tengok mental para pegawai. Tidak ada uang, tidak ada pergerakan. Meskipun kematian sudah di ujung hidung, tetap saja sibuk mencuri. Apakah mencuri itu tidak dosa? Lalu dia mulai bertutur ‘Kau tahu semua yang suci itu sudah saya beri, saya beli usus mereka…Rantai-rantai makanan mereka saya kasi mulai dari anak, menantu, hingga cacing dalam perut-perut mereka.’ Menurutnya semua harus mau, sebab untuk bertengger dalam ‘jabatan publik’ tidak ada yang gratis.
Di tanah kering ini para penipu bergentayangan. Berseragam pula. Apa kata dunia mendatang mengenang periode kita tentang para penipu yang gemar berseragam dan bergerombolan jika berjalan. Laksana para bebek yang sedang latihan fitness bersama-sama. Ribut sekali. Agar kelihatan serius, para setan gentayangan ini mengangkat juru bicara. Tugas juru bicara adalah mengatakan semuanya dengan cara berbicara tentang apa saja menanggapi seluruh pertanyaan, tetapi tidak berarti apa-apa.
Tugas juru bicara adalah menipu sehalus mungkin, sehingga para jurnalis lapar tidak sadar dan sempat mengajukan pertanyaan yang ada darahnya. Ya, pertanyaan yang dilontarkan lebih sering mekanis, tiada beda. Isi tidak disentuh, apalagi mengurai penderitaan.
Ah, kamu ngomong apa? Si jurnalis juga mengaku tidak tahu apa yang ia tulis, yang penting itu berita di-klik. Agar usus tidak dikilik-kilik dan penagih hutang jauh dari muka pintu. Intinya, tidak usah bicara apa adanya jika mau selamat.
Di era pandemi ini virus penipuan makin merajalela. Tipuan harus dilakukan dengan fokus maksimal. Mengatakan yang besar-besar, sambil mulut penuh bualan, dan hadirin membuka mulut secara rutin. Entah tersenyum, tertawa lebar, dan yang paling sering menggerutu. Tapi yang terakhir ini dilakukan di toilet. Tidak ada lagi keberanian yang tersisa. Pun jika berani tidak tahu caranya bagaimana menjadi manusia merdeka.
Di negeri para tukang tipu orang sibuk cari selamat sendiri. Konon virus tidak membunuh jika dilakukan bersama-sama dengan keyakinan yang sama. Tipuan yang diyakini amat sulit dibantah. Apalagi ditambah dengan gelegar suara, kuasa tak terbatas, artinya semua yang mungkin dibeli sudah dibeli, dan semua yang kejam sudah diambil alih, dan semua yang suci sudah takluk.
Di atas panggung itu kuncup-kuncup bunga yang pernah dianggap akan mekar sibuk membela koruptor, para pencuri, atas nama seragam yang sama. Bagi mereka ini tak lebih dari kongsi dagang. Kebetulan pintu masuknya butuh kata sandi ‘rakyat, negara, kesatuan, dan republik’.
Di negeri yang air cebok untuk para punggawanya adalah air mineral yang dibeli dari uang hasil menjarah tanah, hutan, dan darah manusia semakin hari kata-kata tipuan diterima baik. Dengan nada hipokrit penuh kedamaian. Jika ingin selamat, tertawalah meskipun tidak lucu. Jika ingin jabatan, jilatlah meskipun penuh kotoran. Jika ingin tampil, bunuhlah semua yang indah. Mantra kematian berjalan bersamaan dengan gerak maju para penipu membelah kita.
Kupang, 17 November 2020
*Penulis: Direktur Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC), Anggota Forum Academia NTT.
0 Response to "Panggung Para Penipu"
Posting Komentar