Jakarta, LekoNTT.com - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 5 Oktober 2020, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang meski pembahasannya mendapat kecaman dari publik. Pengesahan yang berlangsung saat Indonesia masih di bawah tekanan pandemi ini, didukung mayoritas fraksi di DPR, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Sedangkan dua Fraksi lainnya, Demokrat dan PKS menolak pengesahannya.
Sebagaimana video yang beredar luas di jagat maya, perwakilan dari Fraksi Demokrat dan PKS menyatakan secara tegas menolak disahkannya RUU tersebut. Kedua fraksi itu kemudian memilih walkout dan tidak bertanggungjawab atas pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya dalam persidangan, perwakilan fraksi yang ingin menyampaikan aspirasi dibungkam suaranya lewat mute mic yang dilakukan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani. Aksi Puan ini kemudian dikecam publik terutama netizen karena dianggap membungkam suara rakyat.
Fokus Kritik dan Penolakan Publik
Fokus utama dari kritik publik adalah prosedur pembahasan yang cenderung mengabaikan aspirasi publik; yang terdampak langsung oleh regulasi ini. Indonesia tengah dilanda pandemi, diikuti dengan adanya sejumlah pembatasan ruang gerak demi mencegah penyebaran virus. Tapi di saat rakyat diimbau untuk patuh, pemerintah dan DPR secara 'diam-diam' meneruskan pembahasan.
Ada tekanan kuat dari publik agar pembahasan dihentikan. Negara, dalam hal ini pemerintah diminta untuk fokus pada penanganan Covid-19 yang makin mewabah. Permintaan itu pun untuk mengurangi kegaduhan publik, tapi suara-aspirasi itu tidak didengar oleh pemerintah dan DPR.
Selain prosedur pembahasan, penolakan publik terutama pada substansi dari Omnibus Law. Publik menilai, dengan adanya Omnibus Law akan merugikan buruh dan kepentingan negara dalam jangka panjang.
Undang-undang sapujagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus. Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan. Namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir.
Pemerintah merevisi cukup banyak pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan. Revisi itu terkesan memberi kemudahan bagi pengusaha ataupun investor, tapi di saat yang sama merugikan pekerja. Undang-undang baru ini pun melonggarkan kebijakan untuk mendorong investasi, namun akan memiliki implikasi yang membahayakan lingkungan dalam jangka panjang.
Undang-undang terkait dengan jurnalis dan media pun diubah. Beberapa di antaranya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan.
AJI Indonesia dalam Menyikapi Omnibus Law
Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja membuat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia beri kecaman keras kepada pemerintah dan DPR. AJI Indonesia menilai, pengesahan itu dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik.
Pembahasan undang-undang memang sudah dipersoalkan sejak awal karena rendahnya partisipasi publik dalam pembahasan, terutama dari kelompok yang terdampak langsung dari regulasi tersebut, di antaranya adalah buruh. Pertanyaan soal partisipasi itu makin besar karena DPR dan pemerintah ngotot tetap melakukan pembahasan pada saat negara ini menghadapi pandemi. Saat undang-undang ini disahkan, kasus infeksi sudah lebih dari 311.000 dan lebih dari 11.000 meninggal.
"Sikap ngotot pemerintah dan DPR ini menimbulkan pertanyaan soal apa motif sebenarnya dari pembuatan undang-undang ini. Kami menilai bahwa pembahasan yang cenderung tidak transparan dan mengabaikan aspirasi kepentingan publik ini karena pemerintah ingin memberikan insentif yang besar kepada pengusaha agar investasi makin besar meski mengorbankan kepentingan buruh dan membahayakan lingkungan hidup," kata Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan pada Rabu (7/10) melalui situs web AJI.
Menurutnya, Pemerintah Joko Widodo sendiri sejak awal memang menggadang-gadang Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Tujuannya hanya untuk menggenjot investasi.
AJI Indonesia pun mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena merevisi pasal-pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang justru mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan. Hal ini ditunjukkan dari revisi sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur dan pekerja kontrak.
"Omnibus Law ini membolehkan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 melarang PHK dengan alasan efisiensi."
Omnibus Law juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan menyerahkan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah. "Praktek ini tentu saja bisa merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja tetap. Ketentuan baru ini membuat status kontrak semacam ini akan semakin luas dan merugikan pekerja media."
Omnibus Law juga mengurangi hari libur, dari semula bisa dua hari selama seminggu, kini hanya satu hari dalam seminggu. Pasal soal cuti panjang juga dihapus dan menyebut soal pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Ketentuan soal ini juga disebut harus diatur dalam perjanjian kerja bersama. "Padahal kita tahu bahwa mendirikan serikat pekerja di media itu sangat besar tantangannya sehingga sebagian besar media kita tidak memiliki serikat pekerja."
Di lain pihak Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Revolusi Riza menjelaskan Omnibus Law juga menghapus pasal sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan. "Ini bisa menjadikan kesejahteraan jurnalis makin tidak menentu karena peluang pengusaha memberikan upah layak semakin jauh karena tidak ada lagi ketentuan soal sanksi," katanya.
Selain itu, AJI Indonesia pun memberi kecaman atas pengesahan Omnibus Law karena merevisi Undang-Undang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Omnibus Law ini akan membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh. Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perizinan penyiaran, dihilangkan."
Dihapusnya pasal tersebut pun menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi, 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain. Ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah.
"Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat undang-undang, bukan di Peraturan Pemerintah," tutup Riza. (red-ht-klk)
0 Response to "Omnibus Law Cilaka Sah, Pekerja Rugi, Demokratisasi Penyiaran Terancam"
Posting Komentar