Merekam Kota Kupang: Pameran
Arsip Publik bertajuk Memori, Ruang dan
Imajinasi yang diinisiasi Komunitas Sekolah Multimedia Untuk Semua
(SkolMus) punya banyak kisah. Minggu, 18 Oktober 2020 tepat pukul 22.00 WITA
atau tiga jam setelah pameran ditutup, gedung bekas Minerva Ijs Fabriek (Pabrik
Es Minerva) tempat pameran dilangsungkan sudah dikosongkan, gerbang dan
pintu-pintu pun telah ditutup.
Di dalam itu gedung, tak ada
lagi pengunjung maupun panitia penyelenggara. Hanya ada arsip-arsip masa lalu
yang dipajang dengan instalasi sarat seni di dinding-dinding gedung dilingkupi
remang-remang cahaya pijar-kekuningan. Musik instrumental dari speaker bluetooth mungil di sudut
ruangan di dekat bekas box es bikin isi gedung yang dibangun pada tahun 1930-an
atau sebelum Perang Dunia II itu makin antik-romantik.
Sedang di luar gedung, para
penyelenggara dan sebagian pengunjung yang belum mau pulang khusyuk dan asyik
dalam cerita-cerita lepas. Ifana Tungga, salah satu anggota Tim Arsip berkisah
tentang proses pengumpulan arsip selama 10 bulan; Frengky Lollo, ketua Tim
Instalasi pameran bicara soal kekurangan-kekurangan instalasi yang belum sempat
dilengkapi, Armin Septiexan, Kepala SkolMus sedikit berkisah tentang usahanya
mengkoordinir segala kebutuhan terkait pameran, 15 menit setelahnya ia lalu
memilih lelap di lantai di halaman depan rumah pemilik Minerva saat ini.
Merekam Kota dan Mama-Mama Pemilik Lapak Jualan
Di saat Armin benar-benar lelap
oleh sebab lelah, datanglah sekelompok mama-mama; ialah para penjual makanan
dan minuman di Pasar Malam Kampung Solor, Jalan Siliwangi Kota Lama, Kupang. Jarak
pasar yang sangat dekat-kurang lebih tiga meter membuat mereka penasaran akan
aktivitas di dalam gedung tua berukuran 10×26 meter itu. Sejak persiapan hingga
Pameran Arsip Publik dibuka pada 17
Oktober 2020 lalu, mama-mama yang setiap sore hingga tengah malam berjualan di
pasar itu mengira sedang ada program shooting
film.
“Selama ini katong kira ada syuting film setan,”
kata seseorang di antara mereka yang akrab disapa Mbak Ririn.
Dugaan itu muncul sebab sehari
(16 Oktober 2020) sebelum pameran dibuka, panitia penyelenggara melakukan
rekaman video terhadap teatrikal “Kota” yang dibawakan oleh kelompok Teater
Arspira. Namun dua hari setelahnya, aktivitas di Pabrik Es Minerva tetap
berjalan. Orang-orang mulai berkunjung, mama-mama pun makin bingung: “ada apa?”
Persis di saat gedung peninggalan
Tjiong Koen Siong itu kosong, mama-mama yang tadinya sibuk melayani pengunjung
di lapak-lapak kesayangan menyempatkan diri berkunjung. Sebab segala aktivitas
di gedung dengan atap perisai itu menimbulkan banyak tanya di benak mereka.
“Bismillahirrahmanirrahim," doa seorang mama berjilbab ungu, jelas terdengar di telinga para panitia yang duduk-berjejer di lorong di dekat pintu keluar. Kata mereka, gedung itu memang ‘menyeramkan’ sebelum dijadikan tempat Pameran Arsip Publik. Dan, mama-mama itu memang izin untuk masuk lewat pintu keluar.
Asis Nadjib, salah satu panitia
berusaha menjelaskan bahwa pameran telah ditutup, di saat yang sama ia seperti
diserang suara mama-mama itu. “Katong
tadi sibuk jualan kakak. Su bertahun-tahun
katong jualan di sini, tapi belum
pernah masuk ke sini. Boleh katong
masuk lihat-lihat ko kakak?” ungkap
seorang mama didukung mama-mama yang lain lagi. Asis yang tidak mau jadi ‘anak
durhaka’ akhirnya mengizinkan mama-mama itu masuk setelah disetujui panitia
lainnya.
Kurang lebih 20 menit, mama-mama
itu ada di dalam ruang pameran. Satu per satu arsip yang dipajang diamati,
tanpa diam. Ruangan yang tadinya ‘sepi’ seketika jadi riuh. Suara-suara sarat
cerita pecah di dalam ruangan. Ifana Tungga tampak jadi bingung. Di saat ia
berusaha menjelaskan, mama-mama itu malah balik menjelaskan dengan menghadirkan
memori tentang beberapa arsip: Tugu HAM, Terminal Kupang-Teddy’s, Pelabuhan
Tua, Bioskop Raya, lorong pertokoan dan beberapa arsip lainnya. Ifana dan beberapa
panitia seperti Alwi Kolin dan Ete Umbu Tara akhirnya lebih banyak menyimak
sambil mendokumentasikan momen tersebut.
“Di samping Teddy’s dulu katong sebut Pos Satu. Dulu beta jualan di situ, tahun 80-an. Dulu ju katong
ame es batu di sini (Pabrik Es
Minerva), sampai taon 1998 masih ada,” kata Mbak Ririn. “Di depan Minerva itu
Taman Kota, dulu ramai sekali. Katong
lahir taon 70-an nah, masih dapat
Taman Kota yang lama,” sambung Bibi Nona.
Sama seperti mama-mama yang
lain, Bibi Nona juga punya kisah tentang ini kota sewaktu remaja. Arsip-arsip
itu telah ‘memanggil’ datangnya memori masa lalu di isi kepala.
“Beta terbayang masa lalu. Biasa habis lari sore, katong ketemu katong pung nyong di
sini. Dulu bagus, kalau mau bilang beta
senang tampilan yang dulu. Kalau sekarang buat katong pung mata sakit. Terima
kasih buat kakak-kakak semua yang sudah buat acara ini, bagus sekali,” kata
Bibi Nona sambil menunjuk foto Tugu Sonbai.
“Kakak dong mau makan apa? Minum apa? Ikan bakar? Es Jeruk? Es Teh?” Bibi
Nona menawarkan jualannya kepada para penggiat untuk dinikmati secara gratis. Asis
Nadjib menolak, khawatir mama-mama rugi. “Sonde
apa-apa sayang, itu buat kakak dong
karena su kasih izin katong masuk.” Beberapa
menit kemudian, 12 gelas es teh dinikmati panitia. ***
0 Response to "Merekam Kota Kupang, Shooting Film Setan?"
Posting Komentar