Oleh: Ardy Milik*
Krisis kebebasan beragama di Indonesia sedang berada dalam titik akut. Data dari Setara Institute menunjukan bahwa sepanjang lima tahun terakhir terjadi peningkatan perilaku intoleran antar umat beragama dan penghayat kepercayaan.
Pada tahun 2019 Setara Institute mencatat 10 besar propinsi dengan kasus terkait kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi yakni; Jawa Barat (162 kasus), DKI Jakarta (113 kasus), Jawa Timur (98 kasus), Jawa Tengah (66 kasus), Aceh (65 kasus), DI Yogyakarta (37 kasus), Banten (36 kasus), Sumatera Utara (28 kasus), dan Sulawesi Selatan (27 kasus). Umumnya konflik antar umat beragama ini terjadi antara kelompok mayoritas dan minoritas, serta tidak adanya sikap tegas negara untuk mengakhirinya.
Lemahnya peranan negara dan ketidakmampuan memberikan kebebasan beragama bagi semua warga, salah satunya tercermin dalam beberapa kasus intoleran seperti: pelarangan ibadah natal pada umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat pada 14 Desember 2019. Dalam kasus ini, justru pemerintah daerah yang melakukan tindakan diskriminatif dengan tidak membolehkan umat Kristiani merayakan ibadah Natal bersama.
Efek Media Sosial
Penggunaan media sosial yang salah sasar dengan mudah menyulut kebencian antar umat beragama. Cepatnya arus informasi, tidak ada verifikasi atas postingan yang beredar, dan kekuatan buzzer dalam melakukan propaganda bagi pengguna media sosial menjadikan berita bohong tersebar dengan cepatnya hingga memicu konflik di tengah masyarakat.
Selain itu, media sosial sebagai sarana komunikasi publik dapat menjadi medium kampanye yang menyejukkan hubungan antar umat beragama. Produksi konten-konten kreatif dalam bentuk caption, mems dan video yang menggambarkan damainya hubungan antara umat beragama turut menciptakan perasaan bersama sebagai suatu bangsa yang tidak dibatasi oleh pulau, suku, agama dan ras.
Kehadiran konten yang menyejukkan di media sosial tidak berangkat dari ruang hampa, ia mengangkat kenyataan keseharian suatu entitas masyarakat yang menghidupi nilai-nilai toleransi dan kebersamaan dalam tradisi yang telah dihidupi turun-temurun. Warisan nilai dan tradisi inilah yang membuat keberagaman Negara bangsa Indonesia menjadi perekat yang menyatukan sekian sekat perbedaan.
Negara dan Toleransi
Kehadiran negara dalam memberikan rasa aman bagi warganya telah diamanatkan dalam pasal 28 dan 29 UUD 1945. Kedaulatan individu yang diberikan pada negara sebagai bentuk kesepakatan bersama agar negara dapat mewujudkan hak asali warga yakni memeluk dan melaksanakan ritus keagamaannya secara bebas dan bertanggungjawab.
Negara merupakan sistem organisasi masyarakat yang berdaulat. Di dalam negara sebagai suatu organisasi masyarakat, terdapat sekelompok orang yang bekerjasama dan membagi tugas demi mencapai kesejahteraan bersama (Kealan MS: 2013). Demi mencapai cita-cita tersebut, setiap warga negara memiliki andil dalam mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama setiap warga sesuai dengan kapasitasnya.
Jaminan keamanan dari negara diharapkan mampu menciptakan kondisi aman sehingga pemeluknya dengan sadar dan tahu melakukan ritus keagamaannya, mengaplikasikan dalam kehidupan harian serta bersama mewujudkan kehidupan yang damai lagi adil sesuai dengan amanah ajaran imannya.
Kehadiran negara tak terbatas pada golongan keagamaan tertentu yang hanya ditetapkan dalam perundang-undangan yang berlaku, melainkan hadir bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, kelangsungan jaminan kebebasan dan keadilan dalam beragama lahir bukan karena individu memeluk agama tertentu melainkan karena ia adalah warga negara berdaulat.
Praksis beragama yang bebas tidak hanya berlaku momental. Damai ketika bukan hari raya. Nyaman saat tak ada pembangunan tempat ibadah. Menjadi kacau ketika menjelang hari raya, maraknya perilaku intoleran.
Apalagi, menjelang hari raya terbit peraturan normatif yang mengekang kebebasan beragama. Sepanjang umur republik ini, sepanjang itulah negara berkewajiban mengusahakan kebebasan beragama bagi pemeluk agamanya.
Sejatinya nilai-nilai luhur yang terkandung inheren dalam praksis agama-agama di Indonesia memiliki nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang dapat menjadi titik temu dalam berdialog satu dengan yang lainnya. Termasuk di dalamnya agama-agama samawi maupun agama-agama tradisional, misalnya pemuda lintas agama mengatur parkir saat sholat berjamaah di masjid.
Jamaknya tegangan antara keduanya merupakan konsekuensi dari diskrepansi pemahaman sampai penghayatan terhadap teologi setiap agama. Mengakui bahwa setiap agama punya kandungan nilai harmoni adalah kunci menuju tenggang rasa dalam hidup harian.
Implikasi logis dari ketidakmampuan memahami dan mengakui ajaran iman agama lain meningkat pada konflik antara mayoritas dan minoritas agama. Kedigdayaan mayoritas seolah mendapat legitimasi untuk mendiskreditkan bahkan merepresi minoritas. Parahnya, kekerasan atas nama agama ini difasilitasi oleh negara.
Difasilitasi dalam artian negara tidak mampu melindungi korban perilaku intoleran dan melakukan pembiaran terhadap tindakan represif yang belum tentu mewakili sikap keseluruhan pemeluk agamanya. Tidak semua pemeluk agama menghendaki kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Hanya karena sesat pikir dan tindakan yang brutal dari seorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama.
Peranan Negara
Demi mengoptimalkan peran negara dalam menjamin kebebasan beragama warganya, butuh keterlibatan aktif semua individu dalam setiap tingkatkan kelas. Nilai kemanusiaan yang menjadi prinsip dasar dalam kehidupan sebelum terpilah dalam agama-agama merupakan bekal bawaan yang harusnya menciptakan rasa sepenanggungan dan seperasaan dalam duka dan tawa antar sesama manusia.
Bahwa saya mengakui engkau sebagai manusia bukan sebagai manusia beragama tertentu atau manusia dengan predikat tertentu melalui internalisasi pemahaman akan pengakuan terhadap sesama yang beragama lain. Interaksi yang rutin dengan yang berbeda kepercayaan melalui kegiatan-kegiatan konstruktif dapat mengurangi prasangka antar yang berbeda, dengan demikian akan terbuka jalan menuju dialog.
Memilih jalan dialog daripada konflik dapat terwujud secara berkelanjutan bila negara benar-benar hadir memberikan dirinya dalam bentuk ketetapan yang jelas tidak berat sebelah. Negara hendaknya berani keluar dari kerangkeng normatifitas kaku dan melaksanakan kebijakannya melampaui sekat birokrasi yang berbelit-belit. Usaha menciptakan perdamaian tidak sekedar dalam bentuk program-program yang habis nilainya ketika masa berlaku program tersebut selesai, melainkan berusaha terus menginternalisasikan nilai dari program tersebut ke dalam kehidupan harian para peserta.
Kehadiran negara ini tidak saja melulu melalui institusi yang fokus mengurusi urusan keagamaan, yang mandatnya mengusahakan kerukunan antar umat beragama seperti Forum Kerukunan Umat Beragama. Dalam jalinan kerja sama kolaborasi dengan orang muda, komunitas kreatif dan warga yang berbeda keyakinannya diharapkan dapat menciptakan suatu tatanan kehidupan bersama yang harmonis, adil dan damai.
Usaha menuju tatanan kehidupan itu membutuhkan kerja sama yang kuat dan erat dari semua pihak yang menjiwai nilai-nilai persatuan, kemanusiaan dan keadilan dalam pikiran dan perbuatannya, sehingga dapat menjadi titik temu dalam mengusahakan kebaikan bersama bagi negara bangsa Indonesia. Usaha mencapai kebaikan bersama ini mewujud dalam aktualisasi diri demi meraih prestasi terbaik sebagai sumbangsih pribadi terhadap kemajuan bangsa (Latif: 2020, hlm 83).
Bagaimana Negara Menciptakan Dialog
Negara harus kembali merumuskan tujuan berdirinya dengan merujuk pada konstitusi dan ideologi negara; Pancasila, sesuai dengan kebaharuan zaman. Tafsiran yang kontekstual dengan kondisi terkini memungkinkan keberlanjutan negara. Mencapai kesejahteraan bersama sebagai tujuan negara, mensyaratkan adanya kebebasan dalam menentukan pendapatnya serta berusaha menjamin sikap keterbukaan dari setiap agama untuk mencapai kemerdekaan dalam mengekspresikan diri dan agamanya.
Model keterbukaan dalam berdialog antar agama bertolak dari kejujuran dan keterbukaan untuk mengakui persoalan di masa lalu yang sempat menjadi luka dalam perjalanan sejarah. Meminta maaf serta berusaha menjalin rekonsiliasi dari persoalan masa lalu yang mendera, memungkinkan dialog antar umat beragama dapat terlaksana tanpa adanya prasangka.
Dalam menciptakan kebebasan beragama, konsep toleransi bukan saja berarti membiarkan atau mentolerir suatu keadaan tertentu, melainkan mengakui bahwa keberadaan suatu agama mempunyai nilai-nilai keterbukaan dalam mewujudkan kedamaian di muka bumi ini. Lawan dari toleransi adalah intoleran. Intoleran berarti sikap teguh pada peraturan tanpa pengertian apa pun bagi yang melanggarnya (Kleden: 2006).
Usaha menciptakan kedamaian, perdamaian, dan keadilan hanya bisa terwujud jika kehendak untuk merubah kondisi kehidupan beragama menjadi lebih baik, tumbuh dalam kesadaran laku dan tindakan setiap komponen masyarakat mulai dari pranata paling utama yakni, keluarga.
Negara tidak dapat masuk ke dalam ruang privat ini, tapi menjamin keberlangsungan hidup dan tumbuhnya spirit keberagaman dan pengakuan terhadap yang lain melalui pengarusutamaan kemajemukan sejak masih dalam rumah. Hal itu disertai dengan regulasi yang tidak berat sebelah atau membiarkan anak-anak terpapar pada penyebaran ujaran kebencian yang merasuk melalui kegiatan yang diselenggarakan di tingkat rukun tetangga.
Harmoni di Tengah Masyarakat
Mengusahakan hidup harmoni dalam keseharian adalah perkara menyatukan berbagai keragaman pendapat, pemikiran dan tindakan yang sedianya dapat bertemu dalam perjumpaan antar wajah, saling tegur sapa, membalas senyuman demi menghilangkan prasangka atau kepura-puraan. Keragaman yang bertolak belakang itu mencapai titik temunya dalam kesadaran untuk mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang jauh dari pertikaian akibat mudah tersulut dengan intrik politik atau adu domba. Menghargai pencapaian setiap pemeluk agama yang adalah manusia dan mengusahakan terjadinya dialog yang berkelanjutan.
Dialog yang berkelanjutan ini, memungkinkan adanya komunikasi intens dalam menangani persoalan kemanusiaan yang membutuhkan kerja sama lintas agama. Komunikasi itu dibutuhkan untuk mengurai sengkarut persoalan yang mengurat akar di masyarakat seperti korupsi, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan perdagangan orang ataupun tanggap terhadap situasi bencana yang menimpa belahan daerah lainnya di Indonesia.
Melalui karya-karya nyata yang membebaskan, rumah negara bangsa Indonesia dapat terjaga dari berbagai bentuk rongrongan, baik dari dalam sikap ekstrimisme fundamentalis yang menolak jalan dialog, hanya mementingkan satu tujuan. Selain itu, upaya destruktif dari luar berupa penguasaan sumber daya politik dan ekonomi hanya pada sebagian kalangan yang dapat memicu kecemburuan sosial sehingga gampang dipolitisir menjadi konflik mengatasnamakan agama.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sudah membuktikan itu. Belajar dari sejarah kelam di masa lalu, kita patut berbenah, menjaga kewarasan akal, merawat nurani demi memastikan masa depan negara bangsa Indonesia yang dapat diwariskan kepada anak cucu sebagai rumah bersama yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, bermusyawarah dan berkeadilan.
0 Response to "Mengurai Peran Negara dalam Menciptakan Kebebasan Beragama"
Posting Komentar