Memperingati 21 tahun kecintaan Warga Negara Indonesia (WNI) ex Timor-Timur terhadap Indonesia, kelompok pemudi-pemuda yang tinggal di Camp Pengungsian Tuapukan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur melakukan aksi-demonstrasi pada Jumat, 4 September 2020. Selama ini WNI ex Timor-Timur hidup dalam berbagai persoalan. Solusi-solusi yang ditawarkan pun jadi sumber masalah baru bagi mereka.
Tidak punya tanah, tidak punya rumah, tidak punya lahan garapan, itu sedikit persoalan fundamental dari sekian banyak persoalan hidup yang mereka alami. Pemerintah Indonesia masih saja melakukan 'pembiaran'.
Tidak punya tanah, tidak punya rumah, tidak punya lahan garapan, itu sedikit persoalan fundamental dari sekian banyak persoalan hidup yang mereka alami. Pemerintah Indonesia masih saja melakukan 'pembiaran'.
Berikan Kepastian Status Tanah bagi Warga Camp Pengungsian 1999*
Hidup dalam ketidaklayakan, itu realitas obyektif yang tergambar jelas di setiap camp pengungsian warga eks Timor-Timur di Timor Barat. Kata 'pengungsi' sejatinya sudah tidak pantas dilabelkan kepada warga eks Timor-Timur yang sudah dua dekade ada bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 22 Desember 2002, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) telah mendeklarasikan cessation of status yaitu penghapusan status pengungsi eks Timor-Timur yang ada di Indonesia dan hal yang sama pula dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Nyatanya penghapusan status pengungsi itu tidak memberikan dampak yang lebih baik untuk kehidupan warga eks Timor-Timur. Tetapi hanya mengaburkan realitas penderitaan para pengungsi.
Resettlement, Solusi Sekaligus Persoalan Baru
Pasca penghapusan status pengungsi, resettlement menjadi solusi terbaik dari prespektif pemerintah dan PBB sesuai dengan konvensi tentang pengungsi (durable solution) dalam penanganannya. Kebijakan itu sebagai awal dari aktivitas relokasi atau pemukiman kembali warga eks Timor-Timur yang berada di camp
/ barak pengungsian ke tempat-tempat yang sudah dibangun oleh pemerintah.
/ barak pengungsian ke tempat-tempat yang sudah dibangun oleh pemerintah.
Apakah relokasi ke resettlement itu menjadi solusi terbaik penanganan para pengungsi? Ataukah sebuah tindakan yang memunculkan efek domino? Apakah dengan penghapusan status para 'pengungsi' pada 2005 lalu menjadikan para pengungsi sebagai WNI yang memilik hak dan kewajiban sebagai warga Negara?
Pada Jumat pagi, 4 September 2020 kelompok pemudi dan pemuda yang tinggal di Camp Tuapukan melakukan aksi demonstrasi. Mereka mengingatkan pemerintah Republik Indonesia bahwa masih banyak warga Negara Indonesia Eks Timor-Timur yang masih hidup di camp pengungsian, terlupakan.
Aksi ini sekaligus memperingati 21 tahun kehidupan WNI Eks Timor-Timur pasca pengumuman hasil jajak pendapat 4 September 1999 di Timor Barat.
Setelah aktivitas relokasi dari tiap camp pengungsian, ternyata masih banyak warga yang belum pindah ke tiap resettlement. Hal itu disebabkan oleh beberapa persoalan dasar yang menjadi hambatan untuk setiap warga. Ada warga yang tidak terdaftar sebagai penerima resettlement, ada juga yang tidak bersedia untuk menempati resettlement meskipun namanya terdaftar.
Bagi warga yang tidak mendapatkan resettlement harus berbesar hati dan menjalankan kehidupannya di camp pengungsian. Tidak ada tindak lanjut jelas dan konsisten oleh pemerintah untuk menanggapi persoalan para warga pengungsi yang masih hidup di camp, bahkan mereka dilupakan dalam kesunyian panjang seperti panjangnya penderitaan mereka.
Tujuh tahun setelah program relokasi ke resettlement, angin segar berhembus dari Kementerian PUPR dengan dana untuk permukiman. Melalui program Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan total dana 1 triliun rupiah pun tidak sedikit menyentuh ataupun berdampak bagi warga ex Timor-Timur. Sebut saja Camp Noelbaki, Camp Tuapukan dan Camp Naibonat di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Warga ex Timor-Timur yang sebenarnya memenuhi syarat untuk penerimaan dana itu harus kembali kehilangan harap, sebab dana pemukiman untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak menjadi milik mereka. Para warga menduga, pemerintah terkesan kurang adil dalam memperlakukan penghuni camp sehingga mereka tidak mendapatkan bantuan itu.
Apabila dugaan itu terbukti benar adanya, maka pemerintah yang sejatinya menjadi alat Negara dengan tugas yang melekat padanya untuk menjamin kehidupan warganya kehilangan substansi dari eksistensinya. Maka hal itu akan memperkeruh, memperlebar jurang kemiskinan dan kemelaratan para warga penghuni kamp dengan warga negara lainnnya.
Adapun penghuni camp yang memilih menetap meskipun punya kesempatan untuk pindah ke hunian baru. Hal itu merupakan wujud dari kekecewaan warga ex Timor-Timur. Mereka merasa, hunian baru yang dibangun oleh pemerintah berupa resettlement sangat tidak layak. ketidaklayakkan itu teridentifikasi dari tidak dilengkapinya sarana air bersih, listrik, dan akses jalan yang memadai.
Keadaan diperparah lagi oleh rumah hunian yang sangat kecil dengan ukuran 5×6 meter persegi. Ukuran itu sangat sempit untuk tiap Kepala Keluarga yang memiliki anggota keluarga di atas enam orang. Selain itu mereka tidak punya lahan garapan, sedangkan mayoritas adalah petani yang keseharian mengantungkan hidup pada lahan garapan sewaktu di Timor-Timur.
Warga ex Timor-Timur merasa kebijakan relokasi pada setiap resettlement dengan setiap persoalan itu secara tidak langsung 'membunuh' mereka dengan perlahan-lahan. Bagaimana mungkin seorang petani bisa bertahan hidup tanpa lahan garapan? Konsekuensinya, para petani beralih profesi.
Persoalan itu menjadi lebih runyam ketika tempat yang menjadi hunian baru, dibangun pemerintah di atas tanah milik masyarakat lokal tanpa kejelasan dan ganti rugi. Itu akan mengakibatkan konflik sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan para penghuni camp.
Contoh kasus 'Oebelo Atas' dan 'Tanah Merah' yang tidak mendapatkan kejelasan status tanah dikarenakan resettlement itu digugat oleh seorang pengusaha yang mengaku pemiliki dari tanah itu. Oleh sebab itu, ada upaya dari mereka untuk meminta kepastian akan status tanah dalam bentuk sertifikasi kepada pemerintah tapi hasilnya nihil.
Kasus lainnya, tanah hunian baru yang diukur sewaktu Program Nasional (PRONAS) tahun 2019 hanya diberikan sertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB). Jika tanah yang menjadi hak dasar untuk manusia bisa hidup darinya hanya digunakan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan petaka baru setelah keluar dari camp pengungsian.
HGB akan diperpanjang 20 tahun sekali sehingga warga penghuni resettlement itu tidak mendapatkan kepastian status hak milik selamanya kecuali harus membeli. Fakta ini ada di resettlement Griya Permai Oebelo (GPO).
Dapat dikatakan, dana yang dialokasikan untuk pelepasan lahan untuk dibangunnya resettlement seperti GPO, Oebelo Atas dan Tanah Merah, sarat kepentingan dan memiliki indikasi manipulasi uang Negara. Dipindahkan dari camp ke resettlement dengan harapan hidup dalam kepastian, malah jadi masalah baru sama seperti efek domino.
Penghapusan Label 'Pengungsi', Tidak Menghapus Keadaan
Sebutan 'pengungsi', pantang bagi kita dan tentu saudari-saudara warga eks Timor-Timur. Tapi tidak bisa dipungkiri realitas sosial saat ini. Keadaan yang tidak terlalu berubah semenjak pertama kali mereka menjadi penghuni baru di Timor Barat pasca Referendum Timor-Timur 1999 lalu. Keadaan tidak berubah dalam artian mereka masih hidup seperti para pengungsi pada camp pengungsian pada umumnya.
Secara yuridis, warga eks Timor-Timur memang sudah menjadi warga Negara Indonesia. Tapi secara sosiologis, interaksi mereka masih seperti pengungsi yang selalu saja mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka berjuang untuk hidup dalam keadaan yang sangat melarat dan miskin di camp pengungsian.
Kemelaratan dan kemiskinan berakar dari ketidakpastian akan status tanah sebagai kebutuhan fundamental untuk menunjang kehidupan hari esok, jadi abstrak dan tanpa kejelasan. Di sisi lain, seringkali mereka tidak mendapat bantuan dalam cakupan infrastruktur seperti pengalian/pengeboran sumber air bersih, bantuan rumah, WC umum dan alat pertanian dengan dalih pemerintah: tanah yang mereka tempati bukan merupakan status hak milik sehingga mubazir jika diberikan kepada penghuni camp.
Dari setiap persoalan yang menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan, mutlak menjadi tanggung jawab Negara. Kondisi ini menunjukan ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani persoalan pengungsi bahkan pembiaran yang dilakukan oleh Negara. Keadaan itu seperti dipelihara oleh oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan kemiskinan mereka untuk kepentingan pribadi pada momen-momen pileg, pilkada dan pilpres.
Harus diakui bahwa masih banyaknya warga eks Timor-Timur yang menghuni camp akibat kelalaian penanganan dari pemerintah, seperti penyediaan resettlement yang bermasalah, tidak adanya pelepasan tanah untuk resettlement tertentu, daerah gersang yang tidak bisa dipakai untuk berccocok tanam, tidak adanya penyediaan air bersih dan tidak tersedianya sanitasi.
Hal demikian yang membentuk prespektif mereka, bahkan bagi orang menyaksikan kehidupan mereka, masih layak disebut sebagai 'pengungsi'. Agar bisa terlepas dari belenggu kemiskinan ini, mayoritas petani penghuni camp harus diberikan kepastian akan status tanah yang bisa dijadikan lahan garapan agar mereka tidak selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Dari runtutan persoalan di atas, maka Pemudi dan Pemuda Camp Pengungsian Tuapukan menuntut: “Segera Ukur dan Berikan Sertifikat Hak Milik atas Tanah Bagi Warga Camp Pengungsian Tuapukan!” Tuntutan ini disampaikan dalam aksi demonstrasi di Tuapukan, Kabupaten Kupang, NTT pada Jumat, 4 September 2020. (Aleksa)
*Tulisan ini diolah dari Pernyataan Sikap Pemudi-Pemuda Camp Pengungsian Tuapukan yang diterima Leko NTT pada Jumat, 4 September 2020.
0 Response to "21 Tahun Bukti Cinta Kepada Indonesia, WNI Ex Timor-Timur Terabaikan"
Posting Komentar