Di kamar, sendiri. Tak ada sepi, hanya saja isi tengkorak kepala sedang
sibuk bukan main. Mau tulis tentang apa atau siapa di ini hari? Tidak ada ide
menarik untuk dituangkan dalam teks. Kata-kata sampah? Kemarin sudah dibuang
dalam tulisan sampah! Lebih baik tidur saja, aman, nyaman lagi.
Baru saja mau tidur, handphone berdering. Nada suara Franky dan Jane
dalam “Perjalanan” itu seperti suara ayah dan ibu. Itu memang nada panggilan
yang sengaja kusematkan pada kontak mereka yang kebetulan pakai satu nomor
HP saja. Sudah tentu, panggilan itu datang dari ayah atau ibu, atau
kedua-duanya, atau kakak atau adik yang kehabisan pulsa dan memanfaatkan stok
pulsa ayah dan ibu untuk menelepon.
“Nana, jang talalu mete. Lu pung badan su kurus bagitu, sonde baik buat
lu pung kesehatan. Tidur su!” (Nana,
jangan begadang. Badanmu sudah terlampau kurus, tidak baik bagi kesehatanmu.
Segera tidur!”). Itu suara ibu mengawali percakapan dengan menyapa manja,
namaku. Selanjutnya, lupakan ini!
Ilustrasi di atas hanyalah suara-suara liar. Suara sesungguhnya ialah
suara yang akan kita dengar di dalam puisi Telepon
Tengah Malam karya Joko Pinurbo (Jokpin). Berikut puisinya:
Telepon
Tengah Malam
Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan
saja
Sudah sering aku terima telepon dan
bertanya
“siapa ini?”, jawabnya cuma “ini
siapa?”
Ada dering telepon, panjang dan keras,
Dalam rongga dadaku
“Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja.”
“Ini Ibu, Nak. Apa kabar?”
“Ibu! Ibu di mana?”
“Di dalam”
“Di dalam telepon?”
“Di dalam sakitmu.”
Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak
tidurnya.
2004,
Joko Pinurbo
Menulis sesuatu yang belum sempat dipikirkan orang
lain, sangat dekat, bahkan dilakukan dalam keseharian adalah salah satu
kekhasan Jokpin. Tampilan sangat simple, gurih, enak
dibaca dan dirasa. Kebanyakan puisinya memang sarat guyon, tapi juga sarat makna-mendalam.
Tentang puisi Telepon Tengah Malam, Jokpin menulisnya
secara dramatis. Ada percakapan singkat antara seorang anak dan ibunya.
Percakapan yang terjadi dalam puisi tersebut mengandaikan adanya jarak (jauh)
antara ibu dan anak. Sosok ibu yang dicitrakan dalam puisi tersebut tengah
berada di rumah, sedangkan si anak seolah sedang pergi (berada) di tanah
rantau, entah karena sekolah ataupun bekerja.
Sebelum lanjut, mari kita dengar tembang kenangan Sio Mama, biar lebih nyaman dan hikmat bacanya (klik pada gelombang audio di bagian paling bawah ataupun tombol hijau di kiri atas).
Sebelum lanjut, mari kita dengar tembang kenangan Sio Mama, biar lebih nyaman dan hikmat bacanya (klik pada gelombang audio di bagian paling bawah ataupun tombol hijau di kiri atas).
Adanya jarak sebagai pemisah antara ibu dan anak,
senantiasa mendatangkan kegelisahan berwujud rindu. Demikian para ibu, berpisah
beberapa jam saja sudah sangat gelisah, apalagi berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun lamanya. Bayangkan, bagaimana seorang ibu berusaha menyimpan itu
rindu.
Saat-saat seperti itu, rindu adalah air mata bagi ibu.
Sosok yang dicitrakan Jokpin dalam puisi (teks), tidak hanya menjadi ibu bagi
penyair, tetapi juga pembaca. Siapapun tentu mengalami dan merasakan sifat
‘alamiah’ dari seorang ibu yang menjadikan kita ada.
Jokpin membuka puisinya dengan gaya yang sangat
kental. Ialah guyon yang seringkali menjadikan pembaca seperti ‘orang gila, senyum ataupun tertawa sendiri. Saya yakin, semua pembaca tentu pernah
mengalami (bertindak sebagai pelaku) respon penyair dalam puisi tersebut.
Telepon kabel (tablephone/ wallphone) ataupun handphone (HP), sering membuat kita melupakan banyak hal yang ada
di sekitar, bahkan sesama manusia. Terlampau mengakrabi HP membuat kita tampak acuh tak acuh. Perhatikan image Jokpin, berikut:
Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
“Siapa ini?”, jawabnya Cuma “Ini siapa?”
Telepon sebagai wujud perkembangan teknologi membantu
umat manusia dalam berkomunikasi. Kapan dan di mana saja orang-orang berinteraksi, baik melalui pesan singkat, panggilan suara hingga video.
Dunia yang begitu luas jadi sempit di layar berdimensi kecil.
Informasi seputar keseharian, semisal saling berkabar
nyaris dilakukan setiap saat. Namun ada saat dimana jenuh menguasai, dan kita
mulai lupa akan hasrat mendasar manusia yakni komunikasi riil. Masa bodoh terhadap
pesan singkat ataupun panggilan telepon kekasih itu ‘biasa-biasa saja'. Sikap
itu baru akan menjadi 'liar dan luar biasa' ketika seorang anak acuh terhadap panggilan
telepon seorang ibu, ia yang menjadikan kita ada. Betapa sakit (mungkin) hati seorang ibu yang ingin segera mendengar suara dan tahu kabarmu tidak terwujud.
Jokpin menggambarkan actus tersebut dalam bait berikut:
Ada dering telepon, panjang dan keras
dalam rongga dadaku.
“Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja.”
“Ini ibu, Nak. Apa kabar?”
“Ibu, Ibu di mana?”
“Di dalam”
“Di dalam telepon?”
“Di dalam sakitmu.”
Sebagai
pembaca, percakapan-percakapan dalam puisi tersebut selalu membawa saya untuk
menghadirkan sosok (wajah) ibu di isi kepala, di isi hati. Mungkin terlintas juga di benak dan hati pembaca, mengapa penyair di dalam puisi (teks) masih sempat bertanya tentang
‘siapa’ yang menelepon? Jika memang ibunya, sudah seharusnya si anak menyimpan
nama kontak kan? Ataukah si anak menjawab panggilan telepon tersebut tanpa
melihat identitas pemanggil? Bisa jadi, sebab situasinya tengah malam (saat-saat lelap, kecuali ia insomnia).
Ada
juga kemungkinan lain, si ibu baru sempat memiliki HP. Ia tidak ‘sabar lagi’ untuk
segera mendengar suara anaknya melalui panggilan telepon. Tapi penyair dalam
posisinya sebagai seorang anak, sudah semestinya ia kenal suara ibu. Banyak
kemungkinan yang bisa diciptakan untuk menyangkal isi percakapan tersebut.
Pembaca pun hendaknya bertanya, mengapa penyair menulis demikian? Mari, kita sama-sama simak dan berefleksi.
Sense
dalam puisi Telepon Tengah Malam merujuk pada sikap seorang anak yang terkadang
lupa akan setiap bentuk perhatian, kasih sayang dan cinta seorang ibu. Sosok ibu selalu ada bagi anak-anaknya dalam suka maupun duka. Namun dalam
status sebagai seorang anak, Anda dan saya seringkali tidak menyadari hal itu. Dalam kealpaan itu, kita adalah anak-anak ‘durhaka’.
Jokpin
dalam puisinya menggambarkan situasi ‘sakit’. Disini, sakit bukan saja fisik,
tapi juga psikis. Ibu senantiasa ada di setiap luka dan duka anak-anaknya. Ia
ada untuk menguatkan, menyemangati bahkan menyembuhkan.
Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya.
Malam identik dengan gelap. Ialah situasi dimana ‘luka’ dan ‘sakit’ bisa saja ada. Ibu hadir sebagai cahaya yang menerangi dan menyembuhkan, ada nyaman tak
terkira yang dijanjikan. Suara ibu, itu suara yang mampu menghalau segala
sesak di rongga dada. Suara ibu ada untuk menguasai malam-gelisah yang menyelimuti anak-anaknya. Suara ibu senantiasa ada di mana-mana, juga di hatimu. Kalau sempat, coba
dengar saat ini juga!
***
Kupang, 2016
Izin menangis😭
BalasHapus