Pubabu, LekoNTT.com - Konflik di hutan adat Pubabu, Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan antara masyarakat adat Pubabu dan Pemerintah Provinsi NTT kembali mencuat. Konflik berkepanjangan tak kunjung usai. Setiap saat, masyarakat yang sudah lama tinggal di hutan adat Pubabu dibayang-bayangi intimidasi dari aparat.
Kronologi Kasus Terbaru
Pada Kamis, 30 Juli 2020, Kasat Intel Polres Timor Tengah Selatan bersama lima anggotanya mendatangi masyarakat yang tinggal di hutan adat Pubabu. Kepada masyarakat, mereka menginformasikan kalau Pemerintah Provinsi NTT akan turun ke Pubabu untuk melakukan pendataan, penertiban, dan relokasi. Dalam jadwal, Pemprov NTT akan turun pada tanggal 3 Agustus 2020.
Sebelum tiba jadwal turun, pada 1 Agustus 2020 Kasat Intel Polres TTS bersama lima anggota yang lainnya lagi kembali mendatangi masyarakat di Pubabu. Di kesempatan ini, masyarakat diminta agar tidak melakukan perlawanan ketika Pemprov NTT turun dan beraktivitas di lokasi. Kalau ada perlawanan, aparat akan melakukan penangkapan.
Sebelum meninggalkan lokasi, Kasat Intel TTS bahkan memanggil Nikodemus Manao, salah satu Amaf di Pubabu untuk diberi instruksi. Niko dan saudaranya Ima, diminta untuk tidak hadir pada 3 Agustus 2020. Resiko kehadiran ialah ditangkap.
Pada Senin, 3 Agustus 2020, tibalah jadwal kesempatan yang telah diinformasikan. Masyarakat adat di Pubabu sudah menunggu dengan segala kemungkinan resiko. Tepat di hutan adat Pubabu, mereka menanti sejak pagi hingga sore hari, tapi pihak Pemprov NTT tak kunjung datang.
Jadwal turun ditunda ke Selasa, 4 Agustus 2020. Sekitar pulul 11.00 WITA, aparat gabungan Satpol PP, TNI, POLRI, BRIMOB dipimpin Kepala Aset Pemda TTS, Sonny Libing mendatangi lokasi di hutan adat Pubabu. Beberapa anggota DPRD NTT turut hadir, ada Obet Naitboho, Rini Un, Maria Nuban, Kristian Mboeik, dan Yohanes Lakapu. Selain itu, hadir juga perwakilan dari Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, dan BPN Provinsi NTT.
Dalam kesempatan itu, Kapolres TTS memimpin rapat bersama masyarakat yang sudah menunggu di Lokasi. Dalam rapat itu, diinformasikan bahwa Pemprov NTT akan melakukan kegiatan selama 10 hari yakni pembersihan lahan untuk menanam kelor dan lamtoro. Kepada masyarakat akan diberi lahan seluas 800 meter persegi. Selain itu, masyarakat adat Pubabu yang sudah sejak dahulu tinggal di sana akan direlokasi demi pengembangan program penanaman kelor dan lamtoro.
Sekitar pukul 12.30 WITA, aparat gabungan melakukan aksi pembongkaran pagar dan rumah pertemuan menggunakan sensor pemotong kecil. Aksi itu disambut perlawanan dari mama-mama dan anak-anak serta seluruh masyarakat adat Pubabu yang hadir saat itu.
Sangat emosional, anak-anak Pubabu melawan dalam tangis dan air mata. Anak-anak itu, merasa terintimidasi. Bagaimana tidak, beberapa oknum aparat keamanan menarik anak-anak dan mengamankan mereka di mobil keranjang. Anak-anak mengalami pengalaman traumatis.
Aksi pembongkaran itu berlangsung hingga pukul 16.00 WITA. Mereka-pemerintah mendirikan tenda darurat di lokasi hutan adat.
Rumah Sempit: Seperti Tinggal dalam Penjara
Pada Rabu, 5 Agustus 2020 sekitar pukul 07.00 WITA Pemprov NTT melanjutkan aktivitas pembongkaran pagar kebun milik bapak Hendrikus Beti menggunakan excavator. Bapak Hendrikus ini, sejak konflik Pubabu sudah tiga kali rumah tinggalnya digusur. Saat ini, ia dan keluarganya benar-benar tidak punya rumah.
Di hari yang sama, pada pukul 11.00 WITA rumah milik bapak Apolos Selan pun digusur Selanjutnya pada pukul 16.30 WITA, pagar kebun milik Bapak Lasarus Tamonof turut digusur.
Beberapa keluarga yang terdampak penggusuran termasuk mama Nurce Sae, saat ini dibawa ke rumah berukuran 4×5 meter persegi yang dibangun oleh Pemprov NTT. Bahkan ada dua kepala keluarga dengan jumlah anggota 16 orang, tinggal di rumah yang sempit itu.
"Saya dengan keluarga lima orang. Kalau bapak Hendrik dengan keluarganya ada sembilan orang. Kami terlalu kecewa dengan perbuatan (tindakan Pemprov NTT, red) yang ada. Kami tidak nyaman samasekali tinggal di sini. Bayangkan, empat belas orang tinggal dalam ruang sempit. Saat ini saja saya tidak tidur, duduk saja," kata bapak Apolos ketika dihubungi Leko NTT melalui telepon seluler pada Rabu (5/8).
Bapak Apolos bersama lima anggota keluarganya tinggal bersama-sama dengan keluarga Bapak Hendrikus Beti yang berjumlah sembilan orang. Artinya, empat belas orang tinggal di rumah seluas 4×5 meter persegi. Tak hanya itu, barang-barang dan segala perabot, ada di dalamnya. Sesak tentu dialami sebagaimana di penjara.
Dari empat belas orang itu, tujuh diantaranya anak di bawah umur. Enam anak masih sekolah, salah satu diantaranya gadis cilik-anak TK. Masa kanak-kanak mereka, senantiasa dihantui traumatis.
"Kami bakusayang, jadi makan satu periuk. Masak jagung, lalu kami makan sama-sama. Karena diganggu terus, kadang satu hari kami makan satu kali saja. Mau pikir makan atau pikir ancaman," kisah bapak Apolos.
Ia mengharapkan ada keberpihakan Pemprov NTT kepada mereka-masyarakat adat Pubabu. "Lihatlah kami dengan empat mata, jangan sebelah mata. Kemarin sudah Kepala Aset Pemprov NTT sudah janji untuk tidak ganggu kami, dan kami juga tidak ganggu mereka. Tapi sekarang ini bukan janji saja, tapi dipaksa. Rumah yang pernah digusur belum selesai dibangun, sudah digusur lagi," tutup Apolos.
WALHI NTT Kecam Tindakan Represif Pemprov NTT
Terhadap aksi pembongkaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT pada tanggal 04 Agustus 2020 pukul 11.00 WITA di lokasi Hutan Adat Pubabu Desa Limnanutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten TTS, WALHI NTT mengecam keras tindakan aparat. Adalah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh Pemprov NTT.
Sebelumnya pada 12 Maret 2020, masyarakat adat Pubabu telah melakukan audiensi bersama DPRD Provinsi NTT dan menghasilkan dua kesepakatan. "Pertama, DPRD Provinsi NTT akan membentuk tim pencari fakta. Kedua, DPRD NTT akan bersurat kepada pemerintah Provinsi NTT untuk menghentikan segala aktivitas di lokasi hutan adat Pubabu sampai dengan tim ini bekerja," kata Yuvensius Nonga, Deputi WALHI NTT dalam keterangan tertulis yang diterima Leko NTT.
Selanjutnya pada 12 Mei 2020, Gubernur NTT bersama rombongan mampir di lokasi hutan adat Pubabu dan terjadi beberapa aksi penolakan dari masyarakat yang meminta penyelesaian terhadap kasus tersebut (baca di sini). "Pada saat itu Gubernur menjanjikan membangun dialog bersama masyarakat adat Pubabu. Beberapa kali informasi terkait dengan rencana kedatangan Gubernur ke lokasi hutan adat Pubabu untuk membangun dialog tersebut sampai saat ini belum terealisasi," jelas Yuvensius.
WALHI NTT menilai dialog yang dijanjikan berwujud intimidasi dengan pembongkaran secara paksa oleh aparat. Oleh sebab itu WALHI NTT mengecam tindakan pembongkaran yang dilakukan dan meminta Pemprov NTT untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat Pubabu.
Selain itu, WALHI NTT meminta Pemprov NTT untuk menghentikan segala tindakan represif kepada masyarakat di lokasi hutan adat Pubabu, dan mengakui hak-hak masyarakat terhadap hutan adat. (the)
Foto: nm
Baca juga artikel lainnya terkait kasus Hutan Adat Pubabu
0 Response to "Kasus Hutan Adat Pubabu, Masyarakat: Pemprov NTT, Tolong Jangan Lihat Kami Sebelah Mata"
Posting Komentar