Kupang, LekoNTT.com - Penggusuran rumah warga di Pubabu- kawasan Besipae, Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan selain mencaplok hak masyarakat adat pada 37 Kepala Keluarga (KK), peristiwa ini sangat berdampak negatif. Selain itu, adanya peristiwa tersebut telah melanggar hak anak-anak dan ibu-ibu pada 9 KK yang jadi target penggusuran.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Ester Selan dan Niko Manao sebagai masyarakat yang terkena dampak penggusuran, total anak dalam 9 KK berjumlah 18 orang, terdiri dari 13 anak laki-laki. Satu diantaranya bayi berumur tiga bulan, dan lima anak perempuan.
"Rumah digusur, barang-barang dikeluarkan. Ada keluarga yang terpaksa tidur di lopo, termasuk anak-anak," ungkap Niko Manao kepada Leko NTT pada Rabu (5/8).
Ester Selan pun mengungkapkan hal yang sama, yang dialami anak-anak di Pubabu. "Anak-anak trauma. Ada yang kuat, ada yang tidak kuat, tapi namanya anak-anak pasti trauma dengan keadaan seperti itu. Kepedihan yang orang tua alami, anak-anak juga rasakan itu," kata Ester ketika dikonfirmasi pada Kamis (6/8).
Situasi yang demikian disesalkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT. "Kami sangat menyesalkan tindakan represif ini tanpa melihat dampak dan upaya perlindungan bagi ibu-ibu dan anak-anak di lokasi tersebut," ungkap Ketua LPA NTT, Veronika Ata melalui keterangan tertulis pada Rabu (5/8).
Menurutnya, harus ada mekanisme dan cara persuasif, dialog dan memperhatikan hak warga masyarakat, terutama hak anak dan perempuan yang sangat rentan. "LPA NTT menolak proses yang tidak menghargai ataupun melindungi anak dan perempuan apalagi dalam masa pandemi ini."
Proses penggusuran di Pubabu telah melanggar hak anak karena menimbulkan trauma, rasa tidak aman, dan proses belajar anak jadi terganggu. Di antara 18 anak ini terdapat siswi-siswa SD, SMP dan SMA.
"Sangat disayangkan karena juga terdapat balita dan bayi. Jika tidak disiapkan rumah untuk tempat berlindung, ke mana rakyat harus pergi? Ke mana anak-anak dan perempuan harus berlindung? Satu sisi kita bersemangat untuk upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak, kampanye patuhi protokol Covid-19, namun di sisi lain kita tidak konsisten bahkan melanggarnya."
LPA NTT juga menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang tidak ramah anak. "Pada saat anak-anak menangis, mereka ditarik dan dimasukkan dalam mobil keranjang. Perlakuan ini menimbulkan rasa takut dan trauma bagi anak."
Oleh sebab itu, LPA NTT menghimbau agar Pemerintah Provinsi NTT memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak yang tengah ada dalam situasi darurat. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 59 UU tersebut, pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
"Negara harus bertanggungjawab kepada anak-anak yang sedang dalam pengungsian, tidak ada tempat perlindungan dan dalam situasi darurat." (red)
Baca juga artikel lainnya terkait KONFLIK PUBABU
0 Response to "Anak-Anak Pubabu Jadi Korban Penggusuran, LPA NTT: Negara Punya Tanggung Jawab"
Posting Komentar