Oleh: Dominggus Elcid Li*
Jumlah Penduduk di NTT tidak banyak. Belum sampai enam juta orang. Dengan tersebarnya manusia NTT di berbagai pulau itu seharusnya NTT bisa pulih lebih cepat dibandingkan pulau yang padat penduduk. Mulai dari aktivitas ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya bisa dilakukan dengan lebih leluasa cepat jika strategi pencegahan Covid-19 yang diambil benar. Namun itu tidak mungkin dilakukan jika ‘orang daerah’ hanya menempatkan diri sebagai ‘penerima duit’, ‘penerima ide’, ‘pelaksana ide’ tanpa ada kemampuan untuk berpikir dan menentukan jalan keluar atas persoalan yang diterima berdasarkan kontur setempat.
Dalam urusan kasus penderita COVID-19, NTT jika dibandingkan dengan beberapa tetangga tidak sepenuhnya yang terbaik. Dibandingkan dengan Sulawesi Selatan atau NTB, NTT sedikit lebih baik. Tetapi dibandingkan dengan Northern Territory atau Australia Utara yang beribukota Darwin atau bahkan Timor Leste dengan ibukota Dili yang masih satu daratan, NTT jauh lebih buruk pengelolaanya. Kunci perbedaannya ada pada kemampuan mengontrol ‘arus masuk’ warga.
Pasca pemberlakuan ‘New Normal’ yang gegabah dibuat ‘orang pusat’, pikiran khalayak di pinggiran Indonesia pun di-reset ke titik nol. Upaya pencegahan di area masuk dilakukan seadanya. Area masuk antara lain bandara, hingga pelabuhan laut yang berbagai jenis itu. Pelabuhan laut dimulai dari kapal berbobot besar, kapal ferry, hingga pelabuhan rakyat yang jarang diawasi.
Kita tidak pernah tahu sejauh mana antisipasi pemerintah terhadap penyebaran COVID-19 di kapal-kapal yang dikelola PELNI. Cerita tentang ‘kepala batu’ para tenaga kesehatan di Kabupaten Sikka yang pernah meminta agar 75 orang ABK dari ratusan orang yang berlayar untuk dilakukan rapid test seharusnya menjadi bahan pelajaran. Karena keputusan itu maka PELNI mengkarantina KM Lambelu di Makassar. Kecurigaan para tenaga kesehatan di Kabupaten Sikka terbukti, para ABK KM Lambelu positif setelah dites swab di Makasar.
Kisah di atas sudah tidak terdengar lagi. Kewaspadaan menghilang. Peluang untuk menghindari krisis lama seolah dibiarkan lenyap di depan mata. Katanya hendak bertindak ekonomis. Namun dengan sekian tindakan yang melawan hukum ekonomi, apakah mungkin kesempatan itu diambil? Kesempatan untuk pemulihan PAD secara cepat dibuang begitu saja. Kebanyakan kasus di daerah, tim sukses’ yang diangkat menjadi bagian dari ‘kabinet’ pemerintah daerah terlalu pas-pasan untuk mengeksekusi atau mampu berpikir sendiri. Entah apa imajinasi para elit di daerah ini?
Kisah di atas sudah tidak terdengar lagi. Kewaspadaan menghilang. Peluang untuk menghindari krisis lama seolah dibiarkan lenyap di depan mata. Katanya hendak bertindak ekonomis. Namun dengan sekian tindakan yang melawan hukum ekonomi, apakah mungkin kesempatan itu diambil? Kesempatan untuk pemulihan PAD secara cepat dibuang begitu saja. Kebanyakan kasus di daerah, tim sukses’ yang diangkat menjadi bagian dari ‘kabinet’ pemerintah daerah terlalu pas-pasan untuk mengeksekusi atau mampu berpikir sendiri. Entah apa imajinasi para elit di daerah ini?
Berpikir Sendiri?
Ya, apa yang disebut dengan berpikir sendiri? Kegiatan berpikir sendiri itu cenderung tidak dikenal atau tidak ada.
Amat berbeda kelakuan ‘orang daerah’ ketika ada peraturan baru muncul dari pusat, semua serius mendengar lewat webinar penjelasannya. Seribu kali yang menjelaskan itu ngalor-ngidul. Seribu kali bahasa yang dipakai ‘tidak ada rasanya’. Seribu kali kebijakan yang dikeluarkan tidak partisipatif atau melibatkan punggawa mereka dari titik terjauh sehingga pasti keliru untuk mereka yang berkekurangan dibandingkan Batavia.
Ya, orang lebih takut salah dari atasan. Tetapi orang tidak punya kemampuan atau insiatif untuk mengoreksi atasan, atau kebijakan pusat. Akibatnya negeri sebesar Indonesia, kemampuan inovasi berbanding terbalik.
Pusat yang dianggap maha tahu ini juga cuma bebek WHO. Kebijakan yang berbasis riset yang ditelurkan minim. Misalnya negeri kecil, lebih kecil dari Kabupaten Kupang (NTT), seperti Singapura mampu menghasilkan riset bahwa penderita COVID-19 setelah 11 hari sudah tidak menularkan, di sini entah berapa banyak dokter bermental peneliti. Apakah ada alternatif lain pengambilan swab yang lebih ramah selain lewat belakang hidung. Kapan dan berapa lama penderita COVID-19 paling menularkan virus ke sekitarnya. Mengapa hasil test swab bisa tetap positif padahal seseorang sudah sembuh berbulan-bulan. Apakah ada mutasi pada virus yang masuk ke NTT dibandingkan ‘versi’ awalnya di Jakarta atau di Surabaya.
Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya menggugah para dokter dan para akademisi kita untuk berpikir sendiri, lalu bergerak dan meneliti. Sebab sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab di sini, bukan di Surabaya, Jakarta, apalagi di Amerika.
Mengapa dari organisasi setingkat IDI (Ikatan Dokter Indonesia) di pusat, suara yang keluar nyaring diantaranya hanya soal standar harga ‘rapid test’. Sedihnya, bahkan dibandingkan dengan negara Rwanda sekali pun kita tertinggal. Harga tes yang ditawarkan di sana masih lebih murah. Itu kalau bicara soal harga, dan tidak dimulai dengan ungkapan ‘katanya’. Sedangkan riset tidak dikerjakan.
Kalau cuma soal harga rapid test, itu tidak perlu sekolah kedokteran, nongkrong saja dengan para bandar politik lintas partai, mereka pasti tahu harga untungnya. Kemampuan mencuri dana publik adalah dasar untuk berkuasa. Bukan Pancasila, apalagi Kitab Suci. Anda-anda yang khatam keduanya pasti tidak mungkin berkuasa. Pasti tidak tahan. Hanya mereka yang terbiasa menerapkan ilmu siluman ikan lele yang bisa bertahan. Dilepas dalam septic tank, tetap montok. Hidup di masa pandemi, masih juga tega mencuri. Kok bisa?
Dari Surabaya Dahlan Iskan Menulis
Salah seorang penulis dan juga eks bos Jawa Pos yang amat rajin mengkampanyekan soal pooled test adalah Dahlan Iskan penulis DI’s Way. Ia bikin serial tulisan soal kemungkinan tes massal. Ia mulai dari Hafiz (Bandung), dr.Andani (Padang), dan juga Dr.Fima (Kupang). Ide tes massal itu mulai berkembang, dan beranak pinak di kota tempat markas penulis.
Empat bulan yang ia butuhkan baru ide itu bisa diterima oleh Walikota Surabaya Risma. Ya, inovasi itu mahal, dan tidak mudah menembus tempurung kepala penguasa. Sebelumnya ‘ribut’ antara Khofifah dan Risma yang lebih terasa. Kita bingung mengapa semangat 10 November kok hilang?
Zaman perang tidak perlu kibar bendera. Ini bukti partai politik cuma merusak, seharusnya diminta cuti dulu seluruh partai politik hingga COVID-19 selesai. Sehingga conflict of interest para pejabat publik vs partai politik bisa dilakukan pada saat rekreasi, bukan pada saat perang. DPR pusat juga sama sebaiknya cuti saja, daripada bikin Undang-Undang yang tidak pro rakyat saat pandemi. Buat apa jadi anggota DPR jika tidak bisa membedakan mana arus pasar, dan mana kepentingan rakyat?
Kisah di Kota Kupang lain lagi. Setelah dihantam makelar rapid test kelas teri plus beberapa wartawan lapar, urusan tes massal akhirnya jalan, itu pun setelah Gubernur NTT bisa diyakinkan. Tetapi kecepatannya sesuai dengan kecepatan ‘mekanisme anggaran’ yang kita sama-sama hanya bisa menahan nafas. Artinya antara ‘hakekat’ dan ‘prosedur’ ada jarak yang luar biasa lebar. Benar di level hakekat, belum tentu ada benar di level prosedur. Itu nasehat seorang kisanak yang biasa mengurus pengadaan logistik.
Setelah dipresentasikan di depan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT (yang akan pensiun awal bulan Agustus), laboratorium ini mungkin akan jadi pertengahan Agustus. Kita masih harus memastikan pemesanan alat berjalan lancar dan dilakukan disiplin. Jika terlambat pesan, jadwal pasti mundur.
Sedangkan pelaksanaan perdana di tes massal di Kota Kupang, masih butuh dukungan ‘kemauan Walikota Kupang’. Sebelumnya Walikota Kupang menyanggupi akan membuat sebuah laboratorium biomolekuler. Tetapi rumor yang berkembang, Walikota tidak hendak mendahului Gubernur. Ia pun berencana memasukan rencana ini dalam APBD Perubahan. Konon DPRD Kota Kupang masih ragu. Dinas Kesehatan Kota Kupang pun belum bergerak menyiapkan perangkat Puskesmas untuk pelaksanaan tes massal. Ya, semua kesulitan ditimpakan pada UUD (Ujung-Ujungnya Duit).
Sudah lama semangat sukarelawan itu hilang di Kota Kasih. Dia hanya berwatak kasih kalau ada duit. Entah bagaimana cara melenyapkan penyakit UUD ini. Seolah program bisa jalan, hanya kalau ada duit. Semua harus tunai.
Padahal bahaya sedang mengintai. Peringatan pertama sudah muncul. Tiga orang tenaga kesehatan sebuah puskesmas di Kota Kupang yang melayani ribuan orang warga postif Covid-19. Hal sederhana yang bisa dilakukan oleh wakil Walikota Kupang hanya menghimbau agar warga disiplin. Langkah pencegahan minim. Bahkan skenario simulasi pooled test juga enggan dimulai.
Peringatan serius juga muncul di Flores, warga yang menumpang KMP Sangke Pallangga, sebanyak 7 orang telah diketahui positif. Uniknya penyebaran mereka ada tiga kabupaten. Lima orang di Kabupaten Manggarai Barat. Satu orang di Kabupaten Flores Timur. Satu orang di Kabupaten Lembata. Penyebaran para penumpang kapal dari Barat hingga ke Timur Pulau Flores belum dianggap sebuah peringatan untuk kembali waspada. Bahkan di Manggarai Barat, pun satu orang tenaga medis di mulut pintu masuk juga positif. Langkah terobosan apa yang bisa dilakukan oleh para Bupati di Flores selain menunggu pasrah, alias membiarkan?
Secara umum Prosedur pemerintah di NKRI ini memang membingungkan. Dipikir virus bisa disuruh tidur. Di Jakarta, Presiden setelah rapat penuh marah, yang berubah hanya istilah dari Menteri Kesehatan. Inovasi cuma sebatas istilah. Sedangkan anggaran yang sekian Triliun yang konon ada itu tidak punya skala prioritas. Masih kita temukan para tenaga kesehatan yang gaji belum dibayar, bahkan laboratorium surveilens berbasis tes massif juga tidak menjadi bahan pemikiran. Masih hanya menjadi bahan advokasi seorang penulis, dan bukan menjadi kebijakan di level kementerian kesehatan, atau menjadi instruksi BNPB. Kerinduan para epidemiolog klinis juga tidak ada jalan, basis analisa baru sebatas informasi.
Belum Ada Contoh
Tetapi mungkin semuanya akan berubah. Kecepatan adopsi kebijakan Indonesia itu setara dengan kebebalan Trump AS yang anti science. Perlahan tes massal diadopsi. Per tanggal 18 Juli 2020, misalnya FDA (Food and Drug Administration) atau BPOM-nya AS memperbolehkan penggunaan pooled test sebagai tes diagnostik untuk satuan 4 orang. Mudah-mudahan Menteri Kesehatan sudah bisa mencontoh.
Selang sehari dari gerak FDA di Surabaya, Bu Risma menerima dr.Andani, 19 Juli 2020 yang sudah mengoperasikan model pooled test di Padang. Selang berapa hari kemudian, kita harapkan Sulawesi Selatan juga bergerak. Sekian kota yang menjadi sentra ekonomi Indonesia seolah dibiarkan berjalan tanpa peta selama ini. Kebijakan yang diambil tidak ada arah, tanpa ada kemampuan pencegahan yang memadai.
Kisah pooled test di Indonesia memperlihatkan beberapa hal.
Pertama, terlihat betapa berjaraknya para pengambil kebijakan atau para pemimpin formal dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak tahu darimana datangnya obat-obatan. Seolah vaksin itu turun dari surga.
Kedua, ketika pandemi COVID-19 dikatakan sebagai masalah global, maka di Indonesia kita adalah bebek penurut. Kita hanya menjadi end user dari industri farmasi global. Kita tidak mempunyai laboratorium yang berkutat dengan riset inovasi kebijakan, yang seharusnya wajib dibuat di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan model pengetahuan tidak terpusat, kecepatan inovasi bisa lebih diperkaya dan memotong kelambanan gerak birokrasi prosedural sentralistik yang amat lamban ini.
Ketiga, posisi daerah memang sudah seharusnya meniru apa yang dilakukan oleh Provinsi Sumatra Barat. Berani berbeda dengan pusat, sejauh bisa mempertahankan argumentasi dengan basis science yang mumpuni. Dokter tak hanya pusing soal harga barang farmasi, tetapi juga menjadi peneliti dan berinovasi ketika tabir pengetahuan belum terbuka. Di posisi ini pusat sejajar dengan daerah. Kemajuan information technology yang menjadi unsur penting dalam proses penguraian biomolekuler. Untuk itu ‘logika anti-gerak memusat’ internet, seperti yang dirancang oleh para tukang perang di tahun 1960-an, agar pusat tidak langsung lumpuh ketika perang dijalankan dan pusat bisa berfungsi dan bisa diakses darimana saja seharusnya bisa dikembangkan dalam proses riset aksi inovasi di era Pandemi Covid-19. Dari sisi ini daerah tidak hanya menjadi bebek, dan Indonesia tidak hanya menjadi epigon global dan hanya menjadi target dagang industri farmasi dunia.
Keempat, sikap taat prosedur buta tanpa pemahaman atas hakekat atau substansi persoalan membuat pemerintahan di berbagai level di Indonesia hanya sedang menunda kekalahan. Kemarahan Jokowi dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu harusnya mampu ‘dibunyikan’ di level aksi, sayangnya kemampuan eksekusi itu tidak ada dari tim pakar di pusat hingga di daerah. Akibatnya anggaran triliunan dijalankan tanpa prioritas. Bahkan prioritas anggaran yang sudah salah itu masih dijalankan di bawah ancaman bendera koruptor.
Kelima, kesulitan mendasar yang sedang mendera di Indonesia adalah ketidakmampuan melihat persoalan di berbagai level maupun bidang, dan ketiadaaan kemampuan untuk mengambil langkah membuka. Ketidakmampuan itu terbaca jelas dari ‘kata serapan’ yang buruk sekali yang diambil Menkes, sebagai bukti ketiadaan inovasi Indonesia di saat pandemi. Kita tidak percaya diri dalam mengambil keputusan, karena kita tidak punya basis pengetahuan. Jika hal yang sifatnya klinis saja sulit untuk dikunci, bagaimana mungkin kompleksitas makro itu bisa ditata?
Keenam, sudah lama kaderisasi elit negara itu tidak jalan. Para punggawa di level puncak tidak terbiasa memegang jabatan yang bervariasi. Umumnya hanya dibesarkan di satu bidang, dan dianggap menguasai seluruh bidang. Akibatnya ketika menjadi komandan, kemampuannya selalu kurang. Lebih buruk lagi kalau basis pengangkatan hanya mengenal hukum kedekatan, dan bukan kemampuan. Jadi mau Presiden kasi judul apa nama tim, tetapi jika tidak pernah kenal apa saja yang menjadi persoalan dasar, maka gerak perubahan tidak pernah dapat dimulai dari struktur negara. Hanya sebatas ganti kemasan, rasa yang sama.
Penutup
Sulit diterima bahwa negara yang pernah amat disegani karena kekuatan kolektif maupun pemimpinnya kini hanya menjadi pengikut dalam tata dunia global. Sekian ribu indeks scopus maupun apa lah sebutannya untuk para professor di perguruan tinggi tidak membawa motivasi tersendiri untuk membuka langit pengetahuan di saat kegelapan pandemi COVID-19 mendera negara.
Di kampung saya, di Kupang, teladan Bu Risma yang rajin menata kota dan membuat taman diikuti dengan baik. Hampir sepanjang tahun kota sudah bersih. Banyak taman dibangun dimana-mana. Namun prioritas terhadap laboratorium biomolekuler maupun pooled test dalam jajarannya tidak terlihat. Dalam salah satu dialog, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, misalnya, menjawab pertanyaan terkait laboratorium biomolekuler hanya dengan ‘persiapannya sedang dipersiapkan perencanaannya’. Bahasanya berkabut. Tidak ada arah. Ketidakpastian itu dinikmati dengan sukacita. Seolah tidak ada beban. Padahal tenaga kesehatan yang melayani ribuan orang sudah positif COVID-19.
Sejak tanggal 19 Juli 2020 Bu Risma sudah menyetujui pooled test di Surabaya, dan akan dieksekusi minggu depan. Mungkin Pak Jeffry juga sudah bisa mencontoh apa yang sudah dibuat Bu Risma. DIa tidak butuh APBD Perubahan. Dia akhirnya sadar, tanpa tes yang lain-lain mubazir, karena zona merah hanya berubah menjadi zona hitam. Kota Kupang jika ketat mengontrol arus masuk seharusnya Kabupaten deret lain seperti Kupang, TTS, TTU, Belu, Malaka, Sabu dan Rote bisa lebih leluasa bergerak. Sudah lama tata kelola negara tidak ada perspektif keamanan (security).
Jadi ketika berhadapan dengan isu bio-security, aparat negara kita malah sibuk berteriak investasi dan ekonomi.Kita di alam pemikiran penjajah ada di abad ke-17, di era kaum merkantilis Hobbesian, dimana para pedagang ikut menentukan hukum teritinggi. Di era ini hukum ekonomi adalah panglima dan mekanisme pasar dianggap penentu arah negara. Bukan rakyat. Jika hari-hari ini para pelaku bisnis menjadi ‘panglima tertinggi’, maka kita tidak usah heran. Sebab salah pikir itu jauh merasuk tata pikiran para elit, dan mereka juga tidak mampu membedakan mana haluan negara, dari tekanan pasar. Posisi dan nama organisasi mungkin sama, tetapi apa yang dikerjakan berbeda. Bahkan VOC pun pernah dalam suatu waktu diposisikan sebagai ‘negara’, dan bukan hanya sebuah perusahaan dagang? Jadi kita perlu waspada.
Jika kini, urusan harga barang jauh lebih penting dibandingkan langkah terobosan, dan investasi dianggap obar paling mujarab, maka tidak usah heran para elit yang terlepas dari kenyataan adalah bagian dari republik yang hendak dibiarkan pupus. Kita sebagai rakyat harus menolak kecenderungan salah arah ini. Mudah-mudahan arus para pedagangan ini bisa ditempatkan pada ruang tertentu, dan tidak menguasai ruang hidup warga negara secara mutlak seperti yang dibiarkan lari tunggang-langgang dalam formasi anarki.
Kecenderungan anarki ini semakin menjadi-jadi saat ini. Darwinisme sosial dipraktek secara membabi buta di dua aras.
Pertama, di level ekspansi ekonomi tidak berbudi di segala sendi di seantero wilayah negeri yang mengubah seluruh relasi menjadi relasi ekonomi untung dan rugi, dan menggantikan falsafah negara bahwa negara adalah perisai atau pelindung rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pancasila. Setidaknya sila kedua dan kelima: ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, maupun ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ terasa tidak berbekas.
Kedua, Darwinisme sosial juga ditunjukan lewat bagaimana pandemi COVID-19 ditangani. Dengan mengambil jalan pembiaran terhadap kemungkinan mati bagi yang rentan. Sepintas ini mungkin disebut sebagai bagian dari pelaksanaan menunggu imunitas kawanan (herd immunity). Namun dalam nalar sosio-biologi juga bisa dimengerti sebagai sikap masa bodoh. Yang kuat hidup. Yang lemah dibiarkan mati. Nalar investasi atau korupsi, maupun penanganan COVID-19 berjalan dalam pola yang sama. Mematikan yang lemah atau rentan. Seperti kombinasi usaha dagang rapid test.
Republik atau VOC memang tipis bedanya. Seperti jarak antara ‘terduga’ atau ‘suspek’. Hanya soal istilah.
Kupang, 22 Juli 2020
*Penulis, Anggota Forum Academia NTT.
0 Response to "Seandainya Para Bupati/Walikota di NTT Mau Berpikir!"
Posting Komentar