Oleh: Dominggus Elcid Li*
Birokrasi negara adalah salah satu pilar utama yang menjamin keberlangsungan negara. Hidup matinya negara, atau mundurnya sebuah negara terbaca jelas melalui kondisi mental para birokratnya, maupun kemampuan sistem yang dibangun untuk menjawab kebutuhan warga negara dalam sekian dimensi, dan diuji terutama pada saat krisis. Birokrasi yang tidak menjawab kebutuhan di saat pandemi adalah birokrasi yang gagal, dan tidak bisa dipertahankan modelnya.
Jika menyebut birokrat maupun birokrasi sebagai sistem tata organisasi, tidak berarti ini hanya menyasar pilar eksekutif atau pemerintahan. Birokrasi dalam tulisan ini dimengerti dalam kategori yang lebih luas, sebab unsur birokrasi melingkupi sekian organisasi maupun institusi dari pemerintah, aparat keamanan, aparat peradilan (polisi, hakim, jaksa), aparat keagamaan, aparat kepartaian, hingga aparat pendidikan.
Dalam model maupun diksi ‘aparat’ yang diadopsi sikap mentalnya dalam sekian organisasi, manusia dianggap tidak mewakili diri sendiri, tetapi menjalankan alur rasional organisasi, atau sisi normatif sebuah organisasi. Untuk menjamin pelaksanaannya lantas sekian aturan berlapis dibuat, dan mekanisme pengawasan diadakan. Setelah itu sekian ritual dalam tata organisasi dibuat agar orang mempunyai ritual harian, mingguan, hingga tahunan.
Agar semakin sungguh-sungguh dan terarah, kepala sekian organisasi dianggap pemberi haluan tertinggi, dan menjadi nahkoda utama. Kepada mereka kehormatan diberi, dan sekian jenis hormat diciptakan sebagai tanda loyalitas. Posisi ini merupakan sejenis surga di Bumi, yang sering dianggap sebagai indikator keberhasilan dalam keluarga, klan, kelompok keagamaan, dan alumni sekolahan. Mereka ini sering dipuja, dan dirayakan dalam pertemuan kelompok. Setidaknya ini wajah masyarakat Indonesia hingga tahun 2020.
Kematian Kolektif Prosedural
Lalu apa artinya, jika manusia-manusia dingin, rigid, dan sistematis yang menjalankan tugas negara atau tugas publik atau tugas komunitas malah sesuai dengan prosedur lengkap semakin terpisah dengan realitas anggotanya? Bagaimana jika semakin hari sindrom narsistik atau mencintai diri secara berlebihan atau pemujaan terhadap ritual-ritual organisasi melebihi kemampuan kolektif mereka untuk merasakan kenyataan sederhana? Seperti kematian di samping kiri anak manusia yang tidak butuh SK (Surat Keputusan) agar orang bisa mengerti bahwa hilangnya nafas adalah momen suci yang amat dihormati oleh siapa pun.
Hal ini dapat dapat dijadikan pertanyaan mendasar dan sederhana untuk sekian jenis aparat untuk melihat sejauhmana organisasi mereka masih berhaluan kemanusiaan, atau telah berubah menjadi sesuatu yang lain, yang berbeda dari harapan awal.
Seandainya, hal sederhana tetang kematian itu tidak dimengerti oleh sekian manusia yang setia menjalankan prosedur dan aktif membaca teks, atau untaian tulisan—yang sebagian diperlakukan sebagai tanda suci simbol pengorbanan tertinggi bahkan keilahian, kepada siapa Bunda hendak berkeluh kesah? Atau kepada siapa dewata, nabi, maupun juru selamat harus menitipkan pesan kehidupan? Atau kematian yang diabaikan? Atau penderitaan yang tenggelam dalam belantara kota?
Atau para penanam benih di kulit Bumit yang menatap tanah-tanah retak tanda kurang air, karena tumbuhan enam minggu yang disebut padi sedang meranggas dan tak ada yang datang dan bertanya kepada mereka. Misalnya dengan bertanya, “Hai Kisanak, apa yang bisa kuperbuat untuk meringankan bebanmu, agar tidurmu boleh sedikit panjang dan tak mimpi buruk, agar harapan hidupmu bisa lebih panjang dan bisa kami indekskan dengan baik dalam statistika negara?”
Kematian diam-diam tak banyak dibicarakan. Sebaliknya orang senang di depan umum, dikenal sebagai dermawan, pemberi terbanyak. Tak peduli asal pemberian darimana. Tak peduli ia berlaku tidak adil. Tidak peduli ia mencuri. Tidak peduli atas nama jabatannya, ia yang seharusnya melindungi mereka yang lemah, hanya memamerkan kenikmatan sendiri, yang tak mampu dikecap sesamanya yang hanya bisa menangis diam-diam.
Mungkin mereka sedang menghayati kalimat-kalimat ini, “Saya sudah bisa menikmati apa yang dulu tak pernah bisa kukecap, sehingga hari-hari ini wajar lah jika saya mempertontonkan kepada khalayak bahwa saya juga sudah bisa menjadi bagian dari leisure class….kelas yang bersenang-senang, tidak lagi berpikir besok makan apa, tetapi sudah bisa merencanakan besok minum dimana….”
Lalu dengan pin di dada, atau kartu nama, semakin bertambah kegagahan mereka. Seolah-olah ingin menyatakan bahwa harapan seluruh nenek moyang, maupun cita-cita masa kecil sudah mereka rengkuh dalam seragam yang mereka pakai. Dalam acara-acara keluarga, komunitas, maupun kumpul-kumpul tidak ada alasan mereka dengan lantang bersuara, “Sudah tidak usah pikir, semua saya yang tanggung.” Kebanggaan itu tidak hanya dirasakan oleh ia yang bersuara, tetapi mereka yang duduk satu meja bersama. Lalu ia berujar penuh penghayatan, “Ini semua bukan usaha saya sendiri, tetapi berkat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.” Seolah menyatakan bahwa atas nama Restu Sang Khalik lah ia bisa mengadakan dan memberikan uang. Kebaikan cenderung ‘di-tunaikan’. Meskipun, dalam banyak hal, ia menganggap Sang Khalik yang Maha Tahu itu tidak perlu tahu apa yang ia perbuat. “Yang penting, ada yang diberikan, soal darimana mengapa harus diurus?”
Entah ini karena ia anggap Yang Kuasa bisa ditipu, atau Ia boleh mengganti rupa diri kapan pun sesuai dibutuhkan, agar di etalase publik ia tak dipermalukan, karena kasak-kusuk bukan lah kenyataan yang diperhitungkan, tetapi hanya prosedur yang berhasil dikunci rapat-rapat dan diri menghilang dalam labirin birokrasi, dan budi tak lagi dikenal.
Mencuri Secara Prosedural dan Sistematis
Sekian jilid pembaruan dalam organisasi sering dibuat agar sebagai kawanan jangan lah orang dibuat malu secara bersama-sama. Maka dibuat lah evaluasi rutin. Dibuat lah pertanggunjawaban periodik. Diadakan lah pertemuan berkala. Tetapi, jika sekian jenis ritus ini tidak mampu membuat orang untuk ‘tersentuh’ atas kematian yang sederhana, apakah masih penting sekian prosedur yang masih dibuat? Apakah mungkin ada energi kreatif yang muncul tanpa ada spiritualitas?
Dalam tatanan dasar kebanyakan orang tidak mampu mencapai dan membedakan antara ritus dan spiritualitas. Sekian prosedur bagian dari menjaga ritus, sedangkan spiritualitas adalah kemampuan menjaga agar benih kehidupan tetap tumbuh. Di sini di negeri yang hipokrisi dipelihara, fundamentalisme agama berkembang subur di berbagai rumah ibadah sambil mengejar materi dunia dan meniadakan yang berbeda sebagai tumbal, sebab hanya ritus yang dikejar.
Dalam gelombang masyarakat, ada sekian jenis organisasi, ada sekian kepala, ada sekian prosedur, ada sekian pertemuan, dan ada sekian ketiadaan. Setelah rangkaian pertemuan diadakan, dan sekian uang dihabiskan, dan sekian waktu dilewatkan, tetap saja kematian sederhana tidak dimengerti.
Sebaliknya intrik menjadi budaya bersama dan dikembangkan terus menerus. Skenario dibuat, dan buih ludah dihabiskan tanda bicara panjang, bahwa sebagai sekelompok kawanan, mereka harus menang. Entah menang untuk apa itu juga tidak penting. Yang dimengerti hanya, politik itu soal kalah atau menang. Bahwa sekian pihak yang terlibat dalam tikai sedang menuju kehancuran itu juga tidak mereka perhitungkan. Bahwa ada rakyat banyak yang teramat menderita akibat pencurian kolektif sistemtatis dan terstruktur yang mereka jalankan juga bukan lah persoalan yang perlu dibesar-besarkan, sebab yang lain juga sedang melakukan pencurian jika ada kesempatan, agar mereka punya chip yang cukup untuk berjudi dalam tahap pemilihan berantai.
Hal yang paling mengerikan adalah manusia-manusia yang disanjung di depan umum, diberikan kursi terbaik dalam pertemuan bersama adalah para pencuri. Lebih buruk lagi semua yang disebut penikmat duniawi hingga laskar akhirat yang tak henti menyebut nama Yang Maha Kuasa, juga bersama-sama diam dan mengatupkan tanda takzim terhadap para pencuri. “Mereka adalah pejabat yang terhormat…sebelum bisa dibuktikan di depan hukum, mereka tetap harus dikenakan asaz praduga tak bersalah, karena tidak bisa dibuktikan apa yang sebut bisa disebut fitnah,” kata Si Kancil pencuri ketimun.
Hal yang paling tragis adalah dengan kemampuan manipulasi sempurna. Sistem yang adil dibuat lumpuh. Kawanan gerombolan tuna budi ini lah yang mengendalikan rantai sekian organisasi. Pengaruh mereka teramat luas. Bahkan mampu mendiamkan orang yang paling saleh sekali pun.
Dengan sekian aparat di tangan mereka, kebenaran bisa diciptakan. Fitnah bisa disiapkan. Dengan modal duit hasil jarahan, informasi bisa dipesan. Disebarkan dengan luas, dan dianggap bukan hoax, karena itu diucapkan oleh seorang pejabat, meskipun ia adalah pencuri. Hal yang paling absurd dari orang sekolahan sekarang adalah semakin mereka tinggi bersekolah, tetapi tidak mampu menyatakan bahwa ‘sesuatu itu benar atau salah’. Mereka mudah sekali ketakutan, dan tunduk, meniadakan akal budi.
Hari-hari ini, organisasi-organisasi di era pasar bebas di-isi oleh kawanan pencuri, garong, perampok, atau disebut sebagai koruptor. Mereka merajalela hingga segala sendi. Mulai dari ruang yang paling hitam, hingga mendekati bahkan mampu memanipulasi mereka yang menjaga ritual kesucian. Hari-hari ini para pencuri merajalela mencuri di depan mata, tidak bertanggungjawab mengelola organisasi bersama. Hari-hari ini semua yang harusnya menjadi tiang keadilan malah bisa dibeli sekilo dua ribu, seperti telur busuk.
Hari-hari ini mereka yang dipercayakan bicara untuk warga hanya peduli dengan kedudukan mereka. Hari-hari ini mereka terlalu takut untuk miskin, jika berani menyuarakan kebenaran, apalagi menyatakan ketidakadilan. Hari-hari ini, di tengah pandemi yang meluas para pejabat sekian organisasi hanya sibuk urus makan sendiri. Hari-hari ini adalah hari yang kelam sebab mereka bicara Panca Sila tetapi tidak mengerti apa yang diucapkan. Hari-hari ini perang saudara hendak dicari atas nama kesucian yang tidak lagi dipunyai.
Hari-hari ini kita adalah Bangsa yang kalah karena tak mampu melawan para pencuri yang berkuasa. Hari-hari ini di tengah pandemi dan kesusahan yang begitu meluas, orang mencuri tanpa rasa malu. Hari-hari ini adalah hari kematian negara yang adil dan beradab.
Lalu sebelum pulang, ia bertanya, “Maaf Tuhan, fee saya berapa untuk biaya pengadaan plastik pembungkus jenasah?” tanya seorang pejabat yang terhormat kepada pedagang yang maha kuasa. Surga di Bumi bagi mereka yang percaya dan takluk pada kuasa ‘U’. Di negeri ini tak jarang mereka yang paling tampak di barisan terdepan di rumah ibadat, juga pencuri nomor satu. Di negeri ini pencuri besar dimaafkan, pencuri kecil dihukum berat.
Ya, minggu ini mereka sudah mulai sembayang normal. Para pencuri tersenyum mesra: semua bisa diatur. Sudah lama mereka tak bertemu. Semoga Covid-19 tidak ikut bertamu, sebab tiada alat untuk mencegah bahkan memantau jika menyebar cepat, karena sebagian dana rakyat sudah dihabiskan sesuai dengan prosedur meskipun keliru.
Di negeri ini ketika jalan keluar dari pandemi ditutup oleh gigantisme para pencuri, yang muncul hanya lah insting saling memangsa. Kemungkinan kematian massal semacam itu yang tidak disadari, seperti yang lalu. Sehingga mencari jalan keluar bersama tidak pernah menjadi opsi yang dicari dan diperjuangkan. Gotong royong tidak juga dikenal, karena semua biasa saling memangsa. Diantara itu kemungkinan kematian kolektif prosedural dan massal ada di depan mata. Konon itu soal perasaan yang tidak lagi sama--antara kepala birokrat dan yang di bawah. Tanda-tanda kematian ini perlu lekas dibaca.
Kupang, 3 Juli 2020
*Penulis adalah Anggota Forum Academia NTT
0 Response to "Manusia Tuna Budi dan Pandemi: Kematian Kolektif Prosedural"
Posting Komentar