Oleh: Tarsy Asmat, MSF*
Dalam buku kumpulan Cerpennya Usaha Membunuh Sepi, Felix menuangkan mimpinya untuk menjadi penulis yang besar. Kini mimpi itu terwujud dalam Novel Orang-Orang Oetimu (03).
Dalam Novel ini, ia membongkar lapisan psikis lingkaran kekerasan, kemiskinan dan dominasi dalam sistem sosial di NTT. Latar belakang Felix yang mempelajari ilmu psikologi cukup membantu dalam melahirkan novelnya yang unik ini.
Felix Nesi mengirim Novelnya beberapa bulan yang lalu, tetapi saya lupa membacanya, haha. Tetapi beberapa hari ini saya meluangkan waktu membaca O3nya, karena mendengar berita konflik Felix di media sosial.
Bergulat dengan setting cerita, konteks dan diksi-diksi serta tokoh dalam novel 03 ini, saya menangkap ide yang lebih kuat digemakan dalam novel ini adalah ekologi kekerasan. Bagaimana ekologi kekerasan itu diterima begitu saja?
Ekologi atau gampangnya lingkungan kekerasan menunjukan kekerasan menyatu dalam lingkungan kehidupan sampai orang tak merasa jijik lagi. Ekologi kekerasan ini bahkan menjadi budaya (kebiasaan) dalam keseharian. Kekerasan terus terjadi jika tak ada yang berani menggugat dan mengkritik fakta sosial yang tidak adil.
Settingan Novel 03
Sebelum membicarakan topik utama, saya tertarik melihat setting novel ini yang sangat unik dan keren. Kisah dalam novel ini dibuka dengan konflik Tim-Tim vs Indonesia dan ditutup oleh konflik yang sama serta menunjukan identitas nasionalisme Sersan Ipi dan Martin Kabiti yang ikut berperang di Tim-Tim. Tetapi kisah-kisah di tengah bingkai nasionalisme ini adalah peristiwa keseharian, penggambaran sistem sosial budaya, agama, ekonomi di tengah masyarakat Kampung Oetimu. Oetimu dalam novel ini adalah daerah yang sangat mencintai NKRI tetapi justru mengalami nasib yang terabaikan oleh Negara.
Orang Oetimu sebenarnya masih memiliki kebanggaan yaitu agama mereka, tetapi kenyataan berbicara lain. Memang fiksi adalah seni dan tidak semua yang ada dalam kisah fiksi adalah fakta, tetapi novel O3 memberikan kritik dan membuka kenyataan sosial ke tengah publik. Kemiskinan membuat ajaran moral tak terserap.
Absennya kehadiran Negara, absennya juga moralitas sehingga membiarkan kekerasan terjadi. Kekerasan itu muncul dari trauma perang atau juga kemiskinan, tetapi tak ada yang menyembuhkannya. Perjuangan berdarah-darah dan terlibat konflik membela Indonesia seharusnya membutuhkan proses penyembuhan baik fisik maupun psikis, namun baik penyembuhan ekonomi, penyembuhan moral dan sebagainya belum terjadi.
Reproduksi Kekerasan
Kekerasan erat kaitannya dengan kekuasaan. Kekerasan baik oleh kekuasaan politik, agama, ekonomi maupun superioritas maskulinitas atas feminis berlaku normal atau dianggap biasa sehingga tak perlu digugat.
Bapak Perdamaian India, M. Gandhi memiliki pandangan bahwa kekerasan terjadi karena struktur yang salah, bukan pada aktor. Saya menyebutnya kekerasan relasi secara vertikal. Struktur sosial dalam masyarakat dari tingkat yang kompleks sampai ke tingkat sederhana bisa memproduksi kekerasan kepada anak-anak. KDRT, Pertikaian komunis dan Pancasila, Perang dengan Tim-Tim, memproduksi kekerasan di tengah masyarakat dari satu generasi ke genarasi yang lain.
Gandhi tentu saja mengiyakan teori bahwa manusia pada dasarnya baik. Dalam paham kristianisme dan agama lain juga mengamini hal demikian. Ia menolak Hobes yang cendrung melihat manusia dalam kodratnya yang ambigu, kodrat jahat dan baik yang bersatu. Secara implisit Gandhi menyatakan Kekerasan adalah difusi dari luar aktor. Faktor lingkungan, faktor budaya, dan sebagainya sangat mengganggu dan mempengaruhi terbentuknya rantai kekerasan. Ia menampik faktor reaksi kimiawi dalam sistem tubuh manusia yang bisa menyebabkan seseorang bertindak kekerasan.
Sedangkan Galtung lebih bernada psikoanalisis menyatakan kekerasan terjadi karena ketidaksesuaian diri aktual dan diri ideal sehingga mempengaruhi mental dan tindakan seseorang. Seorang ingin kaya tetapi dengan cara korupsi. Seorang ingin menjadi pebisnis, politikus, artis tetapi menjadi pemuka agama. Haha.
Bahkan ada teori lain bahwa kekerasan juga disebabkan oleh faktor kemiskinan. Kemiskinan bahkan dianggap ibu dari kejahatan. Dimana ada kemiskinan di sana ada lingkaran kejahatan. Kemiskinan yang dimaksud ialah kemiskinan akibat struktur sosial yang salah dan tidak adil di tengah masyarakat. Berkaitan juga dengan teori Gandhi.
Produksi kekerasan yang saya sebut sebagai ekologi kekerasan di atas adalah bagaimana kekerasan terjadi seperti mata rantai yang tidak mudah diputuskan, karena sistem sosial memang menjadi tanah yang subur untuk berkembangnya lingkaran kekerasan.
Sebenarnya bila pada posisi yang tepat, kekerasan juga menjadi jalan tengah. Perang menjadi pilihan terakhir setelah berbagai upaya diplomasi perdamaian. Banyak Negara merdeka, karena memilih jalan perang ini. Tentu saja kekerasan tersebut seperti yang dikatakan Max Weber, ia merupakan monopoli Negara. Negara satu-satunya instrumen yang memiliki wewenang untuk menggunakan kekerasan demi tercapainya rasionalitas Negara (hukum).
Tetapi persoalannya ialah kerapkali dalam sistem negara yang rasionalitas publiknya masih rendah, kekerasan tidak sesuai legitimasinya, tetapi dipakai oknum yang memiliki akses untuk memonopoli kekuasaan. Hukum tidak berlaku lagi, tetapi main hakim sendiri. Terjadi inpunitas terhadap hukum pada mereka yang memegang kekuasaan, dan sebagainya.
Nah, Novel 03 menyuarakan produksi kekerasan seperti itu di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Narasi malam kematian Martin Kabiti mengungkapkan Perang Indonesia vs Timor Timur menyisakan rantai kekerasan di masyarakat yang mengalami trauma peperangan dan konflik. Peperangan membuat masyarakat miskin. Celakanya, Negara yang mereka bela yaitu Indonesia seperti “tidak hadir” untuk mensejahterakan mereka.
Sitem politik Orde Baru dan ketegangan ideologi komunisme dan demokrasi serta agama juga menjadi narasi dalam novel ini. Orde Baru mengusung Demokrasi Pancasila tetapi dalam praksisnya memasung nilai Pancasila dan memproduksi kekerasan di tengah masyarakat. Kemanusian direndahkan derajatnya oleh pertikaian ideologi yang merupakan cetusan akal manusia. Demokrasi hanyalah tempelan pada Negara tetapi militeristik dan anti kritik menguat.
Budaya Kekerasan
Tidak hanya penggambaran melalui tokoh tetapi pengarang novel 03 juga menggunakan diksi-diksi kotor dan kekerasan yang acapkali dipakai dalam keseharian di tengah masyarakat. Misalnya kalimat Tolo! Puka mai, dll.
Permainan narasi dalam novel ini menggambarkan reaksi kelompok besar masyarakat yang terpasung secara ekonomi dan politik. Reaksi itu nampak dalam harapan-harapan dan cita-cita menjadi figur yang memiliki kekuasaan, otoritas, dihormati dan disegani. Apa cita-citamu, nak? Mau menjadi tentara. Karena tentara terlihat maco dan gagah, itu contohnya. Lupa bahwa menjadi petani yang serius dan modern justru menghidupkan banyak orang.
Dengan keadaan seperti itu apa yang dikatakan oleh Etzioni, kekuasaan ialah kemampuan untuk mendominasi orang lain, melalui priveledge, ekonomi, ketahanan fisik, untuk menguasai terserap dalam diri anak-anak. Kisah-kisah pertikaian, kemabukan, pembunuhan menjadi narasi heroik dan inspiratif sementara perjuangan kemanusiaan dan inovasi melalui penemuan dan ilmu, jauh dari mimpi, karena secara ekonomi barangkali tak bisa menjangkaunya. Narasi kekerasan membentuk persepsi dan diterima tanpa tanya. Kekerasan dalam kehidupan keseharian dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Misalnya serdadu Ipi memiliki priveledge sebagai seorang tentara dengan seenaknya menjadikan Silvi yang berparas cantik sebagai calon istrinya. Begitu juga kisah tentang Romo Josef, Maria dan Silvi berada dalam pusaran kekerasan seperti ini.
Mungkin juga Felix yang membanting kursi dan merusak kaca jendela sekolah bagian dari radiasi kekerasan ini dan juga Romo A yang diprotesnya. Bisa saja Felix dan Romo A bagian dari diri lain Romo Yosef dalan novel 03 yang menghalangi mimpi si Silvy. Haha (Guyonan saja)
Apalagi ditopang oleh budaya Maco Patrialistik, kekerasan terkait seks dan gender diterima sebagai kebiasaan. O3 mengungkapkan kenyataan tersebut bahwa perempuan seperti layaknya moke dan sopi ditenggerokan Yosef dan Ipi. Maria, Marta, Silvy dan lain-lain mengalami nasib seperti itu.
Malangnya, Gereja yang semestinya menjadi solusi terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan digambarkan sebagai institusi yang kumpul kebo dengan dominasi terhadap kelompok lemah. Walaupun ini tidak sepenuhnya benar, karena kehadiran Gereja di NTT nyata dalam membantu masyarakat, tetapi karena moralitas kristiani yang absen di tengah masyarakat, baik dikalangan pejabat pemerintahan dan masyarakat membuat Gereja menjadi sasaran Kritik. Banyak pejabat lulusan dari sekolah Katolik, tetapi bagaimana moralitas kristiani dihayati dan dipertanggungjawabkan di ruang publik?
Pada bagian narasi Romo Yosef yang tampan, bijak, cerdas, inovator, Novel 03 justru kemudian membawa pada kenyataan lain, pada permasalahan amoral. Romo Yosef menjadi tokoh idola sekaligus kontroversial.
Pada bagian narasi Romo Yosef yang tampan, bijak, cerdas, inovator, Novel 03 justru kemudian membawa pada kenyataan lain, pada permasalahan amoral. Romo Yosef menjadi tokoh idola sekaligus kontroversial.
Namun sisi lain, keberpihakan pengarang adalah kelompok yang secara sosial termarginal dan mengalami kekerasan baik dalam rumah tangga, tradisi maupun dalam struktur sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yaitu kaum perempuan. Maria sebagai tokoh aktivitis yang berani meludah wajah Kepala Tentara ketika suaminya meninggal ditabrak oleh truk Militer menunjukan perjuangan gender dan kritik kepada budaya Maco Patrialistik. Silvy yang jenius, sangat cerdas menurut profesor dari Ledalero seharusnya memiliki masa depan yang cemerlang. Tetapi ternyata Maria dan Silvy mengalami nasib yang naas. Mereka hidup dalam ekologi kekerasan yang selalu menemukan jalan buntu untuk maju.
Meskipun demikian, Felix Nesi dalam novelnya O3 membawa pembacanya ke dalam suasana retret dan rekoleksi tentang ekologi kekerasan ini. Selain itu ia mengajak pembaca untuk kritis terhadap persoalan-persoalan sosial, diskriminasi dan kesenjangan sosial lainnya. Oetimu adalah salah satu tempat untuk mewakili kebanyakan daerah tertinggal di NTT.
*Penulis adalah Biarawan Katolik dari Kongregasi Missionariorum a Sacra Familia (Misionaris Keluarga Kudus). Kini menjalankan misinya di Kalimantan Timur. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di akun facebook penulis dan kembali dipublikasikan di media ini atas izin penulis.
Ilustrasi: Diolah dari karya Angga Wijaya
Ilustrasi: Diolah dari karya Angga Wijaya
0 Response to "Ekologi Kekerasan dalam Novel O3 Felix Nesi"
Posting Komentar