Oleh: Yonathan Lu Walukati
Beberapa hari yang lalu ketika membaca postingan ini:
Saya jadi teringat akan sebuah tema perayaan Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember tahun lalu: "Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul". Sungguh sebuah cita-cita yang luar biasa mulianya. Sebab pemerintah kita memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, mendapatkan nutrisi, perlindungan sosial, dan terpenuhi hak-hak lainnya. Dengannya, penyandang disabilitas dapat mandiri, menjadi SDM yang unggul, bahkan bisa berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan Negara.
Tapi, dari postingan ini juga saya menyadari bahwa perlakuan terhadap disabilitas itu masih sama. Saya tidak ingin mengatakan ini diskriminatif. Tapi pada poin C nomor 3, secara jelas menunjukkan bahwa hal ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Sebab masih ada saja yang menuntut pelamar HARUS SEHAT JASMANI dan rohani. Ini mungkin terjadi pada beberapa persyaratan pekerjaan dari lembaga atau perusahaan lain. Tapi kebetulan pengumuman tersebut yang saya baca, tidak ada salahnya saya menulis tentang ini, khususnya poin C nomor 3; yang lainnya saya tidak tertarik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/ atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dengan adanya undang-undang tersebut, seharusnya penyandang disabilitas tidak lagi mengalami hambatan dalam berinteraksi dan berpartisipasi dengan lingkungan sekitar jika mendukung. Sebab kita semua punya hak yang sama. Namun apa yang terjadi pada poin C nomor 3 malah sebaliknya; memberikan hambatan yang sebesar-besarnya bagi penyandang disabilitas.
Lantas, mengapa hal ini masih saja terjadi di saat Indonesia mulai menggencarkan pembangunan inklusi yang harus menjadi arus utama dan terintegrasi di semua sektor pembangunan, dan melibatkan penyandang disabilitas sebagai pelaku dan penerima manfaat pembangunan?
Ini (Mungkin) Luput dari Perhatian Kita
Dari perhatian mereka yang dengan penuh kewibawaan mengusung visi-misi demi kemajuan bangsa. Dari perhatian tim sukses yang meluruskan janji manis para (calon) pemimpin. Dari saya dan kamu yang masih memandang sebelah mata para penyandang disabilitas.
Reformasi sektor publik yang telah menjadi tren pemerintahan di seluruh dunia sejak 1980-an hingga menjadi reformasi birokrasi di Indonesia, dimulai dengan masa inisiasi tahun 2005-2009. Dan tahap pertama program reformasi birokrasi nasional (2010-2014), dimana arah kebijakannya adalah pembentukan infrastruktur birokrasi nasional yang ditandai dengan terbitnya sejumlah undang-undang (UU) fundamental aparatur negara beserta peraturan pelaksanaannya. Diantaranya UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ternyata belum mampu merubahnya.
Indonesia Inklusi hanya akan jadi mimpi di atas mimpi sebab penyandang disabilitas memimpikan inklusi, namun yang menjanjikan inklusi menjauhkan mimpi. Tanda-tanda kebijakan pemerintah yang mulai inklusif sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016, belum nampak jelas. Berapa undang-undang lagi yang dibutuhkan agar kita tidak hanya setara pada janji-janji manis, tapi juga ada dalam realita yang sesungguhnya.
Dari Keputusan Menteri Ketenagakerjaan & Transmigrasi Nomor: 205/1995 yang merupakan dua kebijakan pokok yang memperhatikan penyandang disabilitas dimana pasal yang menyangkut ketenagakerjaan, ketentuan kuota (Pasal 14) yang menyatakan bahwa pengusaha/majikan harus mempekerjakan satu penyandang disabilitas untuk setiap 100 orang pekerja. Pasal 28 menetapkan sanksi (sekitar Rp. 200.000.000,-) bagi perusahaan yang gagal memenuhi ketentuan kuota tersebut.
Kemudian Undang-Undang Nomor: 4/1997 mengenai Penyandang Disabilitas, dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor: 43/1998 (Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas), hingga Konvensi PBB yang telah diratifikasi pada November 2011 hingga menjadi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Kini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum memberikan pengaruh pada ketenagakerjaan disabilitas, sehingga peraturan tersebut belum diimplementasikan.
Alternatif Solusi?
Karena saya hanya membahas poin C nomor 3, maka solusinya adalah hilangkan persyaratan diskriminatif tersebut. Karena kita semua setara, baik di mata Hukum, HAM dan Agama.
0 Response to "Suara Disabilitas: Harus Sehat Jasmani, Ini (Mungkin) Luput dari Perhatian Kita"
Posting Komentar