Oleh: Rima Melani Bilaut*
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu Provinsi Kepulauan di Indonesia, memiliki luas laut ± 200.000 Km² di luar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dengan hamparan lautan yang luasnya empat kali luas daratan ini, menjadikan laut NTT kaya akan potensi sumber daya laut.
Laut NTT merupakan rumah bagi 500 spesies terumbu karang, 300 spesies ikan dan 3 spesies kura-kura. Sumber daya laut utama andalan NTT adalah perikanan, rumput laut dan garam. Hingga tahun 2018, dengan jumlah nelayan sebanyak 79.642 jiwa, produksi perikanan tangkap di NTT tercatat mencapai 157.691 ton.
Sementara itu provinsi NTT menempati posisi kedua sebagai produsen rumput laut terbesar di Indonesia setelah Sulawesi Selatan (BPS Provinsi NTT, 2019). Namun, dengan kondisi kekayaan sumber laut NTT yang demikian tidak membuatnya lepas dari ancaman.
Pertama, ancaman limbah plastik. Menurut hasil penelitian yang disampaikan Lumban Nauli L. Toruan dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Nusa Cendana (Undana) pada Rapat Koordinasi Teknis Pengendalian Kerusakan Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Provinsi NTT tahun 2019, limbah yang ditemukan di laut sebanyak 70% adalah plastik. Keberadaan limbah plastik merupakan ancaman karena dapat menyebabkan kematian bagi ikan, sama seperti kasus paus mati di perairan Wakatobi setelah menelan 5,9 Kg sampah plastik.
Studi kolaboratif yang dipublikasikan 19 November 2019 dalam jurnal Frontiers in Marine Science, menemukan bahwa pari manta dapat menelan hingga 63 buah plastik setiap jam yang dimakan di perairan Nusa Penida dan Taman Nasional (TN) Komodo (Mongabay, Desember 2019). Hasil penelitian lain yang dipresentasikan oleh Fakultas Perikanan dan Kelautan Undana, dari 125 ekor ikan tongkol dari perairan teluk Kupang 80,8% sudah terpapar mikroplastik. Dengan adanya temuan ini, bukan saja hewan laut di NTT, tetapi kehidupan penduduk di daratan juga ikut terancam.
Kedua, pengerusakan ekosistem laut oleh nelayan. Aktivitas pengeboman ikan adalah salah satu wujud pengerusakan ekosistem laut yang sering terjadi di perairan laut NTT. Di akhir tahun 2019, lima orang nelayan tertangkap tangan karena melakukan pengeboman di perairan pantai utara pulau Flores, Sikka. Aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak berdampak langsung terhadap kerusakan terumbu karang, kematian ikan target dan non-target serta ekosistem lain di perairan (Mongabay, 2019).
Akibatnya, kelima nelayan tersebut diancam terkena hukum pidana berlapis karena melanggar lebih dari lima undang-undang terkait aktivitas peledakan tersebut, salah satunya UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Selain pengeboman ikan, penangkapan dan penjualan penyu secara ilegal masih marak terjadi. Seperti yang terjadi di Pasar Dimukaka, Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. WALHI NTT menilai, kedua peristiwa tersebut terjadi karena minimnya pemberian pendidikan hukum lingkungan oleh pemerintah NTT, khususnya pendidikan hukum laut dan pesisir bagi warga yang pada dasarnya punya ketergantungan terhadap laut.
Ketiga, privatisasi untuk keperluan pembangunan reklamasi, pariwisata dan pertambangan. Salah satu contoh permasalahan-permasalahan tersebut adalah kasus privatisasi untuk pembangunan kolam apung dan jety di Pulau Awololong Kabupaten Lembata. Adanya pembangunan restoran apung ini, potensi kerusakan dan pencemaran laut yang akan ditimbulkan cukup besar. Bahkan akan menyebabkan kepunahan siput yang menjadi salah satu pangan masyarakat di pesisir Awololong.
Masih dari lembata, proyek reklamasi di pantai Balauring juga menjadi ancaman bagi laut NTT. Pasalnya, reklamasi tersebut tidak hanya merampas ruang hidup bagi setidaknya 400 kepala keluarga masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar pantai Balauring, tetapi juga akan berdampak pada sedimentasi yang masif dan memicu kerusakan ekosistem mangrove di desa tersebut.
Di Kota Kupang, pembangunan hotel dan restaurant yang terkesan memunggungi laut Teluk Kupang juga berdampak pada tertumpuknya limbah yang dibuang ke laut, sedimentasi hingga tertutupnya akses nelayan yang kehidupannya bersumber dari laut Teluk Kupang. Sementara di Kabupaten Sumba Barat Daya, 80% pesisirnya sudah dikapling untuk pemilik modal atau investor baik lokal maupun asing.
Melihat acaman-ancaman tersebut, WALHI NTT menilai pemerintah di NTT cukup lamban dalam melindungi laut NTT yang begitu kaya dengan sumber daya. Dalam peringatan Hari Laut Sedunia (08 Juni 2020) WALHI NTT mendesak pemerintah untuk:
Pertama, memberikan penegakan hukum lingkungan yang konsisten dalam melindungi laut.
Kedua, memberikan pendidikan konservasi dan hukum lingkungan kepada nelayan dan masyarakat pesisir.
Ketiga, melarang setiap kapal atau penumpang kapal untuk membuang sampah di laut.
Keempat, mendirikan BKSDA di setiap pulau di NTT.
Kelima, meningkatkan anggaran untuk konservasi kelautan khususnya perlindungan nelayan dan masyarakat pesisir.
Keenam, melepaskan lahan-lahan di pesisir sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Perpres 51 tahun 2016 tentang Batasan Sempadan Pantai.
Ketujuh, menghormati hak-hak masyarakat adat di laut dan pesisir.
*Penulis, Koordinator Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT
Sepertinya WALHI harus bekerja keras lagi karena untuk konservasi laut dan pesisir akan terganjal pada proyek pembangunan infrastruktur yg sedang digaungkan oleh pemerintah. Dan di NTT yg namanya pembangunan selalu identik dengan gedung2 besar. Saya juga setuju bahwa pembangunan hotel dan restoran yg menjorok ke laut sudah termasuk dalam perusakan lingkungan.
BalasHapus