Kupang, LekoNTT.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT pada Selasa (5/5/2020) telah menyampaikan laporan kasus berupa surat resmi ke Ombudsman NTT. Surat tersebut berkaitan dengan adanya laporan pengukuran sepihak yang dilakukan oleh pihak Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Kabupaten Sumba Timur di kawasan wilayah kelola rakyat Desa Lumbu Manggit, Kecamatan Wula Waijelu, Sumba Timur.
Laporan tersebut diterima langsung oleh Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton. “Kami akan pelajari dan akan kami konfirmasi kembali,” ujar Darius usai menerima pengaduan tersebut.
Kasus yang dialami masyarakat Desa Lumbu Manggit menambah deretan panjang persoalan warga khususnya di wilayah kelola masyarakat di pesisir. Dalam catatan WALHI NTT, persoalan pesisir bukan hal yang baru terjadi di NTT tetapi sudah lazim diadukan masyarakat, namun sejauh ini belum juga diatasi secara baik.
Pada tahun 2019 Desa Matawai Atu, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur masyarakat pesisir yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan juga merasakan hal yang serupa. Akses sumber daya alam di wilayah pesisir dipersulit.
Di tahun 2020 kembali terjadi persoalan di wilayah kelola warga pesisir tepatnya di Desa Lumbu Manggit, dimana diduga ATR/ BPN melanggar kesepakatan bersama pada tanggal 3 Maret 2020. Termaktub dalam kesepakatan itu agar ATR/ BPN tidak melakukan pengukuran di wilayah pesisir karena wilayah tersebut merupakan akses dan ruang hidup bagi nelayan.
Berdasarkan laporan tersebut Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT mengadukan persoalan masyarakat pesisir kepada Ombudsman RI perwakilan NTT. Umbu Wulang menegaskan bahwa WALHI NTT telah melayangkan surat pengaduan juga kepada ATR/ BPN Provinsi NTT untuk menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengukuran yang diduga secara sepihak.
"Pemerintah atau negara harus memastikan keselamatan warga dan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir. Bagaimana bisa menjamin kesejahteraan jika akses masyarakat terhadap sumber daya alam ditutup atau diklaim secara sepihak oleh negara?" tandas Umbu Wulang.
Lebih lanjut ia mengatakan, semua pihak harus melihat kembali Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. “Ini belum lagi soal penegakan atas mandat Perpres Nomor 51 tahun 2016 tentang Sempadan Pantai".
Dalam surat tersebut, WALHI NTT juga melampirkan data dan kronologis kasus kepada Ombudsman NTT dan ATR/ BPN Provinsi NTT. Beberapa data diantaranya berupa peta lokasi yang tertera dalam laman website petanahan, kronologi kasus, surat penolakan warga yang ditandatangani nelayan dan masyarakat pesisir serta dokumen pendukung lainnya.
Umbu Wulang menilai bahwa persoalan warga di wilayah pesisir tidak secara serius dilihat oleh pemangku kebijakan. Ada begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, yang kemudian bermuara pada masyarakat. Jika melihat persoalan pesisir yang terus terjadi akhir-akhir ini seharusnya pemerintah bersikap tegas untuk menakan konflik di wilayah pesisir, bukan sebaliknya membiarkan konflik terus berkembang.
"Kita tentu saja masih ingat soal kasus pelanggaran HAM di Sumba Barat juga bersentuhan dengan persoalan pesisir. Seharusnya ini menjadi bahan evaluasi betapa buruknya pemerintah melindungi keselamatan warga dan wilayah kelola rakyat".
Selain itu WALHI NTT juga meminta Bupati Sumba Timur untuk menegur pihak ATR/ BPN Sumba Timur agar tidak melakukan aktivitas pengukuran di luar kesepakatan bersama. “Saya kira Bupati sebagai pemimpin tertinggi di Sumba Timur juga tidak boleh membiarkan ruang kelola rakyatnya diutak-atik oleh ATR atau BPN Sumba Timur,” tegas Umbu Wulang. (red)
0 Response to "Wilayah Kelola Rakyat Dikapling, WALHI NTT Laporkan ATR/ BPN Sumba Timur ke Ombudsman NTT"
Posting Komentar