Kupang, LekoNTT.com - Kasus yang dialami masyarakat adat Pubabu, Amanuban Selatan, TTS kembali mencuat pada Selasa (12/5/2020) ketika Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati TTS Egusem Pieter Tahun bersama rombongan secara tiba-tiba mendatangi lokasi Besipae. Sempat terjadi insiden antara rombongan pejabat dan masyarakat adat Pubabu, namun situasi tersebut kemudian diakhiri dengan dialog bersama.
Insiden yang turut menarik perhatian publik di tengah fokus pandemi Covid-19, sekaligus menjadi peristiwa pengingat akan berbagai proses penyelesaian kasus tanah dan hutan adat Pubabu. WALHI NTT, Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA-PKK), Front Pembela Rakyat (FPR) menyebutnya sebagai usaha melawan lupa.
Bahwa pada tahun 2011, KOMNAS HAM melalui surat dengan Nomor: 873/K/PMPT/IP/2011, meminta Pemerintah Provinsi NTT untuk menghentikan segala aktivitas proyek peternakan sampai konflik lahan terselesaikan. Surat itu kemudian didukung lagi dengan surat surat lainnya dari KOMNAS HAM, Kementerian Hukum dan HAM hingga Ombudsman NTT yang meminta penyelesaian konflik.
"Kami melihat hingga hari ini, rekomendasi tersebut tidak dijalankan oleh Pemprov sejak 2011 hingga kini. Yang terjadi justru tindakan pemaksaan yang berulang ulang," ungkap Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
Selanjutnya pada 2017, Badan Pertanahan Nasional dalam kesempatan hearing dengan DPRD Provinsi NTT, mengakui telah kehilangan sertifikat hak pakai yang dimiliki sejak 1987. Sertifikat dimaksud telah berakhir pada 2012.
"Kami menilai keluarnya sertifikat hak pakai yang baru dikeluarkan pada 2013 dengan alasan sertifikat hak pakai yang lama telah hilang sungguh tidak berdasar. Belum ada lagi kesepakatan baru dengan warga terkait perpanjangan kontrak. Tiba tiba sertifikat baru dibuat". Umbu Wulang pun mengatakan bahwa belum ada proses perbincangan dengan warga dalam menyikapi sertifikat hak pakai yang telah selesai di 2012.
WALHI NTT, ITA-PKK dan FPR sangat menyayangkan kehilangan tersebut dan mengecam proses pengeluaran sertifikat baru tanpa sepengetahuan masyarakat adat Pubabu. Apalagi kemudian sertifikat tersebut ternyata banyak mengambil ruang hidup rakyat, mulai dari tanah pekarangan, belukar hingga rumah warga.
Sebelumnya, pada 12 Maret 2020 saat hearing bersama warga Pubabu, pimpinan DPRD Provinsi NTT dan Komisi 1 berjanji akan membentuk tim pencari fakta. Selain itu DPRD Provinsi NTT berjanji akan segera menyurati Pemprov NTT untuk menghentikan segala aktivitas sebelum konflik warga adat Pubabu dan Pemprov terselesaikan. Namun hingga kini, sampai peristiwa 12 Mei terjadi belum ada petunjuk apapun bahwa DPRD telah menepati janji.
Insiden yang terjadi di Besipae pada 12 Mei 2020 berakhir dengan terbangunnya dialog kondusif antara warga dan Gubernur NTT. Dalam dialog tersebut, Gubernur NTT menjanjikan akan ada pertemuan lanjutan untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan dan hutan adat antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu pada Juni 2020 mendatang.
Janji tersebut diapresiasi oleh WALHI NTT, ITA-PKK, FPR sebagai upaya persuasif yang baik dari Gubernur NTT guna menyelesaikan konflik yang sudah terjadi sejak 2008 ini. "Kami memandang momentum bulan Juni adalah akhir dari konflik berkepanjangan selama 12 tahun ini," ungkap Matias Kayun, perwakilan FPR sebagaimana dalam keterangan tertulis.
Terlepas dari insiden yang terjadi, Matias menilai kalau substansi dari janji Gubernur NTT akan terbangun suatu musyawarah bersama antara pemerintah dan masyarakat hingga mencapai kesepakatan. "Tidak ada lagi upaya intimidasi atau kriminalisasi yang sudah dirasakan masyarakat adat Pubabu sejak belasan tahun lalu. Rakyat akan lega dan bisa lebih fokus untuk membangun kehidupannya tanpa konflik yang menguras banyak energi lagi".
Namun pemberitaan media pada 13 Mei 2020 sebagaimana dimuat oleh NTT Terkini, justru bertolak belakang dengan janji persuasif Gubernur. Diberitakan bahwa Kepala Biro Hukum Setda NTT, Alex Lumba dan Ketua Komisi II DPRD Provinsi NTT, Kasimirus Kollo sepakat melaporkan warga secara hukum kepada pihak berwajib.
Tidak tanggung tanggung, tiga hal sekaligus akan dilaporkan. Pertama soal pornografi. Kedua, soal penyerobotan lahan. Ketiga, penghinaan terhadap pejabat negara. "Berita ini justru kontraproduktif dengan janji Gubernur NTT".
Atas perkembangan ini, WALHI NTT, ITA-PKK, dan FPR menyatakan:
Pertama, mengharapkan Gubernur NTT untuk memenuhi janjinya dalam bermusyawarah dengan masyarakat adat Pubabu pada bulan Juni 2020. Sebab pertemuan ini sangat penting untuk mengakhiri konflik selama 12 tahun antara masyarakat adat dan Pemprov NTT.
Kedua, mengecam dan meminta Pemprov NTT bersama DPRD Provinsi NTT agar tidak melanjutkan rencana proses hukum terhadap warganya. Karena secara hukum bahwa tidak ada tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Pubabu. Secara etis, adalah berlebihan dan tidak etis pimpinan rakyat mengkriminalisasi rakyatnya sendiri.
Ketiga, meminta DPRD Provinsi untuk mengingat dan menjalankan janjinya saat rapat dengan masyarakat adat Pubabu pada 12 Maret 2020 di gedung DPRD Provinsi NTT. DPRD NTT menjanjikan akan membentuk tim pencari fakta dan bersurat ke Pemprov NTT untuk menghentikan segala aktivitas sebelum masalah konflik antara masyarakat adat dan Pemprov NTT terselesaikan.
Keempat, meminta Pemprov NTT dan DPRD Provinsi NTT untuk serius menjalankan proses persuasif karena psikologi masyarakat adat Pubabu sudah mengalami berbagai pengalaman traumatis akibat upaya upaya intimidasi, kriminalisasi, pengrusakan alam selama ini.
Kelima, meminta Pemprov NTT untuk melihat kembali data-data lama, terutama rekomendasi dari lembaga lembaga negara yang terkait dengan permasalahan di Pubabu sebagai rujukan untuk menjalankan proses persuasif.
Keenam, meminta Pemprov NTT untuk membatalkan sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 2013.
WALHI NTT menilai bahwa masyarakat adat Pubabu tidak menolak upaya pembangunan yang ramah lingkungan dan ramah adat di wilayahnya. Masyarakat adat menginginkan pengakuan dan pengembalian hak hak mereka sebagaimana juga dimandatkan oleh konstitusi.
Nikodemus Manao, tokoh adat dari ITA-PKK pun berharap agar konflik berkepanjangan yang selama ini terjadi di Pubabu segera berkahir. "Selama 12 tahun ini warga sudah mengalami berbagai pengalaman buruk, kami berharap Pemprov dapat memahami psikologi masyarakat yang telah berjuang 12 tahun dan dapat mengakui keberadaan masyarakat adat Pubabu beserta dengan kepemilikannya". (het)
0 Response to "WALHI NTT, ITA-PKK dan FPR Kecam Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Pubabu"
Posting Komentar