Oleh: Umbu Tamu Ridi*
Usaha pertambangan di Indonesia
telah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat.
Ongkos sosial yang harus dibayar masyarakat lingkar tambang pun sangat mahal.
Masyarakat kehilangan udara bersih, sumber air, wilayah kelola, bahkan
kehilangan kedaulatan sebagai pemilik sah tanah/ lahan.
Produk undang-undang dinilai
berupaya melanggengkan bisnis korporasi tambang, apalagi pemerintah merevisi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Salah
satu pasal yang direvisi yang dianggap sebagai punichment apabila
ada pelanggaran dalam penerbitan izin adalah pasal 165 yang menyatakan, “setiap
orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan
undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000”.
Revisi Undang-Undang Minerba
secara khusus pasal 165 di atas adalah sebuah pintu masuk bagi pebisnis
tambang untuk melanjutkan bisnis kotor tersebut, yang mana penerbitan izin
pertambangan merupakan salah satu fase yang sarat akan korupsi dan bahkan
penyalahgunaan kewenangan.
Sulitnya pebisnis tambang dijerat
hukum atas perilaku bisnis yang melanggar ketentuan hukum semakin menjadi-jadi,
apalagi jika pemerintah daerah yang saat ini masih memiliki kewenangan
memberikan izin usaha pertambangan tidak ketat dalam mengaudit ataupun
mengevaluasi.
Langkah moratorium izin tambang
oleh pemerintah daerah provinsi adalah sebuah kemajuan, dimana kebijakan
tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari prosedur evaluasi dan audit. Namun
jika pemerintah daerah provinsi tidak melaksanakan sesuai ketentuan hukum yang
benar maka hanya akan menunda pemberian izin, bukan mengevaluasi pelanggaran
yang dilakukan oleh pebisnis pertambangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang omor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, menetapkan kewenangan pemberian izin pertambangan ada pada
pemerintah provinsi. Dengan demikian kewenangan moratorium ada pada gubernur
sehingga kewenangan lain seperti pencabutan izin pertambangan yang dinilai
melanggar, sangat tepat dilakukan oleh gubernur.
Langkah moratorium didasarkan pada
berbagai hal. Misalkan terdapat pelanggaran administrasi, kerusakan lingkungan
yang masif, pelanggaran hukum, tidak dilakukan reklamasi pasca tambang,
terjadi gejolak atau konflik bersama masyarakat, dan lain sebagainya.
Urgensi moratorium izin tambang
tidak mengikat dan final, sehingga keputusan moratorium dibarengi dengan jangka
waktu. Tetapi dalam jangka waktu berlakunya moratorium tersebut dilakukan
sebuah evaluasi dan audit menyeluruh berkaitan dengan dasar dilakukannya sebuah
keputusan moratorium oleh pemerintah.
Evaluasi dan audit dilakukan pada
perusahan-perusahan yang diduga telah melakukan pelanggaran, baik secara
administrasi maupun non administrasi. Pada titik ini apabila pemerintah
menemukan bahwa ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahan pertambangan maka
akan diberikan sanksi berupa peringatan hingga pencabutan izin dan denda.
Kebijakan moratorium izin
pertambangan tidak sepenuhnya dapat memberikan jera terhadap perilaku
korporasi pertambangan. Daerah-daerah di Indonesia seperti Aceh dan Kalimantan
Timur, pernah diberlakukannya Peraturan Daerah moratorium izin tambang, namun
tidak melakukan audit secara menyeluruh, bahkan tetap terjadi pelanggaran.
Di Nusa Tenggara Timur, sejak
diberlakukan Surat Keputusan Gubernur Nomor: 359/KEP/HK/2018 tentang
Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
membawa harapan besar dalam perjuangan masyarakat menolak tambang. Langkah
gubernur NTT untuk melakukan moratorium izin tambang dinilai sangat tepat,
sebab banyak kasus pertambangan yang tidak dapat diselesaikan dari tahun ke
tahun.
Terdapat 309 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh kabupaten di NTT, 96 IUP berada
dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi, 5.620,26 HA yang berada di
kawasan hutan produksi dan 65.862,87 berada di kawasan hutan lindung. Hal ini
menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat.
Namun demikian, kebijakan
Moratorium Izin Usaha Pertambangan (MIUP) yang sejak diberlakukan pada November
2018, tidak sepenuhnya menjadi langkah baik dalam pemulihan lingkungan dan
meminimalisir konflik sosial yang terjadi di NTT. Perusahan-perusahan
pertambangan terus beroperasi, dan pengaduan masyarakat tidak menjadi
pertimbangan pemerintah.
Di kampung Luwuk dan Lingko Lolok,
Manggarai Timur misalnya, sedang dan akan terjadi konflik masyarakat berkaitan
dengan rencana Pemerintah Daerah Manggarai Timur dan Gubernur NTT yang
memberikan izin baru untuk pabrik semen PT. Semen Singa Merah. Begitupun di
Dusun Nunang, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat sedang dilanjutkan
pembebasan lahan untuk proyek geotermal oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur
(SMI).
Selain itu, ada juga izin-izin
usaha pertambangan lain yang masih aktif dan terus beroperasi. Misalnya tambang
emas di Bukit Mas oleh PT. Kejora Patra Utama (KPU) di Pantar Timur, Kabupaten
Alor. Hingga saat ini, masyarakat masih terus melakukan penolakan.
Kebijakan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat menjadi "simalakama" di tengah masyarakat. Ia belum melakukan evaluasi izin tambang, pencabutan ataupun perpanjangan Surat Keputusan Moratorium, namun di sisi yang lain ia sudah merencanakan pemberian izin baru.
Diketahui, bahwa sejak surat
keputusan ditandatangani oleh Viktor Laiskodat pada November 2018, evaluasi
izin tidak pernah dilakukan, bahkan audit menyeluruh pada setiap perusahan
pertambangan di NTT. Padahal poin-poin moratorium izin tambang berangkat dari
kegelisahan gubernur terkait kerusakan lingkungan dan gejolak sosial di
masyarakat lingkar tambang.
Bahkan saat itu Viktor Laiskodat
ingin mencabut izin tambang secara permanen sebab telah merusak lingkungan dan
tidak memberikan pendapatan daerah secara maksimal. Tenaga kerja lokal pun
hanya 0,5 % yang direkrut.
Moratorium izin tambang di NTT
mesti kuat dan bersanksi hukum. Gubernur NTT harus memperpanjang surat
keputusan moratorium dan mencantumkan poin audit lingkungan dan sanksi hukum
berupa pencabutan izin usaha pada setiap perusahan pertambangan yang
terbukti melakukan pelanggaran.
Salam Adil dan Lestari
*Penulis, Divisi Advokasi WALHI
NTT
0 Response to "Simalakama, Langkah Moratorium Izin Tambang Gubernur NTT"
Posting Komentar