Sabtu, 2 Mei 2020. Saat saya bersama ayah, ibu, dan saudari-saudara yang lain tengah membangun "Sane" (pondok) di kebun untuk menampung hasil panen jagung. Kesempatan beristirahat saya manfaatkan untuk menyusuri kali kering yang membentang di pinggir kebun. Itu kesempatan mempertemukan saya dengan ini buah dan atau biji.
Dalam Uab Metô (Bahasa Dawan-Timor) sebagaimana nama pohonnya, buah dan atau biji ini disebut "fae/ faela". Bingkek, demikian nama dalam Bahasa Indonesia dengan nama ilmiah Entada phaseoloides. Seperti tali hutan, pohonnya biasa menjalar/ melingkari pohon lainnya. Umumnya tumbuh di hutan, pinggir kali/ sungai.
Semasa kecil, di Insana, Timor Barat, kami menjadikan pohon "fae" ini untuk bermain taika-filî (ayunan/ Tarzan-Tarzanan) sambil berseru: Aueee...Auooo. Kalau pohon "fae" ini tumbuh di dekat kali yang ada genangan airnya; yang lumayan dalam, setelah dua tiga empat kali berayun, kami lepas pegangan lalu menceburkan diri ke dalam air.
Masa kecil angkatan 80-an dan 90-an yang sungguh indah. Alam turut menyediakan permainan, secara alami. Tidak di kekinian, besi besi tua dipajang-digantung di sekolah sekolah semisal PAUD atau TK; lalu anak-anak asyik bersama itu barang.
Pada tahun 1965 ketika seluruh daerah di pelosok negeri ini dilanda 'musim' kelaparan yang turut menyebabkan kematian banyak orang termasuk di Insana, Timor Barat, "fae" dijadikan sebagai bahan makanan alternatif. Stok jagung, padi, segala jenis ubi dan kacang-kacangan di kebun, tidak cukup selama tahun tersebut. Bahkan beberapa tahun setelah 1965 hingga 1979, "fae" masih dijadikan bahan makanan alternatif ketika orang-orang di kampung mulai kekurangan stok jagung, padi, dan ubi.
Selain "fae" ada juga kacang hutan (Arbila), dalam Bahasa Dawan disebut koto/ kot pese. Proses pengolahannya sama, yakni dimasak dan dibuang airnya selama sembilan atau 10 kali untuk menghilangkan zat beracun yang terkandung di dalamnya. Kalau dimasak hanya sekali atau dua tiga kali, maka seseorang bisa saja keracunan/ mabuk.
Oleh sebab itu, butuh kesabaran untuk menanti hingga tahapan akhir, termasuk sabar menahan lapar. Sakit lambung atau mati, bisa saja terjadi. "Fae" yang sudah diolah dan layak konsumsi disebut fae pese.
Namun sebelum tahun 1965 bahkan hingga saat ini, sebagian orang di Insana, Timor Tengah Utara dan mungkin daerah lainnya masih menjadikan fae pese dan kot pese sebagai makanan alternatif. Selain dikonsumsi di rumah, di pasar-pasar rakyat, kita masih bisa menjumpai mama-mama dari kampung menjual fae pese dan kot pese (dicampur); biasanya disertai unus/ unû panû/ Luât (olahan lombok disertai jeruk, kemangi, bawang, dll).
Saat ini, di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mulai mengeluarkan 'semacam' kebijakan untuk menangkal rawan pangan dengan menjadikan sagu sebagai salah satu pilihan stok makanan. Kalau padi dan atau beras, jagung, ubi dan makanan lokal lain habis, ya semua kita perlu memikirkan langkah antisipatif lain.
Memang lumayan konyol kebijakan tersebut. Ribuan hektar sagu sudah dibabat habis untuk dijadikan perkebunan sawit. Kini, malah 'tepuk dada' untuk menjadikan sagu sebagai pilihan antisipatif. Ini seperti mau 'jilat ludah', syukur kalau itu ludah masih ada dan belum kering. Kalau tidak, ya kembali 'jilat tanah'; isyarat ampun atas dosa-dosa kapitalis. Lupakan!
Oleh sebab itu, saya yakin di Timor Barat, secara khusus di daerah-daerah yang alamnya, hutannya, ada "fae" dan "koto", maka fae pese dan kot pese bisa dijadikan makanan alternatif kalau saja stok jagung, padi, ubi, dll mulai habis. Sebab kita belum tahu secara pasti, kapan pandemi Covid-19 akan usai. Semoga bencana kelaparan tidak menimpa semua kita, terutama rakyat kecil di mana saja berada.
Insaka, 2020
Herman Ef Tanouf
Herman Ef Tanouf
0 Response to ""Fae Pese", Makanan Alternatif Atoen Metô (Orang Dawan-Timor) di Tengah Bencana"
Posting Komentar