Oleh: Fransiskus Solanus Afeanpah*
Berbagai strategi dan upaya pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi maraknya penyebaran Covid-19 secara massif dilakukan. Perlunya jarak sosial dan jarak fisik (social distancing & physical distancing), mencuci tangan dengan sabun, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah secara online, menghindari kebiasaan berjabat tangan pada awal perjumpaan serta selalu menggunakan masker saat bepergian hingga larangan untuk tidak mudik merupakan wujud tanggung jawab dan kepedulian pemerintah kepada warga negaranya.
Tidak saja itu, Negara bahkan masih melakukan upaya lain dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Status Kedaruratan Masyarakat Covid-19 yang dilandaskan pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Guna menunjang keberlangsungan hidup warga Negara dalam menghadapi krisis ini, pemerintah juga mengalokasikan tambahan dana senilai 405,1 Triliun Rupiah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang terbit pada 31 Maret lalu.
Namun apa boleh buat. Strategi dan upaya pemerintah ini belum membuahkan hasil yang memadai. Pada tataran realitas, trend perkembangan Covid-19 di Indonesia masih cenderung meningkat, baik yang berstatus positif maupun yang meninggal dunia. Meskipun pasien yang sembuh juga cukup meningkat sebagaimana diungkap Juru Bicara Pemerintah Ahmad Yurianto per 12 Mei 2020, misalnya, bahwa jumlah pasien positif bertambah 484 orang menjadi 14.749 orang, pasien sembuh bertambah 182 menjadi 3.063 orang. Pasien meninggal dunia bertambah 16 orang sehingga menjadi 1.007 orang.
Selain meningkatnya kasus Covid-19 secara signifikan karena warga Negara yang belum disiplin mengikuti aturan pemerintah, juga tak bisa disangkal bahwa sebagian warga masyarakat lapisan bawah yang terdampak di daerah pelosok belum ‘tersentuh’ oleh bantuan pemerintah. Sebut saja di daerah pelosok Nusa Tenggara Timur. Para pekerja harian seperti buruh, petani, nelayan, tukang ojek pada akhirnya harus menolong diri sendiri dengan bergantung pada alam demi keberlangsungan hidup mereka.
Padahal dana yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 terbilang besar nilainya. Namum prosedur pengalokasian dan pendistribusian terkesan sangat berbelit-belit sebagai akibat mekanisme administrasi birokrasi yang panjang dan rumit.
Pada akhirnya percakapan antara warga desa terdampak hari-hari ini bukan lagi tentang ‘’apakah kamu sudah mendapat bantuan dari pemerintah?’’ tetapi ‘’berapa karung umbi beracun yang kamu ambil di hutan untuk dimakan hari ini: sekarung, dua karung atau tiga karung?’’ Sungguh, fakta ini mengantar kita untuk berkesimpulan bahwa upaya dan strategi pemerintah ibarat api yang masih jauh dari panggangan.
Warga Negara yang Belum Disiplin
Salah satu penyebab meningkatnya kasus Covid-19 secara signifikan adalah adanya warga Negara yang belum disiplin menjalani berbagai imbauan dan peraturan pemerintah. Tentu jawabannya tidak bagi mereka yang ditugaskan secara krusial oleh Negara seperti para medis, aparat TNI-POLRI dan para pekerja harian (yang tidak mendapat bantuan) serta profesi lain yang mengemban tugas Negara.
Namun, pokok soal ialah: mengapa masih ada warga Negara yang terus ‘membangkang’ terhadap aturan pemerintah dan terus berkeliaran tanpa mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan? Padahal tidak punya alasan sah secara obyektif.
Menurut perspektif sosiologis dari aspek paradigma perilaku sosial dengan obyek studi pada perilaku manusia dan hubungannya dengan lingkungan, dikatakan bahwa setiap norma, nilai dan struktur sosial merupakan sesuatu yang berada di luar diri manusia sehingga dianggap sebagai sesuatu yang asing. Itu berarti norma dan nilai itu belum menyatu dan belum membudaya di dalam diri pribadi manusia sehingga membutuhkan waktu untuk melakukan proses adaptasi.
Pandangan ini kemudian ditelaah lebih lanjut oleh George Simmel sebagai peletak dasar Teori Pertukaran dengan didasari pada asumsi do ut des (saya memberi supaya engkau memberi). Menurut Simmel, semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. ‘’All contacts among men rest on the scheme of giving and returning the equivalent’’.¹
Telaahan menarik lain yang mirip dengan pandangan teori pertukaran adalah kajian Lwarence Kholberg tentang ‘Kesadaran Moral’. Menurut Kholberg, manusia pada jenjang tertentu meskipun kelihatan sudah lebih rasional tetapi tindakan moralnya masih kekanak-kanakan.
Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Prinsipnya adalah saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. You scratch my back I scratch yours. Anda menggaruk punggungku dan aku menggaruk punggungmu.²
Kedua telaah kritis terurai di atas, setidaknya membantu kita dalam memberikan jawaban tentang alasan mengapa masih banyak warga Negara kita yang belum menaati berbagai aturan pemerintah.
Negara yang Tak Hadir
Hingga kini masih terdapat sebagian masyarakat lapisan bawah yang terdampak namun belum mendapat ‘belaian’ dari pemerintah. Di berbagai tempat, warga yang sangat terdampak terpaksa menolong diri sendiri, dengan bantuan para dermawan dan donatur, atau dengan sumbangan dari posko beberapa partai politik.
Memang terdengar kritik bahwa parpol-parpol ini mencoba mengail di air keruh. Tetapi, apa salahnya, kalau parpol-parpol ini hadir di tengah krisis dan memberi bantuan nyata kepada penduduk untuk mendapat simpati mereka? Yang dibutuhkan saat ini adalah adanya bantuan nyata, sedangkan motif dari bantuan merupakan hal sekunder, sepanjang bantuan itu diberikan tanpa mengikat.
Dalam teori Negara manapun, liberal atau sosialis, Negara diharuskan hadir saat masyarakat dilanda krisis. Ada perbedaan antara kedua sistem itu sejauh menyangkut keadaan normal.
Dalam sistem sosialis, Negara selalu (memaksa) hadir, entah dibutuhkan atau tidak. Sedangkan dalam sistem liberal, masyarakat diberi kebebasan sejauh mungkin mengatur diri sendiri, sementara Negara harus hadir apabila dibutuhkan masyarakat atau diminta oleh anggota masyarakat.
Dalam Welfare State yang merupakan kompromi kedua sistem itu, hampir secara harafiah dikatakan, bila seorang warga datang kepada Negara dan mengatakan bahwa dia lapar, maka dia tidak diperbolehkan pulang ke rumahnya dengan perut kosong dan tangan hampa. Seorang kepala keluarga bebas mengatur keluarganya tanpa campur-tangan polisi, tetapi kalau keluarga itu terserang oleh segerombolan perampok, maka kepala keluarga dapat meminta bantuan polisi. Dan polisi sebagai aparat Negara berkewajiban membantu, sekalipun tidak dibayar dengan uang terimakasih oleh keluarga itu. Dengan rumusan yang lain, dalam teori demokrasi, Negara harus hadir bilamana masyarakat membutuhkannya.³
Menimbang Jalan Keluar
Dua pokok persoalan besar yang disodorkan ini bukan saja kepada pemerintah, tetapi juga masyarakat. Yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana masyarakat perlu disiplin dan pemerintah perlu hadir bagi masyarakat yang belum ‘tersentuh’ dalam situasi krisis kebencanaan ini.
Ilustrasi: Jawa Pos
Perlu kita sadari bahwa ketidakdisiplinan terhadap berbagai imbauan dan aturan pemerintah di saat krisis seperti ini, akan berdampak secara krusial baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitar. Menjadi benar adanya anggapan bahwa menaklukan musuh lebih gampang dari pada menaklukan diri sendiri dari rasa egois dan kepentingan pribadi yang dominan karena motivasi do ut des dan keinginan mencapai kenikmatan secara langsung. Untuk alasan itu, maka alangkah baiknya kita perlu meningkatkan sikap disiplin diri dan kepedulian yang tinggi sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di tanah air.
Yang tak kalah penting adalah pemerintah perlu hadir secara nyata bagi masyarakat yang belum ‘tersentuh’. Bahwa Negara kita belum dapat mengatasi praktik KKN, sudah dimaklumi masyarakat. Bahwa demikian banyak korban yang mati sia-sia dalam konflik di berbagai daerah, karena Negara tak sanggup mengatasinya, sudah pula diterima dengan penuh pengertian. Tetapi, bahwa masih banyak warga masyarakat lapisan bawah yang tidak mendapat bantuan demi keberlangsungan hidup di tengah pandemi Covid-19 padahal dananya begitu besar; betapa sulit memahaminya.
Maka sangat penting untuk dilakukan evaluasi secara bertahap dan terus-menerus dalam rangka memutus mata rantai administrasi birokrasi yang berbelit dalam pembagian bantuan sosial oleh pemerintah. Dengan demikian bantuan tersebut akan benar-benar sampai ke tangan masyarakat lapisan paling bawah serta terhindar dari niat jahat praktik politisasi bansos oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Keterangan:
¹. George Simmel, The sociology of sociology ( Glecoe, The Free Press, 1950) dikutip oleh Wallace & Wolf. Hal. 163.
². Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum–Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, Cetakan ke Tiga, 2013, Hal. 34.
³. Kompas.com (2011, 9 Oktober). Banjir dan Negara yang Tak Hadir. Diakses pada 11 Mei 2020 pukul 20:00 Wita.
¹. George Simmel, The sociology of sociology ( Glecoe, The Free Press, 1950) dikutip oleh Wallace & Wolf. Hal. 163.
². Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum–Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, Cetakan ke Tiga, 2013, Hal. 34.
³. Kompas.com (2011, 9 Oktober). Banjir dan Negara yang Tak Hadir. Diakses pada 11 Mei 2020 pukul 20:00 Wita.
0 Response to "Covid-19, Negara dan Warga Negara"
Posting Komentar