Oleh: Dominggus Elcid Li
Melalui berita media online diketahui, WHO mengumumkan bahwa Indonesia sudah memasuki fase Community Transmission. Bukan hal baru, para epidemiolog Indonesia sudah menyatakan duluan.
Kondisi Indonesia di sini terutama mewakili kondisi Jakarta, maupun kota-kota besar utama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan, maupun Papua, yang angka penyebarannya termasuk sulit dikontrol, dan contact tracing tidak mudah dilakukan, dan proses pembuatan cluster menjadi sulit dilakukan karena penyebaran telah begitu meluas.
Berhadapan dengan kondisi ini, komunitas akademik, terutama kaum epidemiolog merasa bahwa cukup lama pemerintah tidak membuka kanal bagi mereka untuk terlibat. Akibatnya sungguh dirasakan ketika penyebaran virus memasuki fase anarki.
Mereka yang tampak normal, ternyata adalah pembawa virus, dan penyebarannya meluas tanpa bisa dikontrol. Bahkan sebagian berpendapat virus telah lama masuk (sebagian memperkirakan di Bulan Januari), sehingga pasien R 01 di Depok dianggap bukan lah R 01 yang sebenarnya.
Jika skenario ini benar, memang kita tertinggal jauh dalam mengantisipasi. Seorang kawan yang merupakan pakar bencana mengatakan ‘Kita perlu melakukan redefinisi ulang atas konsep bencana ketika virus yang menjadi unsur utama pandemi’, dan virus itu belum lagi dikenali seutuhnya.
Quo vadis NTT?
Dalam kontur kepulauan, wilayah Provinsi NTT yang dulu merupakan bagian eks Provinsi kepulauan Sunda Kecil, mengalami gelombang pandemi yang sedikit berbeda. Lokasinya yang berada jauh di Tenggara Timur, memungkinkan untuk mendapatkan sedikit waktu tambahan untuk mempersiapkan diri berhadapan dengan pandemi.
Salah satu strategi awal yang jelas berbeda dengan pemerintah pusat adalah ‘konsep penutupan wilayah’. Misalnya sejak tanggal 25 Maret 2020, Wakil Bupati Manggarai Barat yang seorang epidemiolog itu mengeluarkan surat penutupan wilayah (lockdown lokal). Surat ini kemudian dijawab oleh pemerintah provinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat dengan menyatakan bahwa ‘Pemerintah Kabupaten tidak berhak menutup, itu wewenang pemerintah pusat’. Sikap yang serupa dengan Kabupaten Manggarai Barat, diambil oleh Pemda Kabupaten Rote-Ndao yang keluar dengan sekian protokol di fase jauh lebih awal, dan dijawab serupa.
Di pusat, baru pada tanggal 30 Maret 2020 Presiden Jokowi menandatangani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dengan turunan aturannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan diatur juga diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Padahal sudah diketahui sejak tanggal 3 Maret 2020 di Kupang telah diketahui dua orang Pasien Diduga Penderita (PDP), dan di Labuan Bajo per tanggal 6 Maret 2020 ada satu orang PDP.
Selanjutnya pada tanggal 25 Maret dan 7 April, masing-masing satu orang PDP meninggal. Pasien pertama mempunyai riwayat berada di Surabaya, dan pasien kedua mempunyai riwayat tinggal di Denpasar. Pemetaan orang yang bersentuhan langsung dan berdekatan perlu dilakukan, selain memetakan cluster Gowa.
Belajar dari sini terlihat ada jeda pengetahuan antara pemerintah pusat, dengan pengetahuan kepala wilayah di Manggarai Barat. Sehingga kita pun bertanya ‘mengapa birokrasi kita tidak bekerja melampaui kecepatan virus’. Bahkan, sebagian birokrat menolak untuk berpikir, dan hanya menjawab ini wewenang pemerintah pusat.
Berhadapan dengan karakter virus yang tidak mengenal otoritas birokrasi, dan hanya masuk ke tubuh manusia dan merusak berdasarkan standar imunitas seseorang, model pengambilan keputusan seharusnya lebih didasarkan pada nalar pertimbangan efek destruktif virus, dibandingkan dengan persoalan ‘ini wewenang siapa’.
Meskipun kita paham ada pertimbangan kompleks dibalik semua keputusan, tetapi untuk saat ini semakin cepat musuh di-isolir, semakin mungkin kita melawan. Ketika penetrasi musuh sudah masuk dan berhasil menginfiltrasi dan atau menginfeksi seluruh warga kita, maka kita tidak lagi mempunyai garis pertahanan.
Dalam pengertian ini strategi pertahanan atau defensif, atau dalam konteks keamanan (security) bersama, garis pertahanan harus tetap dikerjakan, dan dibuat. Keterlambatan mengambil strategi sama artinya dengan kekalahan. Karena penetrasi musuh dalam bentuk virus dibiarkan bergerak bebas.
Terlepas dari sekian propaganda teori konspirasi dibalik Covid-19, pengertian pertahanan dan keamanan berbasiskan pengetahuan virologi perlu menjadi bahan pengetahuan dasar bersama bagi para pemikir strategis, khususnya ketika biological warfare atau perang dengan menggunakan senjata biologis datang dalam berbagai varian entah virus, bakteri, serangga maupun jamur untuk menularkan penyakit ke tubuh manusia dan sifatnya mematikan.
Ketika Teknologi Bukan Milik Kita
Dalam pandangan manusia rasional modern, untuk melawan virus kita butuh peta. Peta itu hanya bisa dihasilkan melalui contact tracing maupun pembuatan cluster, dengan modal test.
Sulitnya di NTT, maupun juga dialami di berbagai wilayah Indonesia saat ini, alat test Covid-19 terbatas. Pun jika ada, sekarang lebih diprioritaskan di wilayah yang penyebarannya tinggi dibandingkan dengan NTT. Ini membuat hasil test swab dengan menggunakan PCR untuk NTT hingga hari ini tergolong sedikit.
Sulitnya di NTT, maupun juga dialami di berbagai wilayah Indonesia saat ini, alat test Covid-19 terbatas. Pun jika ada, sekarang lebih diprioritaskan di wilayah yang penyebarannya tinggi dibandingkan dengan NTT. Ini membuat hasil test swab dengan menggunakan PCR untuk NTT hingga hari ini tergolong sedikit.
Untuk test massal kita berjalan di belakang. Sebab teknologi terbaik yang kita punya saat ini hanya pada fase thermogun. Secara riil, saat ini teknologi yang dimiliki di bandar udara hanya melalui tangkapan monitor suhu tubuh manusia, yang tidak memungkinkan mendeteksi pembawa yang tidak menunjukkan peningkatan suhu tubuh.
Ditambah lagi, kelangkaan rapid test, tidak memberikan jalan keluar untuk tes cepat, bagi para penumpang yang masih bepergian menggunakan pesawat. Arus penumpang di Bandara utama El Tari misalnya per hari rata-rata di atas 600 orang penumpang yang datang dari zona merah. Ini tidak menguntungkan dan tidak memungkinkan bagi kita untuk melakukan karantina.
Ditambah lagi, kelangkaan rapid test, tidak memberikan jalan keluar untuk tes cepat, bagi para penumpang yang masih bepergian menggunakan pesawat. Arus penumpang di Bandara utama El Tari misalnya per hari rata-rata di atas 600 orang penumpang yang datang dari zona merah. Ini tidak menguntungkan dan tidak memungkinkan bagi kita untuk melakukan karantina.
Jika dibandingkan dengan ‘shock therapy strategy’ yang digunakan oleh Pemda Kabupaten Sikka dalam kasus membiarkan KM Lambelu berlabuh di tengah laut hingga rapid test dijalankan kepada 22 ABK, hingga saat ini tidak ada ‘terapi kejut’ yang dilakukan di Bandar Udara El Tari, maupun Bandar Udara lain yang terus menerima penumpang yang berasal dari zona merah (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar). Titik lemah ini perlu dibenahi. Dengan alat seadanya kita harus bertahan, dan mampu untuk memetakan penyebaran virus.
Catatan ini ditampilkan, sebab kita kecolongan dengan penumpang yang tidak menunjukkan gejala, dan ketika di-test di perbatasan Motaain (RI-Timor Leste), dan baru diketahui penumpang tersebut terindikasi positif. Sejak tanggal 20 April, perbatasan telah ditutup. Berdasarkan catatan pemerintah Timor Leste, hingga hari ini sudah 19 orang yang dinyatakan positif Covid-19. Jadi keputusan untuk menutup pintu perbatasan adalah hal tepat bagi NTT.
Salah satu dari 19 orang ini disumbangkan oleh penumpang JT 696 yang transit di Kupang pada tanggal 31 Maret, dan menggunakan mobil travel ke daerah perbatasan. Penumpang asal TL ini tidak tergolong dalam daftar ODP, ketika dicek dengan kamera pengukur suhu tubuh di bandara. ODP dalam penerbangan yang sama ada 1 orang, tetapi bukan yang berdomisili di Timor Leste.
Berdasarkan pengalaman ini maka setidaknya ada dua rekomendasi:
Pertama, untuk kita yang masih membuka jalur penerbangan dari zona merah, maka evaluasi total perlu dilakukan di kawasan pintu masuk bandara, sebelum daerah kita berubah menjadi daerah transmisi lokal.
Kedua, seharusnya ketika berhadapan dengan kondisi ini, dengan kelangkaan alat test untuk mengetahui ‘gejala transmisi virus’, maka test acak terhadap penumpang yang masuk di bandar udara El Tari sudah dilakukan. Minimal dilakukan terhadap sekian persen (%) dari total penumpang, yang dipilih secara acak (random). Test ini juga secara acak mengambil sampling awak kabin dan pilot, bukan hanya penumpang. Persentase ini sengaja tidak di-isi angka, karena kita juga tidak tahu kuota rapid test untuk NTT itu berapa, dan berapa yang mampu dibeli pemerintah daerah.
Ketiga, sesegera mungkin pos kesehatan harus ada di bandara. Sehingga orang dengan ODP bisa dicek secara saksama. Misalnya pada hari kedatangan pesawat JT 696 pada tanggal 31 Maret, terdapat 6 penerbangan lain, atau dengan total penumpang sebanyak 860 orang. Dari jumlah ini terdapat 30 ODP, berdasarkan pengukuran suhu tubuh. Kita butuh pos kesehatan di bandara untuk memetakan arus penumpang yang masih dibiarkan bebas. Dengan adanya tes di bandara, kita bisa mengambil keputusan yang tepat sebagai langkah berikut terkait arus masuk penumpang.
Keempat, secara berkala tim yang dibagi secara harian melakukan monitoring aktif untuk mengetahui kondisi seluruh penumpang, maupun melakukan pengecekan berkala secara harian terutama untuk para maupun seluruh penumpang yang tiba untuk mengantisipasi mereka yang tergolong tidak menunjukkan gejala. Dengan cara ini kita berusaha untuk menghargai warga yang sudah setia untuk melakukan karantina mandiri, tinggal di rumah, jaga jarak, dan menggunakan masker selama lebih dari satu bulan ini. Kita berusaha untuk melakukan langkah terbaik untuk mengidentifikasi. Di titik ini kecepatan bergerak menjadi sangat penting.
Kelima, mekanisme koordinasi terperinci diperlukan untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan yang ada secara berkala. Tanpa ada pertemuan rutin dalam skala pulau, provinsi, maupun antar kabupaten maka kita semakin tidak mempunyai peta, dan mekanisme koordinasi. Tanpa koordinasi pasukan tak lebih dari gerombolan. Melakukan koordinasi di luar manual book desentralisasi dan otonomi daerah butuh insiatif bersama dan kerjasama, sebab tidak ada dalam peraturan manapun untuk saat ini. Merasa peduli dan mengambil tanggungjawab untuk menjaga garis kehidupan rakyat adalah peraturan tertinggi.
Benteng Manusia dan ‘Fussion Cell’
Dalam Road Map Pandemic Resilience, laporan yang dikeluarkan oleh Edmond J.Safra Centre of Ethics, salah satu strategi utama untuk mengembangkan pembagian informasi dan pengambilan keputusan tidak lagi berpusat pada titik terpusat. Mengingat kondisi kompleks yang dihadapi, maka model yang diusulkan ada ‘fussion cell’, yang dimengerti sebagai pelibatan para pihak lintas sektoral.
Berbeda dengan desain pentahelix yang dikembangkan oleh BNPB, model yang diusulkan lebih fokus pada jejaring inti komunitas beserta lipatannya. Sehingga dalam desain ini diharapkan para pemimpin kota, pemimpin komunitas, maupun agama terlibat dalam merencanakan dan berdiskusi untuk melakukan contact tracing, karantina terbatas, dan bahkan dalam konteks Indonesia terlibat dalam desain test massal.
Di NTT kita terjemahkan menjadi pelibatan berbagai tokoh pemuda, dokter, birokrat, aparat keamanan, tokoh agama hingga pemimpin desa, untuk menjadi benteng terakhir, untuk mengawasi penyebaran virus. ‘Fussion cell model’ dipilih karena kecepatan virus jauh meninggalkan kemampuan birokrasi linear dalam pengambilan keputusan.
Saat ini, dalam konteks NTT, ketika ‘teknologi test’ jauh dari genggaman, dan yang kita punya hanya kebersamaan dan solidaritas antar warga negara, maka hal utama yang kita lakukan adalah bekerja melampaui kecepatan transmisi virus.
Meninggalkan paradigma birokratis linear merupakan keharusan untuk mengalahkan kecepatan virus. Di titik ini kita semua wajib bergerak mempertahankan kampung dari serangan virus.
Memotong jalur transmisi virus, tidak dilakukan dengan cara meninggalkan korban yang terjangkit, tetapi secara cerdas memutus dan memberikan dukungan terbaik agar mereka yang terpapar bisa bangkit. Di saat yang sama pemetaan musuh dilakukan secara terperinci. Sebagus apa pun pertahanan, tanpa mengenal peta musuh tentu tidak banyak gunanya. Untuk itu test, contact tracing, dan karantina menjadi kunci, sebelum semuanya berubah menjadi tidak terkendali.
Jika alat test tetap tidak diprioritaskan maka langkah yang ditempuh adalah karantina bagi semua yang datang dari zona merah, tanpa terkecuali, dan komunitas berperan aktif untuk memantau. Teknologi memang penting, tetapi jika tidak ada, maka benteng manusia adalah langkah terakhir yang kita punya.
Untuk itu pendekatan nalar keamanan yang monokultur itu seharusnya dibuang jauh, sebaliknya mendidik inti ‘fussion cell’ dalam tiap komunitas adalah kunci perlawanan di era bio warfare. Semua inti komunitas adalah kunci, sehingga kasus relawan Gusdurian di Madura yang dipukul atau relawan desa yang dilarang untuk bergerak, dan serta merta petugas hanya fokus pada aspek pentungan, maka ini adalah blunder dalam bertahan. Kompleksitas persoalan perlu dimengerti, dan membiarkan inti sel komunitas berperan aktif merancang dan bergerak adalah kunci untuk mencapai kecepatan gerak yang dibutuhkan.
Jadi jawaban untuk pertanyaan di judul di atas adalah ‘mungkin’. Sebab kita berpatokan pada kehidupan yang perlu dijaga, dan bukan berpatokan pada kematian beserta anarki, baru strategi dibuat. Untuk menunjukkan model bergerak bersama dalam sekian lipatan relasi kompleks dalam komunitas butuh gotong royong.
Rantai komunitas yang bergerak padu adalah benteng kita. Bergerak bersama melampaui kecepatan virus adalah kunci. Ini semua perlu dilakukan dalam ruang doa terdalam dan rasa terindah diantara kita semua. Amin.
Rantai komunitas yang bergerak padu adalah benteng kita. Bergerak bersama melampaui kecepatan virus adalah kunci. Ini semua perlu dilakukan dalam ruang doa terdalam dan rasa terindah diantara kita semua. Amin.
0 Response to "Apakah Mungkin NTT Mengambil Jalan yang Berbeda Dibandingkan Jakarta Melawan Covid-19?"
Posting Komentar