“Sematkan nama pada anak-cucumu dari nama moyang-moyang kita. Jangan lupa selipkan nama malaikat pelindung baginya dari nama orang-orang kudus yang di surga. Berikan juga kepadanya nama keluarga besar sebagai marga. Panggillah terus nama itu. Setiap waktu!”
***
Suatu pagi, tahun seribu sembilan ratus lima puluh enam usai musim penen. Hujan masih sesekali jatuh mengguyur, menggembur tanah bekas tanam. Di langit Supun yang mendung, suara bayi pecah dari rahim Toas, perempuan berusia muda nan cantik. Tidak ada catatan penting untuk sebuah kelahiran kala itu. Hanya akan hadir lewat mimpi seorang anak jika telah tumbuh dewasa dan tahu menghitung angka, untuk menentukan tepat tanggal berapa ia dilahirkan.
Supun, sebuah kampung kecil hasil pemekaran yang berbatasan sungai dengan pusat kecamatan, Kota Manufui, masih mengantuk dalam pagi yang dingin. Toas, perempuan itu melahirkan anak terakhir sekaligus putra tunggal Temukung Atetus. Seorang kepala kampung dari Kuan Manikin yang saban hari bernaung di rindang hutan, bergelut bersama setan tanah, dan merindukan anak lelaki dari jampi yang diucap kepada Uisneno-Tuhan yang mereka sembah, setiap matahari membening dalam kabut pagi. Menitip pada ranting dan dedaunan dengan doa tak lekang, tak putus.
Mestinya ada sorak kegirangan. Semacam euforia bagi kelahiran baru ketika matahari rikuh mengecup kening puncak Son Mahole, disahut kotekan ayam hutan berirama garing. Mestinya sepatu kuda sudah berpacu laju menuju sebelah barat, atau ke selatan dan sekeliling kampung untuk meniupkan angin kabar dari bibir ke telinga, dengan teriakan suara girang, “sudah lahir An mone mese Tua Atetus-sudah lahir anak tunggal tuan Atetus”.
Mestinya orang-orang kampung membawa mnahat-padi hasil panen dari sebelah Utara, sebagai persembahan bagi anak Temukung. Mestinya para lelaki dewasa sedang bernyanyi lirih bonet dengan gerakan indah, melingkari lopo kepala kampung untuk merayakan sebuah kelahiran baru.
Tapi sayang, hatinya masih tawar. Atetus, si kepala kampung bijak itu hari ini menampakan wajah datar. Sedatar rasa sedih yang dikungkung pada kehilangan dua putri, persalinan pertama istri tersayang Toas yang bernama baptis Theresia.
Dua kali kelahiran gagal beruntun yang dialaminya, berarti bertaruh pada takdir. Kentara wajah kutuk nenek moyang sedang menganga menerkam. Sebab kutukan bagi yang melanggar titah, nyawa lumrah melayang bak angin berhembus. Berpulang ke dasar tanah, menjurus ke alamat tempat bernaung para nitu-nenek moyang. Mati.
Hatinya berkalut takut dan gelisah. Berharap terus kepada bumi yang dipijak-nenek moyang, sesama yang memberi dan kuasa tak terbatas dari langit sebagai Tuhan Tertinggi-Uisneno, adalah kekuatan yang harus ia genapkan. Terus. Sehingga tidak ada lagi nyawa yang diraup Pah Nitu-nenek moyang sebagai bayaran dosa masa mudanya. Kalau-kalau kali ini ia gagal punya anak lagi, ia musti meminang perempuan lain atau jika tidak, nyawanya sendiri harus ia habisi dengan oe mafun-air beracun sebagai imbas kegagalan kepala suku yang mandul. Lantaran tak ada generasi selanjutnya yang bakal menjadi penggati untuk menjaga serumpun nama pada lingkaran kukuh dan atap-atap ume suna-rumah bulat atau rumah adat.
Konon, kutukan yang melumuri tubuhnya adalah kutukan dari nenek moyangnya sendiri. Janji-janji untuk menjalakan alumat dari ume leu-rumah pamali seperti diamanatkan nenek moyangnya sejak kecil, lantas diingkarinya dan memilih menuaikan ritual untuk pah nitu bian-nenek moyang lain dari tanah antah barantah.
Sejak muda, Atetus pernah memutuskan untuk bertuan dari pah nitu bian yang secara garis ketururan, tidak setitik pun darah menyatu. Pah nitu bian itu digambarakan sebagai orang-orang yang meninggalakan piring-piring bergambar naga. Mereka yang dikenal dengan nama Kaes Sinas-pedagang dari Cina selatan. Konon kedatang mereka ke pusat Timor untuk mencari kayu-kayu cendana.
Juga nitu atau jasad-jasad yang gugur pada pertempuran ketika melabuhkan kapal di Pantai Utara, Pelabuhan Wini; pelabuhan yang pernah disinggahi Santo Frasisikus untuk memberitakan kabar gembira sekitar tahun 1500-an. Mereka yang membunyikan senapan sepanjang malam dari lembah-lembah itu, diakrabkan sebagai penjajah dari Barat-kaum Portugis dan Belanda yang telah menduduki Timor sekian lama, dan kemudian harus angkat kaki setelah tentara Nippon dari negeri Sakura mengusai hampir sebagian Timor sejak perang dunia dua usai.
Barangkali niat mengusai piring-piring dan upeti yang berisi senjata juga amunisi itulah yang memungkarkan Atetus lalu memilih meninggalkan nenek moyangnya. Kutukan itu terus mengalir hingga menikah dengan Toas. Maka secara adat, hendaknya ia menarik kembali jiwa yang telah ia gantung pada pah nitu bian di utara, tempat penghasil garam itu, lalu mencintai dan menjaga tanah warisan nenek moyang di bumi selatan.
Mungkin itulah sebab yang kemudian membuat wajah Atetus takut akan kehilangan anak lelaki yang baru saja membumi dari rahim Toas istrinya.
Sementara itu, ketika tempat bernama lain Ayam Hutan masih dibalut kabut, di dalam sebuah kapela kecil di pinggir jalan lingkar luar kota Manufui, Tuan Van Wissing telah lebih dahulu menulis dalam buku catatan hariannya; tentang kelahiran anak lelaki pasangan Toas dan Atetus.
Pastor berkulit putih-tinggi besar berkabangsaan Belanda itu tidak hanya menulis tentang inkulturasi antara agama, kultur dan alam dalam upaya membimbing iman umat. Membaptis menjadi Katolik orang-orang dari hutan dan bukit yang tergolong masih kuat menyuruk pada dinding pohon tua, batu-batu dengan membentuk kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme itu.
Tetapi jauh sebeleumnya, ia telah melingkari serumpun angka yang entah berapa, pada sebuah kertas semacam almanak yang digantung di samping lemari makan pastoran. Tidak sempat diberitahukan kepada siapapun tentang ilmu penanggalan itu, bahakan kepada guru-guru agama yang ia percayakan mengajar sembayang Ave Maria dan Pater Noster berkeliling kampung.
Tahun-tahun yang amat kuno, sejak kemerdekaan Indonesia baru berumur anak-anak. Mereka belum bisa menghitung. Begitu Tuan Wissing menyebut orang-orang kampung yang kurang pandai menulis dan hanya fasih bertutur juga menghafal sembayang dalam hampir segala bahasa, termasuk Belanda.
Dua hari lalu dalam perjalanan dari bukit Son Mahole, Uis Pater Wissing, demikian orang kampung menyebut pastor yang lolos dari kejaran tentara Jepang sejak berpindah kekuasaan itu, bertandang sebentar di rumah Temukung Atetus yang bernama baptis Martinus. Uis Pater menceritakan mimpi lepasnya ke telinga Martinus.
“Tuan Martin, jangan lupa beri nama anak lelakimu, Yosef.” Tidak lupa ia menyuruh Theresia, untuk selalu berjaga dalam Ave Maria.
Kepala tua dengan kening kerutnya, tidak berhenti menyebut nama para santo atau orang kudus yang hidup pada abad-abad lalu. Pastor Wissing, setiap kali entah sedang berjalan atau duduk di kursi malas depan kapela, selalu bernyanyi untuk menghafal nama-nama santo dengan irama lagu Bapa Kami versi Latin.
Pastor misionaris dari Serikat Sabda Allah itu betapa mencintai alam dan mampu melihat kejadian magis di luar batas pemikiran manusia normal. Ia adalah seorang yang memperlakukan anjing-anjing peliharan layaknya manusia. Ia pula telah mengajari binatang itu manyalak siapun yang hendak bertamu ke pastoran tanpa menyebut nama baptis. Dari anak kecil bahkan orang tua sekalipun. Namun yang jelas, pastor itu membaptis putra Temukung Atetus tanpa sebuah tanggal pasti. Buku catatannya tidak ia perkenankan untuk dilihat siapapun. Hanya mungkin tahun yang mudah untuk mereka kenang.
***
Mengingat pesan Uis Pater Wissing, Atetus lantas menamai anaknya Yosef. Yosef kemudian tumbuh menjadi seorang bocah kampung yang sudah ditakdirkan untuk lahir seorang diri, tanpa kasih sayang dan menjadi tiri di rumah sendiri sejak kepergian Toas ibunya, ketika usianya beranjak empat tahun. Sebelum melihat langit terkahir, Theresia Toas yang mesti mati untuk menuntaskan klimaks kutukan Atetus, berteriak ingin memeluk putranya. Tapi apa daya, hasratnya keburu terkubur liang kematian.
“Sekarang aku tidak hidup seorang diri. Tuhan telah menganugerahkan kepadaku seorang istri, dua putri dan empat putra untuk mendampingi.” Begitu kenang Yosef suatu ketika.
Tanggal enam belas April adalah tanggal yang tumbuh lewat mimpi untuk sebuah kenangan kelahiran. Ketika usianya mendekat kepala tiga, Yosef yang memakai nama nitu Afoan melepas masa bujang dengan menikahi Nona Siska. Putri sulung seorang guru Sekolah Menengah Pertama yang bijak dari Kota Maubesi. Dari pernikahan itu, mereka dianugerahi enam orang anak. Semua nama anaknya diambil dari nama-nama santo yang telah hidup di kepala tua sang pastor Wissing, sebagai nama ketika suatu kelak dipertemukan pada Tuhan di surga, sebagaimana pada kepercayaan yang mereka Imani. Iman Katolik!
Tidak lupa nama itu disematkan dengan nama kampung dari leluhur-nitu atau mereka yang telah meninggal, termasuk Toas dan Atetus sebagai jiwa yang bangkit dari tanah untuk memelihara setiap derap-derap langkah anak-anak keturunannya.
Bisa saja benar jika yang diramalakan tuan Wissing, akan tergenapi suatu ketika. Sejak dalam kandungan, buah hati pertama pasangan Yosef dan Siska telah dinazarkan agar menjadi pelayan Tuhan seperti Tuan Wissing; seorang imam Katolik. Ia yang telah dipersebahkan untuk menempuh jalan imamat adalah Marcelus.
Sepuluh tahun pernikahan mereka, Yosef dan Siska diangurehakan lagi seorang anak yang gagal menjadi bungsu tatkala rahim sang ibu masih sanggup untuk dua kelahiran berikutnya. Sepuluh April tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima merupakan tanggal lahir bagi dia yang kemudian menulis cerita ini untukmu. Ketika kota bernama Jurang Dalam masih jauh dari dunia kerlap kerlip seperti yang disaksikan saat ini. Ia dilahirkan pada suatu malam, dengan nyala lilin dan tanpa sepotong cahaya bolham dari energi listrik.
Dia kemudian dinamai dari moyang perempuannya, Elu. Yah. Maria Elu. Nama dari seorang dukun beranak yang menyelamatkan Theresia putrinya dan cucunya Yosef dari kecaman kutukan mati para nitu, yang menghendaki kedua nyawa melayang sekaligus pada hari itu dengan berpuluh-puluh Salam Maria dan sembah pada leluhur. Nama Elu telah menuntun memelihara dia yang menulis ini untukmu, tumbuh besar.
***
Inilah yang harus kutulis untuk mengenang sebuah nama, ketika mimpi membawa jiwaku terbang dan mendapat penglihatan tentang arti dari nama-nama itu. Aku seperti disesap masuk pada sebuah halusinasi dan hadir menjumpai mereka yang telah meninggal pada dunia lain di dasar tanah. Dunia penantian bagi sebuah penghakiman terakhir sebelum menuju pintu surga.
Untuk itulah, kepadamu aku menulis bahwa hidup bukan hanya soal menghirup dan menghembuskan napas. Tetapi juga tentang menyematkan sebuah nama-kepercayaan kami yang telah terwariskan sejak berabad-abab. Selain nama Santo yang menjadi pedoman manusia untuk bertaqwa kepada Tuhan, nama-nama yang disemat dari para leluhur yang telah meninggal-pah nitu adalah nama dari mereka yang kelak menjadi pelindung dari dasar tanah pada setiap tapak-tapak langkah kaki.
Aku yang menulis ini percaya bahwa seutuhnya hidup manusia dijaring pada lingkaran tiga dimensi. Kepada Tuhan Sang Pencipta, yang mendiami surga-di Atas. Kepada leluhur yang masih hidup beratus-ratus tahun di dunia lain pada dasar tanah untuk sebuah waktu penghakiman terakhir, dan kepadamu-sesama untuk saling melengkapi. Dan nama adalah penghubung dari ketiga dimensi ini.
***
Elou..Elou....
Itu nama yang mengingatkanku pada waktu-waktu lalu, jauh ketika ban bekas dari motor milik bapak baru bisa aku tepuk untuk tiga sampai empat kali melangkah maju. Biasanya sepulang sekolah, sehabis melepas seragam, menepuk ban bekas adalah ceritaku. Kira-kira semeter keluar dari halaman, suara bapak keras memanggil.
“Elou...Elou... makan dulu!” Begitu terus menerus, hampir setiap hari. Nama itu seperti nyanyian di mulut bapak. Pun ketika aku akan berlari kencang sambil menahan celana yang hampir jatuh untuk menghindari rutinitas tidur siang-nama itu selalu mengejar, mengikuti. Memacu untuk berlari lebih cepat.
“Elu...Elu..” Nama itu yang mesti bapak sebut. Bukankah Begitu?
***
Belum usai, Oebobo, 2016.
Irenz E. Alupan, seniman asal Kefamnanu, Timor Tengah Utara. Penggiat film/ videografi, saat ini tengah membangun KitaKefa Media - KitaKefa TV.
Catatan:
Saya menulis hanya untuk sebuah nama dari sisilah keturuanan. Cerita ini sesungguhnya lahir dari fiksi dan realita-cerita bapak dan keluarga. Nama Elou adalah nama masa kecil saya. Nama dari Nenek dari bapak yang kemudian di sematkan untuk saya. Supun-Manufui (ibu kota kecamatan Biboki Selatan-TTU) Berjarak kurang lebih 45 Km dari kota Kefamenanu.
0 Response to "Elou... Elou... | Cerpen Irenz E. Alupan"
Posting Komentar