Kupang, LekoNTT.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menggelar diskusi bertemakan "Masa Depan Demokrasi dan Politik Lingkungan Hidup di Indonesia". Diskusi yang berlangsung selama empat jam lebih bertempat di Kantor WALHI NTT, Jalan Bung Tomo III Nomor 8 - Kelapa Lima, Kota Kupang pada Minggu (16/2/2020).
Hadir sebagai pembicara, Risma Umar (Ketua Dewan Nasional WALHI), Chairil Syah (Badan Startegis Nasional - Partai Hijau Indonesia) dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (Direktur Eksekutif WALHI NTT). Diskusi yang dihadiri oleh beberapa lembaga, organisasi, komunitas, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, dilatarbelakangi oleh isu lingkungan yang nyaris 'tenggelam' oleh menguatnya politik identitas di Indonesia saat ini.
WALHI, secara khusus Eksekutif Daerah NTT menilai, isu lingkungan hidup belum menjadi isu utama dan bukan isu penting bagi partai politik. Para elit politik dan partainya malah lebih menjadikan ekonomi sebagai isu utama untuk meningkatkan elektabilitas ataupun perolehan suara - sebuah incaran. WALHI sendiri telah menelaah partai-partai politik yang memuat isu lingkungan hidup, tetapi dalam kenyataan, tidak tegas menjadikan isu tersebut sebagai persoalan struktural. Visi - misi, program dan manifesto dari partai-partai politik yang ada, sebatas catatan usang di atas kertas.
Terkait isu lingkungan di NTT pada umumnya, Umbu Wulang menilai pemerintah NTT alpa memperhatikan lokalitas ataupun kurang merespon kearifan lokal. Produk hukum yang ada pun lebih berpihak kepada para investor. "Di NTT, belum ada produk hukum yang benar-benar melindungi masyarakat dan wilayah kelolanya. Di Sumba misalnya, 80% wilayah pesisir sudah dimiliki para investor, dan rakyat semakin kesulitan akses terhadap wilayah-wilayah sekitar, bahkan seringkali diusir".
"Sumba, sebagai salah satu pulau terindah, keindahannya palsu, hanya dimiliki oleh para penguasa dan investor"
Umbu Wulang pun memberi contoh terkait kasus pada tahun 2018 di Desa Patiala Bawa, Sumba Barat. Adalah Poro Duka, rakyat kecil, dadanya bolong setelah ditembak oknum aparat. Ia meninggal demi mempertahankan tanah adatnya dari investor. Selain itu, kasus hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan yang kembali mencuat sepekan lalu. Masyarakat adat setempat dipaksa Pemprov NTT, keluar dari kawasan tersebut yang adalah tanah adat mereka.
Umbu Wulang pun meminta kepada masyarakat NTT, agar jangan terlalu berharap dengan adanya pembangunan beberapa bendungan besar. Sebab adanya lebih menguntungkan pihak penguasa. "Sebagian besar tanah, lahan perkebunan, persawahan di sekitar bendungan atau yang dapat pengaruh dari bendungan, itu dimiliki oleh para pejabat, penguasa, dan masyarakat akan tetap menjadi buruh. Tidak ada pengaruh langsung ke rakyat kecil".
Risma Umar dalam penyampaiannya mengatakan, pemerintah dalam mengurus ini Negara, khususnya pengelolaan lingkungan lebih bias - dominan ekonomi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ekonomi ditentukan oleh siapa yang berkuasa (secara politik) menentukan keputusan, yang ditata secara rapi, mulai dari daerah hingga tingkat nasional.
"Mereka tidak berpihak kepada rakyat kecil. Adalah orang-orang yang menurut kita, tidak punya etik lingkungan, tidak punya etik kemanusiaan".
Disampaikannya, 70% proyek pemerintah Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim, justru lebih menyasar ke program yang merusak lingkungan. Hanya terdapat - sekitar 20% yang menyasar ke pemulihan, mendorong kapasitas warga beradaptasi dan memunculkan berbagai inisiatif, selebihnya mendatangkan utang dan rakyat semakin jauh.
Oleh karena itu, menurutnya gerakan lingkungan hidup harus berdimensi politik dan ekonomi, kalau tidak, kita hanya sampai pada urusan sampah. "Kerusakan lingkungan hidup itu, disebabkan oleh dominan perspektif keserakahan terhadap monopoli ekonomi. Yang dibangun adalah keputusan politik yang memang mindsetnya adalah berkuasa secara ekonomi. Karena itu, gerakan lingkungan harus inheren dengan gerakan politik".
Risma pun menjelaskan, munculnya gerakan yang demikian sebagai akibat dari kesadaran kolektif WALHI. Bahwa gerakan lingkungan, tidak semata berurusan dengan lingkungan itu sendiri, tetapi perlu dibarengi secara masif dan berpuncak pada gerakan politik. Gerakan lingkungan sebagai gerakan politik harus mampu memberi jawaban soal keadilan ekonomi, lingkungan, ekologi, hingga pada keadilan politik itu sendiri. Ia pun menilai, sistem demokrasi saat ini adalah wujud sistem demokrasi transaksional. Rakyat ataupun para aktivis lingkungan sulit untuk masuk ke dalam sistem.
Hal yang sama ditegaskan Chairil Syah. Dalam tanggapannya, Chairil menandaskan bahwa akar persoalan negeri ini, karena memang sistem demokrasi Indonesia adalah sistem yang korup. Konsep demokrasi bertolakbelakang dengan fakta yang ada.
"Manifesto pun sudah sampai pada tahap mengajak Tuhan bersekongkol untuk menjalankan praktek kriminal. Ini adalah wujud demokrasi kriminal"
Chairil pun mengkritisi syarat adanya sebuah partai yang sangat ribet pascareformasi. Menurutnya, syarat dimaksud 'sengaja' dibikin ribet oleh pembuat undang-undang - partai politik yang berkuasa demi kepentingan kelompok. "Saya katakan, bahwa di Indonesia belum ada partai. Jika di Indonesia sudah ada partai yang benar, maka tidak akan ada pula gagasan untuk membuat partai alternatif. Sebut saja Partai Hijau".
Ia menilai, masalah tersebut sebagai kegagalan dari pendidikan politik, baik tanggungjawab pemerintah, partai politik dan masyarakat, tidak sempat melaksanakan pendidikan politik yang tepat dan benar. Penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, tampak menerapkan politik kepentingan. Kasus Wahyu Setiawan adalah salah satu bukti bahwa ada konspirasi antara penyelenggara dan partai politik. Maka keputusan-keputusan politik yang lahir dari DPR, tidak pro rakyat dan lebih kepada investasi. (het)
Baca juga artikel lainnya terkait ISU LINGKUNGAN
Baca juga artikel lainnya terkait ISU LINGKUNGAN
0 Response to "WALHI Membaca Tantangan Demokrasi, Politik dan Krisis Lingkungan Hidup di NTT"
Posting Komentar