Oleh : Virginia Rosa da Silva*
Valentine’s Day, perayaan memperingati hari kasih sayang, tepat tanggal 14 Februari, momen itu diperingati. Penetapan tanggal tersebut sebagai Valentine’s Day dilatarbelakangi oleh historisitas yang beraroma mistis.
Ilustrasi Valentine's Day: Pixabay.com/ Adonyig |
Historisitas Valentine’s Day bisa ditelusuri sejak era Romawi Kuno, terkait kepercayaan paganisme. Tiap tanggal 13 - 15 Februari, warga Romawi kuno merayakan Lupercalia, yaitu perayaan Lupercus, dewa kesuburan yang sering dilambangkan dengan laki-laki setengah telanjang dan berpakaian dari kulit kambing.
Lepercalia dimulai dengan pengorbanan dua kambing jantan dan seekor anjing. Kemudian, pria setengah telanjang berlarian di jalanan, mencambuk para gadis muda dengan tali berlumuran darah yang terbuat dari kulit kambing yang baru dikorbankan. Walaupun terdengar seperti ritual sesat sadomasokis, ritual itu tetap dilakukan orang-orang Romawi sampai tahun 496 Masehi sebagai ritus pemurnian dan kesuburan. "Upacara tersebut diyakini bisa membuat perempuan lebih subur," kata Noel Lenski, sejarawan dari University of Colorado, Boulder, seperti dimuat USA Today, 13 Februari 2014. Puncak Lupercalia pada 15 Februari berlangsung di kaki Bukit Palatine, di samping gua yang diyakini menjadi tempat serigala betina menyusui Romulus and Remus, pendiri kota Roma dalam mitologi Romawi.
Ilustrasi perayaan Lupercalia Romawi Kuno (wikimedia commons) |
Pada tahun 496, Paus Gelasius I melarang Lupercalia dan menyatakan 14 Februari sebagai Hari Santo Valentinus. Tapi siapa Santo Valentinus? Misteri menyelubungi identitas dari sosok yang konon adalah santo pelindung para kekasih itu. Misteri sosok Valentinus seperti dikutip dari situs Sains Live Science, menyebutkan ada tiga sosok pria yang bernama Valentinus di tahun 200-an Masehi. Konon, riwayat hidup ketiga orang ini berakhir secara mengenaskan.
Pertama, adalah seorang imam di Kekaisaran Romawi yang membantu orang-orang Kristen yang dianiaya pada masa pemerintahan Claudius II. Valentinus yang pertama ini dipenggal pada 14 Februari.
Kedua, Valentinus yang adalah uskup saleh dari Terni, yang juga disiksa dan dieksekusi selama pemerintahan Claudius II, pada tanggal 14 Februari dengan tahun yang berbeda dengan yang dari Terni.
Sementara yang ketiga adalah Valentine dari Genoa yang diam-diam menikahkan pasangan suami istri yang menentang aturan pernikahan yang dikeluarkan Claudius II. Saat ia dipenjara, legenda menyebut bahwa ia jatuh cinta dengan putri orang yang memenjarakannya. Sebelum dieksekusi sadis, ia membuat surat cinta pada sang kekasih. Yang ditutup dengan kata, 'Dari Valentine-mu'.
Terlepas dari mitos, keterkaitan Santo Valentinus dan cinta baru muncul kemudian. Catatan pertama sehubungan dengan perihal ini baru muncul pada abad ke-14 di negara Inggris dan Perancis dalam puisi Geoffrey Chaucer, penyair Inggris dan penulis buku terkenal, The Canterbury Tales. Demikian menurut Andy Kelly, seorang ahli Bahasa Inggris dari University of California, Los Angeles, yang menulis buku Chaucer and Cult of St Valentine.
Chaucer menulis sebuah puisi berjudul Parliament of Fowls pada tahun 1382, untuk merayakan pertunangan Raja Richard II. Penggalan puisi yang menghubungkan cinta atau romantisme dengan hari peringatan Santo Valentinus, berbunyi: For this was sent on seynt Valentyne’s day, When every foul cometh there to choose his mate (Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus, saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya).
Seturut puisi itu, Valentine’s Day dirayakan pada tanggal 3 Mei bukan 14 Februari . "Itu adalah hari di mana semua burung memilih pasangannya dalam setahun," kata Kelly dalam bukunya. Tak lama setelah itu, pada generasi berikutnya orang-orang mengambil ide untuk merayakan Valentine sebagai hari kasih sayang.Valentine yang menjadi referensi Chaucer mungkin adalah Santo Valentine dari Genoa yang meninggal pada 3 Mei. Tetapi orang-orang pada saat itu tidak begitu akrab dengan sosok itu. Mereka lebih akrab dengan kisah Valentine dari Roma dan Teri yang dieksekusi pada 14 Februari yang lantas dikaitkan dengan cinta. Dan selanjutnya penetapan tanggal 14 bulan Februari sebagai peringatan hari kasih sayang berlanjut hingga saat ini.
Setiap tanggal 14 Februari, ritual berbagi kasih diperingati. Ritual ini berwujud dalam ke-saling-an, berbagi hadiah atau kado, baik dengan kekasih, sahabat ataupun kerabat. Kado yang menjadi ciri khas perayaan ini antara lain Kartu Valentine, Cokelat Valentine, Cupid (gambar bayi lucu) dan Mawar Merah. Kado dapat diberikan kepada siapa saja tergantung keinginan si pemberi.
Chaucer menulis sebuah puisi berjudul Parliament of Fowls pada tahun 1382, untuk merayakan pertunangan Raja Richard II. Penggalan puisi yang menghubungkan cinta atau romantisme dengan hari peringatan Santo Valentinus, berbunyi: For this was sent on seynt Valentyne’s day, When every foul cometh there to choose his mate (Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus, saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya).
Seturut puisi itu, Valentine’s Day dirayakan pada tanggal 3 Mei bukan 14 Februari . "Itu adalah hari di mana semua burung memilih pasangannya dalam setahun," kata Kelly dalam bukunya. Tak lama setelah itu, pada generasi berikutnya orang-orang mengambil ide untuk merayakan Valentine sebagai hari kasih sayang.Valentine yang menjadi referensi Chaucer mungkin adalah Santo Valentine dari Genoa yang meninggal pada 3 Mei. Tetapi orang-orang pada saat itu tidak begitu akrab dengan sosok itu. Mereka lebih akrab dengan kisah Valentine dari Roma dan Teri yang dieksekusi pada 14 Februari yang lantas dikaitkan dengan cinta. Dan selanjutnya penetapan tanggal 14 bulan Februari sebagai peringatan hari kasih sayang berlanjut hingga saat ini.
Setiap tanggal 14 Februari, ritual berbagi kasih diperingati. Ritual ini berwujud dalam ke-saling-an, berbagi hadiah atau kado, baik dengan kekasih, sahabat ataupun kerabat. Kado yang menjadi ciri khas perayaan ini antara lain Kartu Valentine, Cokelat Valentine, Cupid (gambar bayi lucu) dan Mawar Merah. Kado dapat diberikan kepada siapa saja tergantung keinginan si pemberi.
Dewasa ini, perayaan Valentine’s Day identik perayaan istimewa yang hanya 'dimiliki' kaum muda. Valentine’s Day menjadi momen paling berarti bagi kaum muda yang sedang memadu kasih.
Sebagian besar muda-mudi merayakannya secara sungguh-sungguh. Ironisnya, kesungguhan mereka menghayati perayaan hari kasih sayang yang dilangsungkan sebagai sebuah ritual luhur pada zaman dulu. Saat ini ritual tersebut menjelma ritual kotor dengan berbagai aksi yang menghilangkan hakikat dan makna Valentine’s Day.
Makna cinta sejati pun itu tergerus oleh perspektif cinta yang dangkal. Muda-mudi cenderung merayakannya dengan berpesta pora, alkohol, nikotin dan narkoba, glorifikasi tubuh berlebihan yang berimbas pada seks bebas, bahkan urak-urakan dengan pawai bersama geng motor yang berakibat fatal pada kematian. Sungguh mengerikan realitas perayaan Valentine’s Day ala generasi zaman now.
Cinta sejati seyogyanya tak harus diritualkan dengan tindakan saling berbagi kado atau hadiah. Tindakan ini sama halnya dengan mereduksi makna cinta ke dalam komersialisasi. Sebab kado diperoleh dengan uang. Semisal Kartu Valentine atau Cokelat Valentine akan dipajang di toko dengan harga yang mahal di momen Valentine. Ekspresi cinta versi ini merupakan ekspresi cinta yang dangkal.
Kartu Valentine diproduksi pertama kali secara massal oleh Esther A. Howland (1828-1904) dari Worcester, Massachusetts. Berikutnya adalah cokelat. Richard Cadbury pedagang Inggris pada tahun 1824 demi meraup keuntungan, ia menggagas relasi ritual Valentine’s Day dengan cokelat. Lalu ia mulai memproduksi cokelat dengan memanfaatkan sifat afrodisiak pada Cokelat ,dan menginovasikannya dengan kemasan unik, berbentuk hati dengan hiasan cupid dan mawar.
Makna cinta sejati pun itu tergerus oleh perspektif cinta yang dangkal. Muda-mudi cenderung merayakannya dengan berpesta pora, alkohol, nikotin dan narkoba, glorifikasi tubuh berlebihan yang berimbas pada seks bebas, bahkan urak-urakan dengan pawai bersama geng motor yang berakibat fatal pada kematian. Sungguh mengerikan realitas perayaan Valentine’s Day ala generasi zaman now.
Cinta sejati seyogyanya tak harus diritualkan dengan tindakan saling berbagi kado atau hadiah. Tindakan ini sama halnya dengan mereduksi makna cinta ke dalam komersialisasi. Sebab kado diperoleh dengan uang. Semisal Kartu Valentine atau Cokelat Valentine akan dipajang di toko dengan harga yang mahal di momen Valentine. Ekspresi cinta versi ini merupakan ekspresi cinta yang dangkal.
Makna cinta sejati hanya diekspresikan melalui perbuatan kasih antar sesama menjadi cinta yang dikomersialkan demi kepentingan individu tertentu.
Kartu Valentine diproduksi pertama kali secara massal oleh Esther A. Howland (1828-1904) dari Worcester, Massachusetts. Berikutnya adalah cokelat. Richard Cadbury pedagang Inggris pada tahun 1824 demi meraup keuntungan, ia menggagas relasi ritual Valentine’s Day dengan cokelat. Lalu ia mulai memproduksi cokelat dengan memanfaatkan sifat afrodisiak pada Cokelat ,dan menginovasikannya dengan kemasan unik, berbentuk hati dengan hiasan cupid dan mawar.
Salah satu wujud Kartu Valentine yang diproduksi Esther A. Howland. (Portablepress) |
Perlu diketahui, pada tahun 1847, fakta miris komersialisasi cinta pada momen Valentine’s Day sudah terjadi, semisal di Amerika Utara pada saat itu, praktek dagang Kartu Valentine mulai beredar. Sampai pada 1907, Hershey membuat cokelat manis dalam bentuk tetesan air mata dan diberi nama “kisses”. Gagasan ini kemudian mewabah dalam perayaan Valentine’s Day hingga dewasa ini. Pada tahun 2001, The Greeting Card Association setiap tahunnya mengeluarkan penghargaan “Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary”. Dan praktek demi keuntungan pebisnis ini kian marak dilakukan di kekinian.
Seiring melajunya perkembangan teknologi, perayaan Valentine’s Day mendapat porsi besar di halaman sosial media. Di era milenial ini, ketika Valentine’s Day warganet, khususnya kalangan muda berlomba-lomba memamerkan unggahan status dan foto-foto bertemakan kasih sayang supaya mendapat komentar atau ucapan selamat serta emoticon like sebanyak mungkin. Di sini secara implisit, terungkap pengakuan diri bahwa itu pencinta sejati ala dunia maya. Hal ini sungguh memilukan.
Valentine’s Day akhirnya menduduki rating selevel dengan hari-hari besar seperti perayaan Tahun Baru atau perayaan besar lain, yang sayangnya hanyalah sebuah ritus monoton untuk memprivatisasi makna cinta secara semu. Dengan meninjau realitas miris ritual Valentine’s Day dewasa ini, patut dipertanyakan “Ada apa dengan cinta?” Apakah makna cinta sejati telah diubah menjadi makna cinta sesali? Apakah pengungkapan cinta hanya terbatas pada tindak komersil, glorifikasi tubuh berlebih atau tindak keji lainnya yang hanya berlangsung pada momen Valentine’s Day?
Cinta merupakan sebuah kata yang lumrah dan mengatasnamakan ungkapan rasa terpikat paling hakiki dalam jiwa setiap insan untuk menghayati kehidupan. Cinta memainkan peran yang begitu penting dalam kehidupan, menjadi inspirasi bagi setiap orang untuk berkarya, bahkan terluka jika tidak dimaknai secara baik dan benar.
Cinta juga ibarat benang yang mengeratkan setiap manusia dalam kebersamaan. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial. Sang filsuf Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon, padanan dari kata zoon yang berarti hewan dan politicon yang berarti bermasyarakat.
Dalam pandangan tersebut, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dan hewan. Ini artinya, manusia membutuhkan orang lain untuk saling berbagi dalam kehidupan bersama di mana perbuatan saling berbagi itu senantiasa dilandasi oleh cinta kasih.
Valentine’s Day kini telah menjadi sebuah ritual 'paten' setiap tahun. Namun apabila ritual ini hanya dimaknai dengan pengungkapan cinta yang dangkal dan semu tanpa ada kesejatian cinta, untuk apa Valentine’s Day mesti dicantumkan dalam kalender untuk dirayakan setiap tanggal 14 Februari? Apakah pengungkapan cinta hanyalah sebuah ritual momental? Tentu tidak.
Di zaman now, Valentine’s Day sudah seperti ritual milik setiap insan manusia yang sedang terbenam dalam persepsi dan konsep cinta yang sempit dan buta. Ungkapan kasih sayang ini bukan hanya ditujukan kepada orang-orang istimewa, melainkan harus senantiasa diungkapkan kepada semua orang di sekitar. Khususnya untuk orang yang berkekurangan seperti anak-anak di panti asuhan, pemulung, pengemis, pengamen, kaum papa dan lainnya.
Valentine’s Day akhirnya menduduki rating selevel dengan hari-hari besar seperti perayaan Tahun Baru atau perayaan besar lain, yang sayangnya hanyalah sebuah ritus monoton untuk memprivatisasi makna cinta secara semu. Dengan meninjau realitas miris ritual Valentine’s Day dewasa ini, patut dipertanyakan “Ada apa dengan cinta?” Apakah makna cinta sejati telah diubah menjadi makna cinta sesali? Apakah pengungkapan cinta hanya terbatas pada tindak komersil, glorifikasi tubuh berlebih atau tindak keji lainnya yang hanya berlangsung pada momen Valentine’s Day?
Apabila pertanyaan yang bertubi-tubi ini mampu menghentakkan nurani setiap insan yang mengafirmasi diri sebagai pencinta sejati untuk sadar, maka setiap insan itu perlu memahami makna cinta sejati yang sesungguhnya.
Cinta merupakan sebuah kata yang lumrah dan mengatasnamakan ungkapan rasa terpikat paling hakiki dalam jiwa setiap insan untuk menghayati kehidupan. Cinta memainkan peran yang begitu penting dalam kehidupan, menjadi inspirasi bagi setiap orang untuk berkarya, bahkan terluka jika tidak dimaknai secara baik dan benar.
Cinta juga ibarat benang yang mengeratkan setiap manusia dalam kebersamaan. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial. Sang filsuf Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon, padanan dari kata zoon yang berarti hewan dan politicon yang berarti bermasyarakat.
Dalam pandangan tersebut, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dan hewan. Ini artinya, manusia membutuhkan orang lain untuk saling berbagi dalam kehidupan bersama di mana perbuatan saling berbagi itu senantiasa dilandasi oleh cinta kasih.
Valentine’s Day kini telah menjadi sebuah ritual 'paten' setiap tahun. Namun apabila ritual ini hanya dimaknai dengan pengungkapan cinta yang dangkal dan semu tanpa ada kesejatian cinta, untuk apa Valentine’s Day mesti dicantumkan dalam kalender untuk dirayakan setiap tanggal 14 Februari? Apakah pengungkapan cinta hanyalah sebuah ritual momental? Tentu tidak.
Merayakan hari kasih sayang dan mengungkapkan cinta dilakukan setiap hari, bahkan setiap detik berdetak dalam hidup. Setiap insan manusia dapat saling berbagi cinta dan kasih sayang.
Di zaman now, Valentine’s Day sudah seperti ritual milik setiap insan manusia yang sedang terbenam dalam persepsi dan konsep cinta yang sempit dan buta. Ungkapan kasih sayang ini bukan hanya ditujukan kepada orang-orang istimewa, melainkan harus senantiasa diungkapkan kepada semua orang di sekitar. Khususnya untuk orang yang berkekurangan seperti anak-anak di panti asuhan, pemulung, pengemis, pengamen, kaum papa dan lainnya.
Cinta yang dimaksud adalah cinta universal, bukan cinta yang 'diprivatisasi' menjadi ruang sempit, terbatas - relasi-relasi yang lebih khusus dalam kehidupan bersama. Ungkapan cinta itu dapat terjadi kapan dan di mana saja. Demikian kiranya makna Valentine yang sesungguhnya. Jika diterjemahkan ke dalam ranah kehidupan bersama insan manusia secara holistik, maka akan berimbas pada terciptanya kekeliruan memaknai cinta sejati secara holistik pula.
Ritual Valentine’s Day zaman now hanya sebuah praktek disrupsi eksistensi cinta yang universal, cinta tercabut dari akarnya dan berjalan jauh dari harapan serta tujuannya. Manusia sebagai subjek dari objek cinta itu sendiri terpenjara dalam sebuah mekanisme cinta yang semu dengan esensinya yang nyaris hilang.
Menanggapi realitas kemerosotan pemaknaan cinta yang sedang terjadi, maka sebaiknya dilakukan perubahan konsep berpikir. Revolusi mental penghayatan cinta dapat menjadi solusi bagi manusia untuk keluar dari disintegrasi konsep pemahaman dan paradigma berpikir yang sempit, tentang Valentine yang dianggap realisasi dari cinta tersebut.
Revolusi mental dalam hal ini adalah mengubah pola pikir yang sempit tersebut, berkaca pada esensi cinta yang sebenarnya untuk kembali menjadikan cinta sejati sebagai cinta yang universal, cinta yang agape. Bukan cinta semu atau ambigu yang dimanipulasi dengan praktek pesta pora, komersialisasi dan cinta erotik glorifikasi tubuh yang berlebihan. Cinta sejati selalu dilandasi kerendahan hati, ketulusan dan tanggung jawab untuk kebaikan bersama (common good).
Untuk itu, senada dengan seorang psikoanalis mazhab Frankfurt generasi pertama berkebangsaan Jerman, Erich Fromm yang mengungkapkan konsep cinta dalam bukunya The Art of Loving. Manusia di zaman ini perlu menyadari bahwa cinta bukanlah komoditas barang yang dapat dibarter apalagi diperjualbelikan, karena cinta tidak bisa terwujud dengan materi.
Revolusi mental dalam hal ini adalah mengubah pola pikir yang sempit tersebut, berkaca pada esensi cinta yang sebenarnya untuk kembali menjadikan cinta sejati sebagai cinta yang universal, cinta yang agape. Bukan cinta semu atau ambigu yang dimanipulasi dengan praktek pesta pora, komersialisasi dan cinta erotik glorifikasi tubuh yang berlebihan. Cinta sejati selalu dilandasi kerendahan hati, ketulusan dan tanggung jawab untuk kebaikan bersama (common good).
Untuk itu, senada dengan seorang psikoanalis mazhab Frankfurt generasi pertama berkebangsaan Jerman, Erich Fromm yang mengungkapkan konsep cinta dalam bukunya The Art of Loving. Manusia di zaman ini perlu menyadari bahwa cinta bukanlah komoditas barang yang dapat dibarter apalagi diperjualbelikan, karena cinta tidak bisa terwujud dengan materi.
Cinta adalah pilihan bebas yang diberi secara sukarela atas kemauan sendiri dan rasional. Bagi pribadi-pribadi yang perkembangan karakternya berhenti pada tahap orientasi reseptif, eksploitatif atau menimbun adalah orang berkarakter pasar, yang hanya akan memberi jika dia mendapat untung.
“Yang terpenting dari hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain, melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya: dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya-semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut seseorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidup orang lain lewat peningkatan perasaan hidupnya sendiri.” (Erich Fromm, The Art of Loving, hal 41).
Fromm mengkritik manusia zaman now, yang memandang cinta dalam visi keindahan dan kenikmatannya saja tanpa melihat cinta sebagai bagian esensial dari seni hidup. Jadi arti memberi dalam arti cinta yang dimaksud bukanlah memberi materi, tetapi eksistensi dan kenyataan diri manusia itu sendiri.
Fromm mengkritik manusia zaman now, yang memandang cinta dalam visi keindahan dan kenikmatannya saja tanpa melihat cinta sebagai bagian esensial dari seni hidup. Jadi arti memberi dalam arti cinta yang dimaksud bukanlah memberi materi, tetapi eksistensi dan kenyataan diri manusia itu sendiri.
Penulis: *Virginia Rosa da Silva, Pustakawati Komunitas Leko
0 Response to "Valentine's Day: Ritual Cinta Masa Kini, Ada Apa?"
Posting Komentar