Oleh:
Yuvensius Stefanus Nonga*
Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997
Pasal 1 yang kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), keduanya
mendefinisikan pengertian lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Hal ini didasari pada adanya keterikatan
antara manusia dan lingkungan hidup, sehingga keberlanjutan lingkungan sangat
dipengaruhi oleh mainset dalam merencanakan pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan.
Pengertian lingkungan hidup dalam UU PPLH kemudian diperjelas
lagi dengan pasal tentang pengendalian lingkungan hidup sebagai berikut:
"Pengedalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengedalian pecemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini
terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan
hidup dengan menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu: Kajian lingkungan
hidup strategis (KLHS); Tata ruang; Baku mutu lingkungan hidup; Kreteria baku
mutu kerusakan lingkungan hidup; Amdal; UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi
lingkungan hidup; peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
anggaran berbasis lingkungan hidup; Analisis resiko lingkungan hidup; audit
lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan."
Skema pencegahan, penanggulangan
dan pemulihan lingkungan hidup dalam realitanya seringkali bertolakbelakang
dengan fakta di Lapangan. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini dikepung
dengan kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan yang berujung pada
eksploitasi lingkungan tanpa diikuti dengan upaya pemulihan lingkungan hidup. Permasalahan
lingkungan sangat bervariasi mulai dari hutan,
komoditas sumber daya air, sampah, kerusakan pesisir, daya dukung alam, dan Perubahan Iklim.
Perambahan
hutan di NTT terjadi akibat alih fungsi kawasan, yang mana sebelumnya merupakan
kawasan hutan lindung dialihkan menjadi kawasan pertambangan. Data ESDM per 30
april 2018 tercatat 226.983,23 Ha kawasan hutan lindung di NTT yang dialihfungsikan
menjadi kawasan pertambangan. Hal ini akan berdampak pada hilangnya ekosistem
hutan serta perambahan wilayah hulu yang juga akan berdampak pada ketersediaan
air di NTT serta berdampak pada perubahan iklim.
Pengelolaan
wilayah pesisir di NTT juga turut menyimpan cerita ekploitasi lingkungan dalam
kebijakan pemerintah yang katanya demi mensejahterakan masyarakat NTT. Wilayah
Pesisir terutama pada wilayah sepadan pantai seringkali dimanfaatkan tidak
sesuai dengan dua tujuan utama penetapan wilayah sepadan pantai yakni untuk
kepentingan konservasi dan akses publik.
Pembabatan hutan mangrove di Desa Pariti, Sulamu, Kabupaten Kupang, untuk pembukaan jalan. (Foto: WALHI NTT/ Dom Karangora) |
Berdasarkan
hasil Audit dari Kementerian ATR/BPN
tahun 2019 ditemukan 47 pelanggaran pemanfaatan ruang oleh pemerintah
Kota Kupang termasuk yang ada di kawasan pesisir pantai Pasir Panjang.
Pengelolaan wilayah pesisir yang menempatkan kekuatan investor dalam
mengeksploitasi dan memprivatisasi keindahan wilayah pesisir berujung pada
hilangnya ruang-ruang konservasi dan terbatasnya akses masyarakat ke pesisir.
Hal yang sama juga terjadi di sebagian wilayah Sumba dan Pulau Flores.
Cerita Eksploitasi Lingkungan juga nyaris tak terdengar dari permasalahan sampah di NTT. Seringkali solusi dari penanganan sampah di NTT lebih terpusat pada sisi hilir yakni dengan slogan “jangan membuang sampah sembarangan”. Satu hal yang dilupakan dalam penanganan sampah di NTT adalah menggali akar permasalahan sampah.
Dalam
catatan advokasi WALHI NTT, siklus peredaran sampah di NTT didahului dari
eksploitasi lingkungan kemudian pada tahapan produksi dilanjutkan distribusi
dan tahapan terakhir Konsumsi. Oleh karena itu, solusi untuk menekan angka
produksi sampah plastik adalah dengan kebijakan-kebijakan pengurangan
eksploitasi lingkungan, pembatasan distribusi plastik yang masuk ke NTT, diikuti
dengan solusi pada sisi hilir terkait pengelolaan sampah plastik dan
kampanye-kampanye penolakan penggunaan plastik.
Memperingati
hari peringatan sedunia untuk mencegah eksploitasi lingkungan dalam perang dan
konflik bersenjata setiap tanggal 6 November, maka perlu dicatat beberapa hal:
Bahwa
perang masa depan adalah perang memperebutkan Sumber Daya Alam, memperbutkan
air, ruang-ruang hidup, sumber daya hutan, laut, bahkah oksigen akan menjadi
langkah ketika laju eksploitasi lingkungan tidak dibendung sejak dini. Terkait
dengan upaya-upaya pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup tidak terbatas dengan menerapkan
berbagai instrument-instrument lingkungan di atas, namun wajib dikawal
sampai pada tahapan pemulihan lingkungan dan pembuatan peraturan daerah terkait
pembatasan eksploitasi lingkungan.
*Yuvensius
Stefanus Nonga,
Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur
0 Response to "Menilik Eksploitasi Lingkungan di Bumi Nusa Lontar"
Posting Komentar