Ilustrasi: Dario Campanile |
Gerigi Sisir Ibu
Malam larut berjinjit
berjingkat dalam kamar berbau melati
dalam lelap semalam ia terduduk
menyisir rambutnya yang agak panjang namun jarang-jarang
mari Bu kubantu
gerigi yang jarang menyapu rambut
telah patah satu-satu menjadi rongga
dulu rambutku hitam panjang dan lebat, ungkapmu satu ketika
Bapakmu seringkali membauinya mana kala masih muda
itulah kesukaannya...
hingga sekarang ia masih menyukai rambut hitam panjang dan lebat,
yang tak lagi kupunya...
jangan menunduk Bu
biar mudah kusisir rambutmu
pagi waktu Ibu ke pasar
berjingkat kembali ke dalam kamar
kulihat tergeletak di atas meja belajar
sebuah sisir bergerigi jarang
di sela-selanya dihinggapi uban agak panjang
rupanya ia menyisir lagi tadi pagi
Malang, 2016
Jelaga Rindu
Rindu
bukan abu,
Yang
bisa ditiup begitu saja,
lantas menjadi
tak ada.
Ada sekerat hati yang lapuk
di sana....
Palmerston North, 2013
Menanti Penataran
Gempita di stasiun kereta, orang-orang lalu lalang
bau keringat dan dengus nafas kepanasan
mereka sibuk mengibas-ngibaskan koran bertajuk nazaruddin dihukum
empat tahun penjara
Rakyat menggeliat
Menguap
Kereta tak kunjung datang
Lapar mendera
kuingat hanya dua puluh ribu di saku sejak hari kemarin
habis empat ribu untuk sebongkah nasi bungkus
telah kubagi dengan seorang anak kecil yang duduk tersudut di
pojokan loket
mata nanar memperhatikan nasi bungkus empat ribu
kulambaikan tangan dan habislah nasi itu
berakhir di lambungnya yang kecil
anak rakus.
tiga hari belum makan mbak, katanya.
oh...aku lupa
hidup di Indonesia.
Enam ribu sebelumnya telah habis kubayarkan pada seorang tua
berjenggot yang bercapil,
ngos-ngosan mengayuh becak mengantarku supaya tak ketinggalan
kereta.
Mulanya niat berjalan kaki saja, toh tak terlampau jauh jarak stasiun
dengan ruangan 2x3 berbau anyir yang kujadikan ruang tidurku sehari-hari itu.
Namun, di ujung gang kulihat ia terduduk dengan wajah gelisah,
sudah siang memang, barangkali ia belum dapat penumpang sedari tadi.
Maka marilah, semoga bisa membantumu dapat beras sekilo bekal
makan istri dan anakmu nanti....
ah Indonesia.
Kota ini memang panas.
Keringatnya selalu saja memaksa sekumpulan daki-daki meleleh
melalui pori-pori
Sepanjang gang kampung pinggiran rel yang kulalui kulihat lagi
seorang ibu berkulit gelap dan mengkilat karena panas dan keringat,
di atas kepalanya dililitkan jarik usang,
penangkal panas,
ia duduk terjongkok menunggui dagangannya.
Pisang rebus.
Berpindahlah lima ribu.
Stasiun kereta gegap gempita,
bocah kenyang lalu pergi bertandang,
aku mangkal mbak, katanya
segerombolan ibu-ibu datang dengan wajah luar biasa sumringah
saling bertepuk pipi kanan-kiri dan menyalami satu dengan yang
lain
nah itu juga
Indonesia.
Rakyat menggeliat
lengkap dengan bau keringat
Ijinkan kucumbui bangku kereta jelek itu lagi
telah kulabuhkan lima ribu terakhirku
dikembalikan seribu di loket siang tadi
Stasiun Kereta Api Gubeng Lama, 2017
0°
Titik nadir
Di sinilah letak kedua tangan kami bergamit kembali jumpa, bermula,
bermuara tak bersuara
Dalam lelap yang tak biasa sedang bercerita perihal kembali masa, duduk,
jarak, angin, waktu, berdiri, berkelakar, pandang-memandang,
Cengkrama lelaku bersatu padu.
Udara bercanda, dikatakannya bahwa dua dunia itu tak ada.
Kembalilah pada satu yang tak bermakna tunggal.
Bukan satu seorang
bukan satu seorang
kami mereka-reka dalam senyum di batin.
Lurai-lurai gemulai jemari bertaut menciumi bulan sapta yang
lunglai.
Ia letih menjadi bongkok, menunggunya daun-daun merah sibuk
berbisik gemerisik.
Siut angin memukul-mukul lembut, lewat berkabar,
Hei, pesanmu dalam hati telah sampai!
Apakah kami akan membiarkannya terus tumbuh hingga koyak daging
tubuhmu oleh hujaman akar yang rompal?
Kami melengos, genggaman terlepas. Hening berkiblat kaki
menapak...bertolak punggung kemudian beranjak.
Siut
Angin
Siut
Angin
Menerobos masuk ke dalam pori-pori dada, memenuhi setiap kelenjar
yang kepenuhan.
Kami ada pada awal masa bermula.
Pada sebuah titik, yang nadir, yang musnah, yang memulai
kehidupan.
Kami,
adalah
realita.
Palmerston North,
2013
Ambara, biasa dipanggil Ra. Akademisi yang suka pura-pura nyeni. Menggilai karya-karya Olga Karlovack dan sedang mendalami Visual Poetry
0 Response to "Menanti Penataran | Puisi-Puisi Ambara"
Posting Komentar