Dunia
fotografi telah menjadi trend mode di kekinian. Siapapun, kapan dan di mana saja,
bisa menghasilkan karya foto dalam sekali jepret. Hal ini didukung dengan
perkembangan teknologi, media komunikasi termasuk di dalamnya media sosial.
Setiap saat karya foto berseliweran di mana-mana, sudah jadi semacam
‘perlombaan’ untuk menghasilkan yang terbaik.
Di
Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam beberapa tahun terakhir banyak orang, khususnya
orang muda mulai menggeluti dunia fotografi. Kota Kupang misalnya, sejak akhir
2017 hingga saat ini, ruang-ruang publik senantiasa dihuni oleh para ‘penawar’
jasa foto.
Demikian adanya, apakah semua penghasil karya foto sudah menjawabi intensi fotografi sebagai sebuah karya seni? Menjawab pertanyaan ini, mari kita sama-sama menyimak pendapat dan pengalaman dari salah satu fotografer muda asal NTT.
Armin
Septiexan, fotografer, dalam pergaulan sehari-hari lebih akrab disapa Deztro. Di akte
kelahiran, memang tidak ada Deztro selain Armin Septiexan. Pilihan sapaan yang
terkesan manja ini adalah samaran.
“Deztro,
itu sebutan yang didapatkan waktu SMP, karena di era 90-an hingga 2000-an, di
dalam lingkungan pergaulan sosial, nama samaran wajib dimiliki sebagai bentuk
penerimaan,” ungkap pria kelahiran Kupang, 8 September 1991 ini.
Armin, mulai fokus menggeluti dunia fotografi sejak
tahun 2011. Saat itu ia mengikuti kelas regular Fotografi Angkatan Pertama
Sekolah Multimedia Untuk Semua (SkolMus). Teman-teman seangkatannya
yaitu Adhi Lintang, Lely Taolin, Wanto Medah, Helga Ndun, Darius Adoe, Aries AJ
Everd Leo dan Nona Nuban.
Studio foto pertama di Kupang. (Foto: Armin Septiexan) |
Tentang fotografi itu sendiri, ia tidak terlalu
tertarik untuk bergeliat di dalamnya. “Sebenarnya beta sonde terlalu
tertarik dengan fotografi, beta lebih
tertarik dengan seni.” Tapi ada satu alasan yang membuatnya kemudian
benar-benar jatuh cinta dengan itu dunia.
”Medium fotografi selain bisa menjadi medium ekspresi personal, dapat menjadi suara yang mewartakan pesan-pesan kaum minoritas dan menjadi story teller bagi orang lain.”
Sebagai
angkatan pertama kelas regular fotografi, Armin kemudian dipercayakan menjabat
Kepala SkolMus sejak tahun 2017 hingga saat ini. Atas karya-karyanya, baik
personal maupun atas nama komunitas, ia pernah diundang dan terpilih untuk
mengikuti beberapa event fotografi. Beberapa di antaranya, Pameran Wisdom yang diselenggarakan PannaFoto Institute Jakarta (personal), mewakili SkolMus dalam ajang Jakarta International Photo Festival (JIPFest ’19), dan event-event lainnya di Kota
Kupang.
Armin
dalam karya-karyanya lebih banyak ‘bercerita’ tentang memori sejarah dan
kepercayaan lokal (lokalitas). Selain bersama teman-temannya di SkolMus,
karya-karyanya diinspirasi dari film-film karya sutradara Akira Kurosawa,
Andrey Tarkovsky dan fotografer asal Spanyol, Cristina Garcia Rodero.
Tentang Fotografi di NTT
Telah
disinggung di atas, bahwa NTT khususnya ruang-ruang publik kota Kupang makin
marak dengan tawaran jasa foto. Tentu ini sangat positif, sebab orang muda
memanfaatkan fasilitas (kamera) pribadi untuk menopang kehidupan ekonomi
(kreatif) di saat pengguna aktif medsos berlomba-lomba untuk memposting foto
dengan kualitas terbaik. Foto sebagai karya seni yang ‘bercerita’ menjadi poin
kesekian.
Lantas, apakah semua orang yang menghasilkan karya foto pantas disebut sebagai fotografer? Adakah label atau kategori khusus?
Terkait
hal tersebut, Armin kembali berpegang pada credo-nya:
fotografi yang membebaskan dan melampaui batas-batas
kelas sosial. “Berbicara layak atau tidak, beta sonde pantas menjadi orang yang menentukan hal tersebut. Semua
orang mampu atau berhak untuk sesuatu yang dia senangi ataupun untuk urusan
perut, maka ini memang menjadi kebutuhan semua orang.”
Baginya,
fotografer bisa dikategorikan sebagai profesi, hobi, menyampaikan pesan-pesan
sosial, atau bahkan yang menjalani ketiganya sekaligus. Semuanya, sama-sama
merupakan bentuk ekspresi dalam bentuk imaji.
“Pertanyaan beta itu, apakah fotografi bisa menjadi cermin identitas yang mampu melahirkan sebuah produk kebudayaan baru?”
Armin Septiexan dalam salah satu proyek foto. (Foto: Okky Ardya) |
Sebagai salah satu penghasil karya foto yang fokus
pada lokalitas, Armin berasumsi bahwa kebanyakan fotografer di NTT, khususnya
Kota Kupang masih bergelut dengan visual-visual yang memanjakan retina (beauty
shoot). Sebagaimana dalam visi SkolMus, foto
yang bagus tidak hanya dihasilkan dengan visual yang menarik, namun bisa juga
dengan visual yang tidak menarik bahkan sesuatu yang dibenci. Selain itu, para fotografer NTT masih ribet dengan
jenis gear yang digunakan dan aspek-aspek teknis.
“Idealnya, fotografi juga harus membicarakan aspek artistik dan substansi keberuntukan sebuah karya. Kupang, masih jauh dari fungsi fotografi sebagai seni untuk perubahan sosial.”
Menurutnya,
dalam proses menciptakan ekosistem berfotografi yang kondusif, para pegiat
harus mampu menciptakan ruang apresiasi karya, mempertemukan fotografer dengan
dengan publik, mempertemukan fotografer dengan kurator, kolektor seni,
fotografer dengan lintas disiplin ilmu lain seperti antropologi, etnografi,
lingkungan, politik, kesehatan, juga budayawan dan penulis.
Sebagaimana
fotografer lainnya, Armin pun berharap agar fotografi tidak hanya menjadi milik
orang-orang dalam urban kota, bahkan orang dengan berkebutuhan khusus juga
punya hak untuk mendapatkan, mengakses dan merayakan fotografi. “Fotografi
harusnya mencari keteraturan dan pola-pola atas fenomena sosial yang ada di
sekitar kita.”
Lebih
dari itu, ruang harus diciptakan agar dapat mempertemukan publik dengan karya
yang lahir. Dengannya, publik mampu menafsir karya para seniman dengan sebuah
pemaknaan atau bahkan bisa menjadi pelahiran sebuah dunia yang baru samasekali.
* * *
Penulis: Herman Ef Tanouf
0 Response to "Armin Septiexan: Fotografi Yang Membebaskan dan Melampaui Batas Kelas Sosial"
Posting Komentar