Oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo*
Memasuki bulan
Oktober, seperti biasanya, Kota Kupang berubah menjadi gerah. Panas terik di
siang hari mampu melelehkan aspal jalan, membakar kulit pesepeda motor dan
pejalan kaki, dan membuat anak-anak sekolah diliburkan karena saking panasnya.
Tapi, tidak pada saat
malam hari. Udara berubah menjadi sejuk. Angin dingin meniup-niup sekeliling
kota yang kini sedang tumbuh-kembang dengan pesatnya. Warna-warni lampu
penghias taman-taman kota bersinar berselang-seling menyelusup di antara lampu
penerangan jalan. Belum lagi lampu-lampu reklame yang mulai menjamur di
sana-sini, menambah meriah suasana malam di Kota Karang.
Kala itu Sabtu malam.
Saya tidak ada kerjaan. Maka terpikir untuk menghabiskan waktu di antara
keramaian. Saya ingat, Sabtu malam itu waktunya anak-anak muda berkumpul. Di
taman-taman, di pusat perbelanjaan, dan di tempat-tempat makan dan minum. Tapi,
yang saya ingat, sekali lagi, hanyalah taman. Di sana biasanya banyak yang
dilakukan anak muda.
Tidak hanya pacaran.
Banyak juga yang berkumpul di taman bersama komunitasnya untuk menyalurkan
hobi-hobinya. Saya juga ingat, di taman itu pula anak-anak muda Komunitas Leko
sedang menggelar lapak membaca buku gratis. Di Sabtu malam, di antara
keremangan sorot lampu taman yang selalu telat diisi pulsa listriknya.
Ilustrasi: Budiyanto Dwi Prasetyo |
Sambil kekenyangan
sehabis makan malam, saya meluncur ke Taman Nostalgia. Memarkir motor di tempat
biasa mereka berkumpul dan berjalan tergopoh memegangi perut yang diisi
kelebihan dosis. Oh iya, tidak lupa saya bawa beberapa majalah National Geographic dan Intisari serta satu buku bacaan yang
sudah lama memenuhi rak buku di rumah. Bawaan saya itu didonasikan untuk
tambahan koleksi bacaan perpustakaan jalanan Komunitas Leko.
Benar saja, ketika
saya tiba, anak-anak muda itu sudah asyik-masyuk duduk lesehan mengelilingi
lapak buku bacaan perpustakaan jalanan Leko. Saya kira mereka sedang berdoa,
ternyata sedang ada diskusi tentang cara meresensi buku. Hal itu saya tahu dari
Oom Mando Soriano yang selalu jadi teman ngobrol paling asyik se-Asia Afrika.
Dia seorang kartunis yang punya selera humor tinggi. Saya pun langsung mojok di
salah satu sudut lapak buku Leko.
Sambil mengulas-ulas
artikel terbaru mojok.co, ketawa
ketiwi dengan Oom Mando yang mulai membincang serial Losmen Bu Broto, saya mengikuti jalannya diskusi yang mendatangkan
bintang tamu dari penerbit dan editor di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Mas
Abu Nabil Wibisana. Wah mantul mantap betul.
Ketika saya datang
diskusi sudah berjalan. Saya tak tahu sudah berapa lama. Tapi saya masih dapat
beberapa poin penting dari diskusi yang diikuti belasan anak muda yang saya
kira umurnya belasan dan memasuki awal duapuluhan. Sepantaran usia mahasiswa
tingkat awal. Diskusinya cukup menarik. Saking menariknya, saya jadi ikut
terbuai dalam aliran diskursus yang didayung-dayung Mas Abu.
Saat itu diskusi sudah
sampai pada pertanyaan provokatif yang diajukan Mas Abu. “Apakah kita boleh
menulis resensi dengan menjelek-jelekkan, mengolok-olok buku yang sedang kita
resensi?” tanya Mas Abu kepada anak-anak muda itu.
Lama mereka saling
diam. Ada yang menunduk, ada yang melongo menatap lampu sorot taman yang
berwarna kuning, ada pula yang bisik-bisik dengan teman di sebelahnya, lantas
seorang perempuan mengeluarkan suaranya. Kira-kira dia berbicara begini:
“Menurut saya, setiap
orang punya persepsi masing-masing tentang sebuah buku. Persepsi itulah yang
menjadi dasar dia menilai tentang buku yang dia jadikan bahan resensi. Ketika
resensi dia tuliskan maka itu adalah penilaian dia terhadap buku tersebut,”
ujar perempuan itu mantap.
“Jadi, apakah dia
menilai bagus atau buruk terhadap buku yang dia ulas tergantung pada
persepsinya tadi,” lanjutnya.
Seorang lelaki yang
ada di sudut yang berseberangan dengan saya menambahkan:
“Kalau memang mau mengolok-olok buku, atau
menilai buku itu jelek, maka harus dicarikan buku pembandingnya, supaya ada
ukuran ‘bagus’ dan ‘jelek’ atas buku yang diresensi,” ujarnya.
Saya manggut-manggut. Semakin
seru diskusinya. Seorang perempuan lain yang sedari awal datang selalu
berbicara bahasa Inggris menyambut ucapan lelaki tadi. “Kita sebaiknya menilai
buku sebagai hasil karya tidak secara berlebihan. Tidak membagus-baguskan dan
tidak juga menjelek-jelekkan. Haruslah berimbang kalau menilai. Semua ada
plus-minusnya,” tandasnya.
Muka saya menengok ke
kanan dan ke kiri berulang-ulang menyimak lontaran-lontaran argumentasi
selanjutnya dari anak-anak muda yang ikut diskusi. Ini luar biasa. Anak-anak muda
ini berani bicara, kritis, polos, dan idealis. Modal awal yang kuat untuk bisa
jadi orang sukses beberapa tahun ke depan. Asal konsisten dan istiqomah saja di
jalur itu. Tidak tergoda oleh keserakahan materi dan gemerlap kehidupan
hedonis.
Lama-lama saya tak
tahan untuk ikut bicara. Saya pun ijin ke Mas Abu Nabil, sang empunya diskusi
untuk ikut numbrung berbagi cerita soal resensi buku. Kira kira pendapat saya
begini.
Sebetulnya ketika penulis sudah mempublikasikan hasil tulisannya, maka penulis itu sudah terbunuh. Penulis sudah mati, dan pembacalah yang membunuhnya.
Seperti yang pernah
dikatakan Rolland Barthes. Penulis telah mati. Karena makna dari apa yang dia
tuliskan, baik secara semiotic maupun hermeneutic
sudah beralih menjadi milik pembaca. Misalnya, seorang tokoh yang cantik
dideskripsikan oleh penulis dalam bukunya tentu akan berbeda ukuran
kecantikannya ketika pembaca memaknai cantik dalam benaknya.
Contoh lainnya adalah
tentang film Joker yang bikin geger
baru-baru ini. Banyak ulasan (yang istilah kerennya review) menyebutkan bahwa
film ini memunculkan joker sebagai pahlawan bagi orang tertindas. Kutipan
paling masyur dari anggapan tersebut “Orang jahat adalah orang baik yang
tersakiti.”
Tapi di sisi lain ada
pula ulasan yang menyebut Joker sebagai orang sakit jiwa yang lahir dari ibu
yang juga sakit jiwa. Keluarga yang senang berdelusi sejak lahir. Lebih ekstrim
lagi, ada ulasan yang menyebut bahwa keseluruhan cerita dalam film Joker adalah
tipuan belaka Joker belaka. Hal itu muncul dari tafsir tentang adegan Joker
yang tertawa di akhir film. Melalui tawa itu seolah-olah Joker mau bilang ke
penonton kalau mereka sudah ditipu karena semua yang ditayangkan di film itu
adalah rekaan si Joker semata.
Terlepas dari ulasan
mana yang benar, yang jelas itu semua adalah tafsir yang membentuk pemaknaan
terhadap sebuah karya. Pengetahuan tentu berperan penting dalam proses
pembentukan makna yang kemudian menghasilkan interpretasi dan berakhir pada
sebuah penilaian.
Jadi, seseorang bebas
untuk bisa menuliskan tafsir, makna, dan memberikan penilaian terhadap sebuah
buku. Yang penting berani untuk menuliskannya. Pramoedya Ananta Toer pernah
bilang, “menulis adalah soal keberanian.” Maka dari itu, buat saya, yang
penting menulis saja dulu. Mulai saja dulu. Tuliskan apapun yang ingin kita
tuliskan tentang buku yang akan diresensi. Perkara tulisan kita dimuat atau
tidak itu urusan lain. Karena akan ada proses selanjutnya, yaitu belajar
memperbaiki resensi yang sudah kita buat.
Dan jangan lupa,
resensi itu salah satu bentuk dari tulisan kreatif. Maka dari itu, penulisnya
bebas meramu bahan-bahan yang ingin ditulisnya untuk menjadi tulisan yang
semenarik mungkin buat dibaca orang. Karena, tujuan kita membuat resensi adalah
agar dibaca orang. Medianya bisa lewat Koran, Majalah, Blog, atau Media Sosial.
Bebas saja, semua boleh.
Tapi yang perlu diperhatikan, seorang penulis resensi juga harus mampu melihat kebijakan politik redaksional media yang jadi target penerbitan resensi. Tentu, kalau isinya mengolok-olok buku yang diresensi, media dengan kebijakan yang menusung nilai-nilai commonsense akan menolaknya mentah-mentah.
Beda halnya kalau
dikirim ke media yang isinya memang untuk olok-olok buku orang, pasti akan
diterima. Tapi masalahnya, apakah ada media seperti itu? bisa jadi ada. Blog
pribadi misalnya. Tapi yang jelas, penulis resensi akan dirugikan karena akan
dikenal sebagai penulis olok-olok. Notorious
istilah kerennya.
Kira-kira itu yang
saya omongkan dalam diskusi menarik malam itu. Meski sebetulnya masih banyak
lagi yang mau disampaikan, tapi saya kira cukup untuk saat itu. Beberapa anak
muda yang melihat saya bicara pun memberikan respon beragam. Ada yang
manggut-manggut, ada yang melongo menatap lampu sorot taman, dan ada yang
bisik-bisik dengan teman sebelahnya. Tak lama kemudian, Mas Abu Nabil pun
menutup diskusi dengan meminta salah seorang membacakan puisi.
Saya pun kembali ke
Oom Mando, melanjutkan obrolan tentang Losmen
Bu Broto. Tayangan yang menurutnya sangat dramatis dan luar biasa. Karena
ternyata Oom Mando baru-baru saja menemukan serial legendaris TVRI itu di
sebuah channel di YouTube. Tapi bagi saya, obrolan tentang Losmen Bu Broto adalah sebuah nostalgia. Sebuah upaya menghimpun
kenangan tentang tokoh antagonis Bu Subangun, yang namanya saya ingat setelah
obrolan saya dengan Oom Mando hampir saja rampung.
***
*Budiyanto Dwi Prasetyo
adalah gelandangan intelektual.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Kencan Buku
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Kencan Buku
0 Response to "Membincang Resensi Buku di Malam Minggu"
Posting Komentar