Oleh:
Ishack Sonlay*
Tidak banyak orang yang
mengenal Girolamo Cardano, seorang pemikir Italia yang hidup pada tahun 1501
hingga 1576. Kita beruntung bahwa perusahaan Cryptocurrency ‘Cardano’
mengabadikan namanya sehingga sosoknya tetap hidup dan dikenang. Saya sendiri mengenalnya dari beberapa
tulisan lepas. Ada setidaknya beberapa hal penting yang saya catat mengenai
Girolamo Cardano.
Hal pertama, ia sangat
percaya pada perhitungan dan ramalannya sendiri. Pernah suatu kali ia
meramalkan kematiannya. Pada hari yang ditentukan, Cardano justru terlihat
sehat-sehat saja. Beberapa sumber menulis bahwa ia dikabarkan hendak bunuh diri
untuk menggenapi ramalannya itu.
Hal kedua, karena
kecakapannya dalam bidang astrologi, dalam bukunya De Immortalitate Animorum (1545), Cardano menyusun horoskop dari
Yesus Kristus dan dengan kepala tegak menyampaikan risalah itu kepada Paus
Paulus III. Tentu saja gereja mengecamnya karena dianggap sebagai penista
agama. Pada halaman New Scientis, Michael Brooks menerangkan bahwa horoskop Yesus Kristus
dipandang sebagai upaya merendahkan ke-Tuhan-an Yesus. Jika bintang-bintang
mampu menunjuk peruntungan Tuhan, lantas apa bedanya Tuhan dengan ciptaan
lainnya?
Hal ketiga, laman beberapa
sumber menuliskan namanya sebagai orang yang turut berperan bagi perhitungan
bilangan imajiner dan sosok yang pertama-tama memprakarsai ditemukannya kamera.
Mari kita bicara lebih lanjut tentang
kamera.
Pada mulanya, kamera adalah
seperangkat perkakas berupa kotak gelap yang sama sekali belum dilengkapi film.
Demikianlah perkakas itu dinamakan Camera
Obscura yang berarti Ruang Gelap. Semasa
hidupnya, Girolamo Cardano melengkapi perkakas tersebut dengan lensa pada bagian depannya untuk membantu menangkap objek
dengan lebih detail. Meskipun tangkapan objek yang dihasilkan tidak bertahan
lama, namun sejarah telah mencatatkan nama Cardano sebagai seorang perintis
penyempurnaan kamera.
Setelah Cardano, muncul
penerus lainnya seperti Scultze (1727) yang menambahkan garam perak, Niepce
(1826) yang menambahkan lempengan timah, dan Daguerre (1839) yang menambahkan
pelat tembaga berlapis perak. Sejak itu teknologi kamera dan sistem lensa
berkembang lebih pesat dengan hasil seperti yang kita miliki saat ini.
Tentu saja kamera merupakan teknologi yang patut kita syukuri pada zaman ini karena fungsi dan kemudahan yang ia berikan. Kamera bekerja menangkap gambaran dari objek, dibiaskan melalui lensa kepada sensor, dan kemudian disimpan dalam format digital.
Umat manusia pada zaman ini
memanfaatkan kamera untuk berbagai kepentingan dokumentasi; kelahiran buah
hati, ulang tahun, pertunangan, pernikahan, serah terima jabatan, administrasi
pencatatan sipil (KTP, SIM, akta, dll), siaran televisi, interface kamera pada laptop dan gadget untuk kepentingan
perorangan, dan lain sebagainya. Kemudahan yang ditawarkan oleh kamera secara
niscaya memotong distansi geospasial (locus) dan waktu (tempus).
Kamera memungkinkan kita
untuk berinteraksi dengan kondisi dari tempat dan waktu yang lain. Sebagai
penulis misalnya, saya dengan mudah ‘mengobarak-abrik’ dokumen fotografi di
Gedung Arsip dan melihat sendiri seramnya kerja paksa yang dilakukan nenek
moyang bangsa Indonesia pada era kolonialisme. Atau sebut saja saya mengakses Google Earth dari meja kerja saya di
Timor, dan dengan leluasa mengamati keadaan London Tower Bridge yang membentang
di atas sungai Thames. Mudah bukan?
Sayang
sekali, kita justru melulu fokus pada aspek kegunaan dari pada kamera dan abai
terhadap perihal yang tidak kalah penting, aspek etika fotografi. Saat ini,
diperkirakan ada 2,3 juta foto yang diproduksi setiap menit. Dari jumlah
produksi foto yang sekian banyaknya itu, tidak semuanya patuh pada etika
fotografi. Itu terjadi pertama-tama karena etika fotografi tidak (belum) diatur
oleh hukum positif. Yang ada hanya aturan dan pedomaan dalam lingkup kerja
tertentu seperti pedomaan kerja fotojurnalisme, pedomaan fotografi medis dan
lain-lain yang sifatnya sui generis (terpisah, spesifik, dan unik).
Jadi, tidak ada pedomaan yang baku dan universal. Aturan yang digariskan oleh fotojurnalisme tentu saja tidak bisa dipatuhi oleh fotografi fine art. Kameramen media tentu saja wajib menyembunyikan identitas wajah korban sebuah perkara, tetapi aturan itu tidak berlaku bagi kamera private yang dikendalikan oleh individu-individu yang bebas. Itu masalahnya.
Tulisan
ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur anda, saudara-saudara
terkasih. Saya hanya ingin menghadirkan aspek etik pemanfaatan kamera, agar
sekiranya tangan kita bekerja di bawah kendali rasio; berpikir sebelum telunjuk
kita menekan tombol cekrek! Begini ceritanya:
Pada
suatu siang yang terik di bulan November 2017, saya duduk menikmati sebotol beer Bintang pada lapak pedagang di
kawasan pantai Kuta, Denpasar. Saya baru saja mengakhiri kursus Bahasa Inggris
yang padat, dan karena itu sebotol beer
di pantai Kuta serasa bisa menyelamatkan saya dari frustrasi.
Tentu saja di sekitaran pantai
banyak turis sedang beraktivitas, sebagian berselancar, ada yang mandi, dan
lainnya berjemur. Mata saya dengan spontan menangkap sebuah pemandangan yang
sangat memalukan: dua orang pemuda (turis lokal) masing-masing menenteng kamera
digitalnya, mencondongkan lensa ke arah turis asing yang sedang berjemur dengan
kostum swimsuit lingerie dan merasa
berhak memotret segala objek yang terpampang di hadapan matanya. Rakus!
Di
Australia, orang sangat hati-hati mengunakan kamera. Oleh karena itu, janganlah
saya arahkan kamera ke wajah orang lain, terutama anak-anak, tanpa konsent (ijin) dari orang yang hendak
dipotret. Tentu saja, saya berhak atas keadaan yang ramai, hiruk pikuk pasar
misalnya, atau pejalan kaki di jalanan. Akan tetapi, janganlah wajah orang
secara utuh dengan detail hidung, mata, lekuk tubuh dipotret dan disimpan
sebagai dokumen pribadi saya tanpa ijin. Sekali-kali berlaku demikian, pengadilan
akan memerintahkan saya untuk bertanggung-jawab.
Pada seminar dan festival
yang bertaraf besar, peserta biasanya diberikan tanda pengenal dengan warna
tertentu. Warna putih misalnya menandakan peserta yang dengan bebas boleh
dipotret. Warna Kuning untuk peserta yang boleh dipotret jika diijinkan. Dan
warna merah untuk peserta yang tidak memberi ijin kepada panitia untuk memotret
dirinya. Begitulah ceritanya saudara-saudara.
Dalam
sebuah pameran bertajuk “Manifesto No 4, Keseharian, Mencandra Tanda-Tanda
Masa” (2014) di Galeri Nasional, seniman Deni Rahman mengingatkan kita lewat
sebuah karya yang berjudul “Kameramu Harimaumu”. Tata cara dan etika memotret
adalah gambaran dari diri si pemotret itu sendiri. Setiap tombol cekrek yang kita tekan pada kamera mengandaikan standar etika,
nilai dan martabat kita sendiri. Martabat itulah yang juga dirasakan oleh Kevin
Carter. Dia adalah seorang fotografer jurnalis perang yang berhasil memboyong
penghargaan Pulitzer setelah fotonya
tayang di New York Times pada tanggal
26 Maret 1993.
Bulan Maret 1993, Kevin Carter
berada di Sudan untuk meliput bencana kelaparan yang melanda negeri itu. Suatu
hari, dia merasa sedang berada para angle
yang tepat untuk fotonya: seorang anak
kecil yang bersujud kelaparan dan seekor gagak yang lamat-lamat mendekat ke
arah si anak kecil. Setelah menunggu hampir setengah jam, gagak itu tak
kunjung pergi. Kevin memutuskan mengambil gambar itu lalu mengirimkannya kepada
redaksi.
Foto Kevin Carter yang meraih penghargaan Pulitzer
Pada hari itu, tanggal 26
Maret 1993, koran NYT habis terjual dan kantor redaksi dibanjiri telepon dari pembaca.
Mereka bertanya-tanya “Bagaimana keadaan anak kecil itu? Apakah dia selamat?”
Kevin tidak memberikan jawaban yang pasti, apakah anak itu selamat. Ia mengaku,
setelah mengambil foto itu, ia merokok dan menangis.
Orang-orang menghujatnya
karena dianggap tidak menolong si anak kecil. Dua bulan kemudian, Carter
ditemukan bunuh diri dengan sepucuk surat: ia merasa bersalah karena memilih
untuk memotret dari pada menolong si anak kecil. Begitulah kamera dan martabat
sebagai manusia bekerja. Kamu bisa mendapatkan penghargaan, namun di saat yang
sama harkat kemanusiaan akan memberi hukuman karena pertimbangan yang tak cukup
matang saat kamu ber-cekrek.
Kiupukan, 5 Oktober 2019
*Ishack
Sonlay, Sastrawan, Pemerhati Sosial, Master of Development Studies, The
University of Melbourne. Saat ini bergiat di Kupang.
Artikel
ini, sebelumnya telah diposting pada akun facebook penulis, 5 Oktober 2019.
0 Response to "KAMERA"
Posting Komentar