Oleh:
Irenz ‘Nanentom’ Alupan*
Ada satu barang yang saya lupa bawa pada
perjalanan pulang kemarin, selain lagu I Am Australian pada sisa 20 menit
terakhir di atas bus dan cerita Aukland yang terlalu jujur untuk saya bahas
pada tulisan ini.
Sampai hari ini, saya masih
baik-baik saja seperti kemarin. Merindukan rumah, orang-orang tersayang dan
tentu Nusa Tenggara Timur, juga
cita-cita kita mewujudkan pariwisatanya melangkah maju. Tapi saya melupakan
sesuatu. Botol air minum! Hadiah pertama dari Griffith University sebagai mahasiswa Short Cours asal NTT. Hal yang
membanggakan.
Peserta Pendidikan Vokasi Pariwisata asal NTT bersama Aukland. Tangan saya, tanpa botol air minum. Lokasi: The Spirit House |
Melupakan benda ini, artinya
saya melupakan oleh-oleh paling berkesan seumur hidup saya. Barangkali ini
juga berlaku bagi para kandidat master
dan doktor dari negeri kita. Botol air minum, dengan nama kampus atau University adalah oleh-oleh paling berkesan.
Saya harus jujur bahwa sebuah botol air minum telah membuat saya gelisah menulis ini. Melupakan botol air minum, seperti akan membunuh sedikit ingatan saya terhadap kemurahan tempat ini atas air minum gratis di segala titik.
Australia khususnya daerah
Queensland, merupakan salah satu negara
yang cukup baik memanejemen kebutuhan air minum bagi masyarakatnya. Pemerintah menyediakan titik untuk mengisi
ulang botol air minum atau tempat minum secara gratis. Untuk itulah, barangkali
saya berpikir bahwa pemerintah ini melihat dahaga sebagai kebutuhan paling
urgen. “Air, sumber kehidupan.” Cukup baik untuk tagline semua tempat isi ulang.
Tap Water - alat isi ulang air minum di Gold Coast |
Terlepas dari botol air minum
dan titik isi ulang air, saya pikir ini cara yang baik pula untuk mengurangi
sampah plastik. Tentu hal ini sudah dan sedang dijalankan oleh pemerintah NTT dengan tujuan yang sama.
Botol air minum ini,
sebenarnya menjadi pelatuk dan membantu saya untuk mengulas beberapa hal
penting yang saya catat dari tempat ini. Ketika kita berbicara air minum,
artinya kita berbicara tentang pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Ini sudah
termasuk di dalamnya penerangan dan fasilitas lain, yang menjamin kualitas
pelayanan publik.
Fasilitas
Sejauh ini, saya mengikuti dengan
baik keluhan masyarakat Kota Kupang, pasca dibangunnya ruas trotoar di beberapa
titik, yang kemudian menuai protes, lantaran dianggap tidak ramah bagi kaum
disabilitas. Komunitas Leko dan beberapa komunitas orang muda di Kupang
kemudian membuatnya dalam Lomba Foto Pelayanan Publik dalam rangka Kencan Buku Fesek II pada Agustus lalu. Sebuah gebrakan luar
biasa yang perlu diapresiasi.
Jalanan di Kota Gold Coast |
Sebelum jauh mengulas ini,
saya khilaf. Ini hanyalah sebuah cerita perjalanan yang saya tulis dalam
catatan harian. Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan kita di Timur yang
jauh dari ibu kota di
negara-negara berkembang, dan sebuah negara maju dengan peradaban yang baik.
Bukan itu. Bukan!
Suatu waktu ketika berkunjung
ke University of Queensland (UQ), sebuah universitas tua dengan bangunan ala
kastil dari Inggris. Saya menulis pada status facebook. “Gedung yang baik
dibangun dan dijaga oleh manusia yang beradab. Jika dibangun dengan mutu dan
kualitas mumpuni, maka akan menciptakan orang-orang yang merasa memiliki.”
Di lorong University of Queensland |
Bukankah begitu? Kita memang
belum terbebas dari kasus vandalis oleh orang-orang dengan kualitas diri dan
pendidikan rendah, serta memiliki tingkat kontrol kesadaran di bawah. Tapi
bukan berarti kita melepaskan tanggungjawab untuk bikin bangunan dengan kualitas
rendahan. Seni, kualitas dan tentu ramah disabilitas mungkin menjadi alasan
orang-orang merasa memiliki. Barangkali kesadaran kita harus mulai di sini.
Banyak memang yang ini saya
ulas,
hal-hal sepele semacam ini. Saya tidak kolot. Sudah berapa orang pintar yang
kuliah di luar negeri lalu pulang dan dipercayakan membangun bangunan dengan
standar dan masa waktu berdiri dengan baik?
The Spirit House - Restoran milik Aukland |
Saya tertawa sendiri, mengulas ini. Akhirnya saya pikir,
orang-orang kita itu unik. Tindakan vandalis adalah kesimpulan bahwa
orang-orang kita itu punya aktualisasi diri lebih unik, impresif dan agresif
dari orang-orang di negara lain. Hahaha.
Cukuplah saya menulis itu. Intinya, fasilitas kita memang perlu diperbaiki. Itu saja.
Botol air saya masih saja
diingat, dan I Am Australian sedang
mengalun menemani saya menulis ini. Tibalah saya mengulas catatan lain yang
saya catat dari suara kejujuran seorang Aukland tentang pariwisata kita.
Aukland, teman bercerita |
Aukland dan keluarga
mendirikan sebuah restoran dengan desain bangunan juga masakan Asia yang unik,
juga sebuah sekolah memasak di Yandina,
daerah
Sunshine Coast-Queensland. Secara kebetulan, Aukland barangkali adalah touris
pertama yang jujur menjawab apa yang perlu dan dibutuhkan NTT bagi pengembangan
pariwisata, setelah berkeliling dari timur hingga ke barat Flores, Lembata, dan
terakhir terlanjur jatuh cinta dengan tanah Alor.
Apa yang diungkapkan Aukland, sebenarnya menjadi alasan saya menulis artikel pertama tentang Mangapa Bali dan Bukan NTT, padahal NTT lebih kaya akan alamnya.
Jamuan Aukland bagi mahasiswa pariwisata asal NTT |
Fasilitas, seperti yang saya
ceritakan di atas adalah hal pertama dan utama. Dalam pariwisata, kita
berbicara tentang accessibility dan amenities yang mencakup di dalamnya
fasilitas, insfraktuktur, hospital dan transportasi.
Aukland mengakui, kita punya penerbangan yang buruk.
Insfraktuktur jalan yang rusak. Pelayanan hotel yang tidak ramah, dan banyak
kekurangan lainnya yang bisa kita rasakan sendiri. Namun, ia seorang yang mencintai
keaslian. Kebudayaan kita yang masih terawat secara baik, memiliki daya tarik
tersendiri.
Dapur Sekolah Memasak |
Tetapi ia cukup merasa
terganggu dengan beragam alasan keagamaan dan kepercayaan yang membuatnya tidak
nyaman, sekaligus merasa tidak diterima dalam komunitas masyarakat tertentu.
Ini merupakan hal kedua yang jujur diungkapkan Aukland.
Kepercayaan kita yang terlalu
konservatif dengan aturan-aturannya, kerapkali membuat wisatawan tidak
nyaman dan merasa tidak diterima. Namun, ia pikir bahwa apa yang menjadi
larangan dan pemerintah
mestinya merupakan alasan mengapa pariwisata itu barang jualannya adalah
informasi.
Aukland bersama mahasiswa Vokasi Pariwisata NTT |
Hal menyesuaikan adalah
kebiasaan orang-orang beradab seperti mereka, yang penting bahwa informasi
dapat mereka terima. Cerita Aukland tidak diterima di suatu tempat tertentu di
NTT, menjadi catatan merah yang perlu kita catat bersama-sama.
Cerita
tentang Aukland akan saya tulis lagi. Masih banyak yang ingin saya tulis di
sini. Tetapi...
Botol air minum, barang paling berkesan |
Saya sedang menunggu seseorang membawakan barang berkesan itu. Botol air minum dari universitas. Siapa
tahu bisa jadi barang “belis” buat bapak dan mama mantu punya anak nona setelah pulang nanti. Hahahaha
* * *
*Irenz ‘Nanentom’ Alupan, Direktur Kita Kefa Media, salah satu peserta Pendidikan Vokasi Pariwisata asal NTT di Griffith University, Queensland, Australia.
Baca juga catatan perjalanan sebelumnya: Dari Queensland: Mengapa Bali, Bukan NTT?
0 Response to "Botol Air Minum dan Kisah Bersama Aukland"
Posting Komentar